Dwi Sutarjantono, penulis/mindprogrammer, Sekretaris Umum Satupena DKI Jakarta
TUBUH kita selalu bergerak menuju satu arah: menua. Tenang, ini bukan hukuman, melainkan hukum alam. WHO mencatat, pada tahun 2030 nanti, dunia akan dipenuhi 1,4 miliar jiwa beruban. Apa artinya tua? Artinya, rasa pegal, sendi yang lebih kaku, atau sakit-sakit kecil bukanlah milik kita seorang. Jika sekarang itu yang Anda rasakan, Anda bukan sedang “sakit ini-sakit itu”. Itu hanyalah proses menua. Sebuah pengalaman bersama umat manusia.
Tak perlu panik, apalagi buru-buru mencari obat setiap kali tubuh berdesah. Banyak penelitian menunjukkan bahwa obat terbaik justru ada dalam gerak tubuh itu sendiri. Sebuah ulasan di British Journal of Sports Medicine menegaskan: aktivitas fisik rutin, bahkan sesederhana berjalan kaki 20–30 menit per hari, dapat menurunkan risiko penyakit kronis, menjaga kelenturan sendi, serta memperlambat penurunan fungsi tubuh.
WHO juga menyebut olahraga sebagai “obat tanpa resep” paling efektif untuk lansia: meningkatkan kekuatan, menyehatkan jantung, hingga memperbaiki suasana hati. Jadi benar, menerima keadaan dan terus bergerak adalah resep sederhana namun ampuh.
Dalam ilmu pengetahuan, sakit-sakitan yang sering muncul seiring usia disebut inflammaging: peradangan kecil yang perlahan menumpuk. Sistem imun kita pun tak lagi sekuat dulu. Itu sebabnya tubuh sering “berbicara” lewat keluhan. Namun ini bukan tanda kelemahan, melainkan bukti perjalanan panjang—bahwa kita telah bertahan melewati begitu banyak musim hidup.
Sebuah penelitian besar yang diterbitkan di JAMA Network Open menunjukkan bahwa ketahanan mental dapat memperlambat proses kerapuhan fisik. Lansia dengan daya lenting psikologis yang tinggi tidak hanya merasa lebih sehat, tetapi benar-benar mengalami penurunan fungsi tubuh yang lebih lambat dibanding mereka yang mudah putus asa. Ini menegaskan bahwa sikap batin dan cara pandang terhadap hidup memberi pengaruh nyata pada raga.
Meski tubuh menua, jiwa punya peran besar. Riset ini sejalan dengan temuan bahwa orang yang hatinya lentur menghadapi perubahan lebih jarang jatuh sakit serius dan lebih mampu merawat diri. Seolah keteguhan batin bisa menunda runtuhnya raga. Maka, keberanian menerima jauh lebih berharga daripada sekadar melawan.
Ada pula pesan penting: rasa takut berlebihan justru bisa merugikan. Penelitian lain menemukan stres kronis mempercepat penurunan daya ingat pada orang lanjut usia. Artinya, semakin kita cemas akan menua, semakin tubuh merasakan bebannya. Sebaliknya, menerima dengan tenang bisa menjadi semacam obat, melindungi pikiran dari kepahitan waktu.
Dr. Robert N. Butler, seorang pelopor ilmu penuaan, pernah berkata: “Jika Anda hidup cukup lama, Anda akan menua. Alternatifnya jelas tak begitu menarik.” Kalimat sederhana ini mengingatkan kita bahwa menua sejatinya adalah sebuah anugerah: kesempatan untuk hidup lebih lama, untuk mencintai lebih dalam, untuk belajar lebih banyak.
Menua berarti tubuh berubah. Tapi bukan berarti hidup kehilangan makna. Sakit, pegal, dan kerentanan hanyalah bahasa baru tubuh untuk mengingatkan kita: pelankan langkah, dengarkan diri, dan peluk pengalaman yang telah dibawa sejauh ini. Tentu saja, bila ada sakit serius atau ketidakberesan fisik, tetaplah perlu diperiksa dan diobati.
Yang penting, jangan takut menua. Ini hanyalah musim lain dari kehidupan. Tempat tubuh lebih butuh istirahat, sementara jiwa bisa bertambah luas, teduh dan penuh cerita. (*)