Puisi Mitha Pisano
Di pagi yang masih gelap gulita,
aku menuangkan air mendidih
ke dalam cangkir,
Mengalir perlahan di atas bubuk hitam pekat,
Aroma getir meruap, menyapa sunyi,
Seperti hidup, pahitnya mengendap erat.
Cangkir keramik yang menggenggam panasnya,
Seperti dada yang menahan luka lama,
Setiap tegukan, getirnya merambat perlahan,
Mengingatkan kita bahwa bahagia pun fana.
Orang bijak berkata, gula bisa ditambahkan
Tapi manisnya takkan menghapus rasa dasar,
Begitu pula dengan harapan yang sering kita tabur,
Tak selalu mampu menutupi getir yang liar.
Kopi hitam, kau jujur tanpa tabir manis,
Seperti hidup yang tak suka berbohong,
Pahitnya menampar, mengajarkan kita tegar,
Bahwa setiap luka adalah pelajaran, bukan aib yang kosong.
Kudiamkan sebentar, membiarkannya dingin,
Rasanya pun berubah, getirnya lebih menonjol,
Seperti kenangan yang lama tertinggal,
Semakin dikenang, akan semakin dalam menusuk.
Akan terapi, ada kenikmatan dalam kepahitannya,
Bagaikan pelajaran di balik setiap derita,
Hidup tak selalu tentang tawa canda yang cerah,
Terkadang tangis pun melahirkan makna.
Kopi ini sederhana, tapi penuh dengan makna,
Seperti kehidupan yang tampak biasa saja,
Akan tetapi di balik hitam gelapnya, tersimpan berjuta cerita,
Tentang jatuh bangun, dan tentang rasa percaya.
Setiap seruputannya adalah perenungan kecil,
Tentang sebuah kehilangan, harapan, dan penerimaan,
Seperti hidup yang terus berjalan,
Walau pun tak selalu sesuai dengan harapan.
Hingga tetesan terakhir yang menempel di dasar cangkir,
Aku sadar, hidup tak harus selalu manis,
Pahitnya pun adalah bagian dari sebuah perjalanan,
Mengajarkan kita tentang cara untuk bertahan, meski nyaris habis. (*)
Cerita pagi, 5 Februari 2025
@hatipena