// Pinto Janir


Aku terjajar pada kelibut rasa

yang menggit tali jiwa hingga

sukma lapuk diguyur air mata

jatuh berderai-derai

di lantai kaca

cermin sengsara bias derita

lepuh rindu dipanggang

asmara gila membara.


Pada tebing penghabisan

seringai ribuan ujung pedang

setajam taring serigala melukap

debu jatuh dari ingatan paling cukam.


Aku terlempar waktu

sampai pecah berderai

menampar ngilu !


Diamku tak seperti sepi

di hujan pagi yang

larut di segelas kopi

lalu mengaduk-aduk

mimpi semalam tadi


Sunyiku tegak sendiri

dalam siulan dendang

rebab sengiang bansi


Sepetik melodi, amuk lirikku

alunan pedih perih

yang kubawa menari

di bawah menara tua

disapu ombak teya


Kusaru bayang lenyap

digulung badai

hingga di langit langit

angin berkisai

mencabik koyak

jantung hati.


Ombak besar berdebar

‘ngalun dada membuai

rindu rindu yang tak selesai

biarkan buih riak melukis

awan di langit perak.


Bila bayang-bayang

adalah debu rindu

mengapa badai memiuh

ingatan berkelukuran luka-luka

hingga tak aku mampu

mengirai cerita

di atas batu tanpa nama. (*)


(Aku pungut makna bukan aksara. Rindu tak selesai adalah tuba semanis senyum Monalisa. Bila ia mendebu, tak perlu disingkirkan.Kalau ia beristana di tengkorak kepala, tak perlu ditiup, biar debu kekal dan berdebar di ruang dada // Jakarta 15 September 2025)




 
Top