Dr. Wendy Melfa

- Akademisi UBL, Penggiat Ruang Demokrasi (RuDem)


MENCARI JALAN SENDIRI


ADANYA tuntutan pengakhiran korupsi, tata kelola pemerintahan yang baik, dan kesetaraan ekonomi menjadi isu central gelombang unjuk rasa terburuk pasca berakhirnya perang saudara yang berlangsung selama satu dekade dan penghapusan monarki pada tahun 2008 yang lalu, gelombang unjuk rasa di Nepal kali ini lebih dominan dimotori oleh Gen-Z dan aktivis muda menggelorakan aksi demonstrasi yang dipicu gaya pamer (flexing) dari sejumlah keluarga pejabat di Nepal sementara rakyatnya sedang dalam kesusahan ekonomi, dan pembatasan atau melarang akses penggunaan internet (banned) oleh otoritas kekuasaan di Nepal.

Ini menyebabkan “kemarahan” rakyat, menghadirkan gelombang unjuk rasa, pengrusakan sejumlah fasilitas dan gedung pemerintah, ‘perundungan’ massal terhadap anggota parlemen, dan berbuntut pengunduran diri Perdana Menteri Nepal Sharma Oli.

Gelombang demonstrasi yang menewaskan 72 orang dan sejumlah lainnya luka-luka, rusaknya sejumlah fasilitas publik, menyerang dan membakar kantor Presiden, Mahkamah Agung, kementerian-kementerian utama, sejumlah kantor Polisi, sejumlah rumah milik keluarga pejabat dijarah, pembubaran Parlemen Nepal dan sejumlah kekacauan lainya itu mereda setelah tentara turun ke jalan dan mengamankan situasi, diikuti dengan perundingan yang ketat dan alot antara perwakilan pengunjuk rasa yang merupakan Gen-Z, pimpinan tentara dan Presiden Nepal yang melahirkan kesepakatan pembentukan pemerintahan sementara sampai dilaksanakannya Pemilu yang dijadwalkan pada 5 Maret 2026 mendatang.

Mekanisme demokrasi ala Gen-Z yang ditempuh sebagai jalan pintas (short cut) akibat ketidak percayaan atas sistem yang berjalan, mereka menggunakan fasilitas Discord sebagai cara mereka mengalihkan energinya untuk turun kejalan, dengan cara menghadirkan “parlemen digital” dan secara bersama-sama menggunakan hak demokrasinya untuk voting guna memilih Perdana Menteri interim Nepal, untuk memimpin pemerintahan sementara Nepal menuju Pemilu Nasional guna membentuk pemerintahan baru yang legitimate. 

Yang patut menjadi pembelajaran dalam perkembangan demokrasi dunia, bahwa mekanisme memilih dan menentukan PM interim itu dilakukan bukan melalui mekanisme politik manual yang konvensional seperti lobi politik dari ruang-ruang abu-abu para politisi, bukan juga melalui pidato atau orasi politik, tanpa ada pemasangan banner dan spanduk yang dipaku pada pohon dan tiang yang merusak pandangan dan lingkungan, tetapi mekanisme parlemen digital yang diprakarsai oleh aktivis muda melalui fasilitas Discord tersebut mereka gunakan untuk pemungutan suara melalui apa yang disebut voting digital pada ruang yang mereka bangun sendiri yaitu server Discord dengan menghadirkan ratusan channel, ribuan suara dan satu keputusan.

Melalui tools yang mereka paham, dengan bahasa yang mereka kuasai, keputusan melalui fasilitas Discord itu pun pada akhirnya didengar, diresmikan, dan dilantiknya yang terpilih hasil ‘parlemen digital’ yaitu Sushila Karki, perempuan 73 tahun mantan Ketua Mahkamah Agung sebagai Perdana Menteri interim Nepal yang akan memimpin pemerintahan sementara Nepal hingga Pemilu 2026.

Bergerak dari Zona Nyaman

Peristiwa ‘parlemen digital’ yang terjadi di Nepal merupakan babak baru perkembangan demokrasi bukan hanya di Nepal, tetapi juga bagi dunia yang dapat memetik ‘pelajaran’ betapa sistem konvensional penyelenggaraan kekuasaan negara ‘dapat’ digantikan dalam tempo singkat oleh perangkat digital yang memangkas penyelenggaraan demokrasi prosedural yang menghalangi terwujudnya demokrasi secara substansial bila rakyat sebagai pemilik kedaulatan itu menginginkannya, terlebih bila prosedur demokrasi itu sendiri dijadikan ‘selimut’ dan ‘tameng’ bagi pengelola status quo kekuasaan yang enggan ‘bergerak dari zona nyaman’ terlebih bila hal itu menghadirkan rasa ketidak adilan bagi rakyatnya.

Sistem politik yang hanya menguntungkan bagi keberlangsungan kenyamanan pengelola kekuasaan ada baiknya diperbaharui dengan semangat yang dapat lebih mengedepankan aspirasi dan kepentingan publik.

Narasi dan argumentasi berbelit yang dibangun oleh pengelola kekuasaan namun ‘dapat’ dipahami oleh publik sebagai cara yang menunjukkan keengganan mereka untuk keluar dari zona nyaman ketimbang menyerap aspirasi dan kepentingan rakyat, justru dapat menyebabkan ketidakpercayaan rakyat terhadap para pengelola kekuasaan yang pada akhirnya menimbulkan ‘jarak’ antara rakyat dengan pengelola kekuasaan.

Beberapa peristiwa di dalam negeri yang menghendaki perubahan sistem politik pasca penilaian penyelenggaraan Pemilu 2024 yang lalu sebagai Pemilu yang kurang baik, termasuk lembaga Parlemen yang dihasilkannya, maka perbaikan UU Partai Politik dan UU Pemilu sebagai pintu masuk untuk perbaikan sistem Politik sudah menjadi kebutuhan bagi bangunan sistem politik kontemporer.

Belajarlah sampai ke negeri Cina, demikian pepatah orang-orang tua dulu kepada generasi penerusnya sebagai simbolisasi akan semangat, usaha keras dan pantang menyerah dalam menuntut pengetahuan guna bertambahnya ilmu dan keterampilan sebagai bekal menghadapi tantangan dan kemajuan peradaban.

Dari peristiwa Nepal, patut berbagai peradaban dan entitas demokrasi dunia memetik ‘pelajaran’ penting bahwa perbaikan cara berdemokrasi yang mengedepankan kepentingan rakyat mutlak menjadi kebutuhan bagi peradaban dunia yang berkembang dengan pesat seiring dengan transformasi perubahan era digitalisasi yang juga begitu cepat. Tidak banyak pilihannya, berubah untuk memperbaiki keadaan, atau ‘dipaksa’ berubah untuk perbaikan keadaan, “Belajarlah dari negeri Nepal”. (*)





 
Top