Oleh: Nurul Jannah
Sebuah Pensil, Sebuah Hati, Sebuah Kehidupan
KADANG, semesta tak berguncang karena gemuruh petir atau kilatan bintang. Ia bergeser karena sesuatu yang begitu kecil: sebuah pensil, sepasang mata yang nyaris kehilangan cahaya, dan hati yang memilih untuk tidak berpaling.
Dari situlah gelombang perubahan seringkali bermula: dari ruang kelas sederhana, dari tangan yang gemetar namun tak menyerah.
Ketika Langkah Sederhana Menjadi Gelombang yang Menggetarkan Semesta
Pagi itu, langit Bogor memantulkan warna kelabu seolah menahan napas dunia. Gerimis tipis menari di kaca jendela kelas, menyisakan aroma tanah basah yang menusuk kenangan. Aku baru saja mengakhiri penjelasan praktikum CSR ketika kulihat Rika, mahasiswa pendiam yang biasanya penuh semangat, duduk di pojok kelas dengan mata agak bengkak dan pundak yang seolah memikul langit.
Aku mendekat, berjongkok di sampingnya.
“Rika, apa yang terjadi? Matamu bercerita tentang kegelisahan.”
Ia menunduk, tangannya meremas kertas yang basah. “Bu… buku tugas saya rusak kehujanan di kos. Pensil satu-satunya patah. Saya belum bisa menyelesaikan tugas. Saya… takut Ibu kecewa.”
Aku menatap wajah mudanya yang penuh luka yang tak terucap. Dalam sorot matanya, aku menemukan pantulan diriku sendiri: gadis kecil yang dulu juga pernah merasa tak berarti.
Aku merogoh tas, menemukan pensil mekanik kesayanganku: pensil yang kubeli dari uang hasil tulisan pertamaku: dan sebuah buku catatan kosong. Aku menyerahkannya ke tangannya yang bergetar.
“Rika, dengarkan Ibu,” kataku, suaraku bergetar, “pensil ini bukan sekadar alat tulis, Nak. Ini adalah harapan. Jangan pernah percaya bahwa mimpimu berhenti hanya karena satu tugas rusak atau basah.”
Rika menatapku, air matanya pecah. “Bu… saya… nggak tahu harus bilang apa.”
Aku mengusap bahunya.
“Tulis. Itu saja. Tulis tentang mimpimu, tentang jatuh dan bangunmu. Percayalah, suatu hari, kata-katamu akan lebih keras daripada badai apa pun.”
Tahun-tahun berjalan. Rika menulis: di sela kerja sambilan, di sela ujian. Di pojok kantin, di bawah flamboyan kampus, di antara rindu dan lapar. Tulisan-tulisannya muncul di majalah mahasiswa, lalu media nasional.
Suatu sore, lima tahun kemudian, aku duduk di deretan kursi belakang sebuah aula besar. Lampu sorot menerangi panggung tempat Rika berdiri anggun. Kini ia adalah aktivis lingkungan yang namanya menggema hingga lintas benua. Ia memegang penghargaan bergengsi, suaranya bergetar namun tegas.
“Banyak yang mengira perubahan datang dari keputusan besar,” katanya, matanya menyapu ruangan.
“Tapi bagi saya… dunia ini mulai bergeser karena satu pensil. Pensil yang saya terima dari seorang dosen, di hari ketika saya nyaris menyerah. Beliau tidak hanya memberi alat tulis: beliau memberi saya alasan untuk hidup, bermimpi, dan melangkah.”
Aula itu sunyi. Seakan semua napas tertahan. Beberapa hadirin menyeka air mata diam-diam. Aku menunduk, dadaku penuh syukur yang tak dapat dijelaskan.
Setelah acara, Rika berjalan cepat menghampiriku. Tanpa berkata-kata, ia memelukku. Pelukan itu panjang, penuh syukur dan cinta yang tak butuh penjelasan.
“Bu…” suaranya pecah, “tanpa pensil itu, saya mungkin hilang. Tapi karena Ibu percaya pada saya, saya belajar percaya pada diri saya sendiri.”
Aku menahan sesaknya haru.
“Rika… Ibu hanya meninggalkan jejak kecil. Kamu yang menjadikannya gelombang yang mengguncang dunia.”
Refleksi Diri
Kadang, perubahan besar tidak lahir dari panggung megah atau kebijakan rumit. Ia lahir di ruang kelas sederhana, dari hati yang hadir penuh. Dari pensil yang berpindah tangan: dari seorang guru ke seorang anak muda yang hampir kehilangan harapan.
Malam itu, langit Bogor kembali basah oleh hujan. Tapi bagiku, hujan itu bukan dingin: melainkan doa yang turun dari langit.
Aku menatap ke luar jendela. “Ternyata, bahagia itu sederhana: asal hati ikut hadir. Dan dari jejak kecil yang kita tinggalkan, dunia akan selalu menemukan cara untuk bergetar.”
Dunia tidak selalu menunggu pahlawan besar untuk bergerak. Kadang, ia hanya menunggu kita: dengan satu tindakan sederhana, satu hati yang tulus, satu pensil yang berpindah tangan: untuk mengguncang semesta. Jejak kecilmu hari ini mungkin akan menjadi gelombang yang menyalakan harapan besok. (*)
Bogor, 12 September 2025