Rosadi Jamani

-- Ketua Satupena Kalbar


BEBERAPA waktu lalu, muncul istilah “Dinepalkan” Istilah ini membuat KPU panas dingin. Sekarang ada ni istilah baru, wak! “Dibutonkan.” “Ape age bende tu, bang?” tanya budak Pontianak. 

Mari kita lindas, eh salah -- kupas istilah yang berasal dari ide kreatif warga Buton ini. Siapkan lagi kopi plus aspal, eh salah -- sedikit gula aren. 

Sejarah politik Indonesia akhirnya menemukan satu kata kerja baru yang lebih ngeri dari “dikorupsi”, lebih pedih dari “dilindas”, dan lebih memalukan dari “digerebek”, yaitu “dibutonkan”. Kata ini lahir bukan dari seminar politik, bukan dari disertasi profesor, tapi dari keresahan warga Buton yang bupatinya mendadak raib sebulan penuh. 

Bayangkan betapa dramatisnya, seorang bupati muda, kaya raya, lulusan UGM, anak mantan gubernur, pemilik tronton tiga biji, pokoknya kombo ultimate generasi sultan, tiba-tiba hilang dari radar rakyat. Warga yang bosan menunggu akhirnya melapor ke polisi. Polisi pun bengong, “Hilang gimana, daeng? Handphone nggak aktif? Atau beliau disedot jin Buton?” Jawaban warga sederhana, “Ya hilang aja, Pak. Masa bupati kayak hantu Casper?”

Lalu poster “Orang Hilang” terpampang di tiang listrik. Wajah sang bupati nongol di samping iklan tukang service AC dan jasa sedot WC. Dari bupati termuda se-Sulawesi Tenggara, ia berubah jadi tokoh pos ronda. Kalau ini film koboi, bounty hunter sudah siap pasang kuda ke arah Senayan. Kalau ini iklan, tagline-nya jelas, “Dicari! Hadiah: rasa rindu rakyat yang tak terbayar.”

Netizen, tentu saja, tidak tinggal diam. Kolom komentar meledak seperti mercon Lebaran. Ada yang menulis, “Andai semua pejabat yang jarang masuk kantor dibutonkan, kantor polisi bakal penuh sampai bikin antrean kayak konser Taylor Swift.” 

Ada yang lebih sadis, “Poster ini lebih jujur daripada baliho kampanye. Minimal kita tahu bupatinya benar-benar nggak ada.” 

Bahkan ada yang bikin meme, wajah Alvin disandingkan dengan tulisan Last Seen: Jakarta, 30 hari lalu. Persis kayak status WhatsApp mantan pacar yang ghosting.

Di sisi lain, wakil bupati berusaha tenang. Katanya, “Bupati tidak hilang, beliau sedang dinas di Jakarta.” Wah, jawaban ini setara dengan orang pacaran LDR bilang, “Aku nggak hilang, cuma sibuk.” Dinas sebulan? Dinas apa, coba? Magang sama Pramono? Ikut lomba joget TikTok nasional? Atau sibuk jaga malam tronton tiga biji di Tanjung Priok? Kalau benar begitu, sebaiknya tambahin di SK jabatan, “Bupati Buton, merangkap mandor logistik.”

Fenomena “dibutonkan” ini langsung jadi filosofi baru demokrasi. Teguran elegan rakyat kepada pejabat yang hobi menghilang. Bayangkan, daeng! Kalau tren ini menular, anggota DPR yang tidur saat sidang bisa diposterkan, “Dicari: Wakil rakyat terakhir terlihat mendengkur jam 14.00.” Menteri yang doyan jalan-jalan keluar negeri juga bisa, “Dicari: Menteri X, last seen di bandara terminal 3.” Bahkan lurah yang sibuk kawin siri pun rawan, “Dicari: Lurah paling romantis, terakhir terlihat di KUA.”

Namun, di balik tawa, pesan ini epik. Rakyat tak butuh CV canggih, tak butuh gaya gaul ibukota, apalagi tronton. Mereka cuma butuh pemimpin yang muncul di pasar, nongol di acara desa, atau minimal hadir di rapat kantor. Kehadiran fisik, bukan sekadar kehadiran hati. Karena hati tak bisa memperbaiki jalan rusak, hati tak bisa bayar gaji pegawai, dan hati jelas tak bisa menurunkan harga ikan.

So, awas wahai para penguasa. Jangan sampai dibutonkan rakyat. Sebab sekali wajahmu diposterkan di tiang listrik, itu lebih abadi dari baliho kampanye. Lebih pahit dari headline di akun ini, lebih viral dari gosip artis. Itu tanda, rakyat sudah muak, dan mereka memilih cara paling kreatif, menjadikan absensimu sebagai bahan tertawaan nasional. Ingat, lebih baik dipuji karena hadir, ketimbang terkenal karena hilang. Karena sejarah tidak pernah menulis, “Ia pemimpin besar karena rajin absen.”

NB. Infonya si Wahyudin Moridu anggota DPRD Gorontalo itu sudah dipecat DPP PDIP.

#camanewak





 
Top