Rosadi Jamani

- Ketua Satupena Kalbar


PAS di mobil dengar talk show di RRI Pontianak. Sepertinya membahas soal korupsi. Narsumnya Prof Hermansyah, ahli hukum dari Untan. Ia ada menyinggung soal banyaknya ASN atau PNS menolak menjadi PPK. Benarkah demikian? Mari kita kupas sambil seruput kopi tanpa gula, wak!

Ada satu profesi lebih ditakuti dari jadi penjaga hutan di malam Jumat, yakni Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). ASN biasa masih bisa ngopi di kantin sambil main catur, tapi begitu SK PPK disodorkan, kopi jadi pahit, catur berubah jadi remi utang dan hidup terasa seperti menunggu undangan OTT KPK.

Buktinya nyata. Di Kabupaten Kediri, beberapa ASN ramai-ramai mengembalikan SK PPK/PPTK. Bukan karena mereka alergi kertas, tapi karena mereka tahu, satu tanda tangan bisa berarti satu kaki di rumah sakit jiwa dan satu lagi di pintu penjara. Sekitar lima ASN langsung angkat tangan, mundur sebelum masuk gelanggang. Mereka takut ikut diamankan kalau kontraktor main nakal. Kepala Inspektorat pun angkat bahu, “Kompetensi PPK tidak semua ASN punya.” Artinya, jadi PPK itu bukan cuma soal jabatan, tapi soal berani hidup dengan jantung berdetak 200 bpm tiap kali auditor datang.

Filsafatnya sederhana. Siapa berani tanda tangan, dia berani masuk berita. Lihat saja kasus demi kasus.

• Yofi Okatrisza, ASN Kemenhub, pernah jadi PPK jalur ganda Cirebon-Kroya. Bukannya dapat penghargaan “ASN Teladan”, dia justru ditetapkan tersangka KPK karena diduga terima fee.

• Di Balai Perkeretaapian DJKA Jateng, seorang PPK ikut terjaring OTT.

• Di Kemenkes, PPK bernama BS terseret kasus pengadaan APD.

• Di P4TK Yogyakarta, PPK juga jadi tersangka korupsi Rp21 miliar.

• Bahkan ada ASN Kemenperin yang dipecat karena bikin SPK fiktif.

Di sinilah letak ironi. Proyek pemerintah tidak boleh jalan tanpa PPK. Sama seperti pernikahan tak sah tanpa penghulu. Meski jabatan ini dianggap kursi listrik, negara tetap butuh orang yang mau duduk di situ. Kalau tidak ada PPK, kontrak tidak sah, anggaran tidak bisa dicairkan dan proyek berhenti total. Akhirnya, ASN dipaksa memilih antara risiko stagnasi atau risiko Tipikor.

Lebih parah lagi, PPK kerap dianggap kambing hitam nasional. Pejabat di atas bisa bilang, “Itu kewenangan PPK, saya hanya menyetujui garis besar.” Jadilah adagium klasik, kalau sukses, nama atasan yang harum. Kalau gagal, PPK yang karam. Tidak heran jika di banyak kantor, ASN begitu mendengar kata “PPK” langsung pura-pura sibuk ke toilet.

Ironinya makin lengkap dengan data. Ada 104 jabatan PPK kosong menjelang pemilu serentak. Bukan karena ASN habis, tapi karena tak ada yang mau dipanggang hidup-hidup. Mereka lebih rela jadi tukang ketik laporan dari pada tukang tanda tangan kontrak. Tunjangan PPK ibarat permen karet, sementara risiko hukum ibarat hiu lapar.

Mari kita tarik filsafatnya. Kalau ASN jadi PPK, ada risiko ditangkap KPK. Kalau tidak jadi PPK, proyek macet, dicap tidak loyal. Kalau loyal, bisa masuk bui. Kalau tidak loyal, masuk kotak mutasi.

So, wajar, sangat wajar, bahkan super wajar kalau banyak ASN menolak jadi PPK. Karena di republik ini, jabatan PPK bukan sekadar tugas birokrasi, melainkan ritual keberanian tingkat tinggi, di mana satu coretan pena bisa lebih mematikan dari sebilah keris. Maka jangan salahkan mereka yang mundur. Mereka bukan pengecut, mereka hanya realis, lebih baik jadi ASN biasa, dari pada jadi pahlawan tragis yang berakhir di ruang sidang Tipikor. (*)

#camanewak




Next
This is the most recent post.
Previous
Posting Lama
 
Top