Oleh: M Dwi Cahyono

DUA pekan lalu, tepatnya tanggal 2 Mei 2020 usai diperingati "Hari Pendidikan". Adapun tiga pekan mendatang, tepatnya tanggal 14 Juni 2020 bakal diperingati "Hari Purbakaka". Pada pertengahan dari keduanya, yakni pada Senin tanggal 18 Mei 2020, P4TK PKn dan IPS selenggarakan Webinar, mengangkat judul dengan memakai dua momentum itu, yakni "Pemanfaatan Tinggalan Purbakala sebagai Sumber Belajar Sejarah-Budaya Setempat". 

A. Sumber Data dan Data Masa Lalu sebagai Sumber Belajar

Gambaran tentang pengetahuan (kognisi), aktifitas sosial-budaya maupun hasil aktifitas (artefak) masa lalu bisa diungkapkan apabila tersedia cukup data -- dalam.arti "informasi", yang langsung atau tidak langsung berkenaan dengannya. Infornasi (data) itu terkandung di dalam sumber informasi (sumber data, atau data resources), yang dalam telaah ini adalah "sumber data masa lalu". 

Untuk keperluan pembelajaran, sumber data serat kandungan di dalamnya dapat dijadikan "sumber belajar (resouce learning)". Bahkan, dapat pula dinyatakan sebagai "sumber belajar yang primer (primary resouce learning)". Demikianlah, sumber data masa lalu memiliki urgensi bagian rekonstruksi historis. 

Lebih lanjut, rekonstruksi historis itu dapat dijadikan bahan ajar. Untuk itulah maka ragam sumber data masa lalu itu seyogyanya didayagunakan dalam pembelajaran, baik bagi pembelajaran siswa, riset guru, atau sebagai bahan berharga untuk pelatihan literasi eko-sosio-kultura bagi siapapun, yakni yang berminat pada sejarah. 

1. Ragam Jenis Sumber Data Masa Lalu

Data masa lampau terkadung di dalam beberapa  jenis sumber data, yang secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam : (a) sumber data tekstual, (b) sumber data artefaktual, (c) sumber data eko- faktual, dan (d) sumber data oral. Tidak tertutup adanya kemungkinan suatu ttinggalan masa lalu memuat dua atau lebih jebis sumber data. Sebuah situs, misal situs Pendem di sub-area timur Batu, di dalanmya "terdapat" atau "terkait" dengan tinggalan masa lampau untuk jenis tekstual, artefaktual dan ekofaktual, serta dituturkan pula secara generatif dalam tradisi lisan setempat. 

Candi yang tinggal tersisa bagian batur dan kakinya ini baru ditemukan pada Desember 2019 dan diekskavasi untuk tahap permulaan di awal tahun 2020. 

Sebagai sumber data masa lalu yang memuat atau terkait dengan beragam jenis sumber data, terbuka kemungkinan ke depan dijadikan sumber belajar oleh berbagai pihak, antara lainb oleh :  (a) Pusat Pengembangan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kepen- didikan (P4TK) mata ajar PKn dan dan IPS, lantran pusat pelatihan ini berlokasi di Jl. Arhanud, Desa Pendem, Kecamatan Junrejo, Kota Batu, yang "se lokasi" dengannya, (b) SD, SMP, SMA terdekat, maupun (c) perorangan maupun komunitas sejarah-budaya, sebagai "sumber pembelajaran sejarah-budaya". 

1.1  Sumber Data Tekstual

Sesua dengan unsur sebutannya, yaitu "teks (text)" pada sebutan "tekstual", sumber data ini berbentuk "literal (tertulis)", sehingga acap disebut "sumber data tertulis". Untuk konteks Sejarah Indonesia, jenis sumber data tersebut berwujud sebagai : (1) prasasti -- diistilahi dengan "sumber data epigrafis", (2) susastra lama -- dinamai juga "sumber data filologis", (3) arsip, dan (4) beragam bentuk catatan lain tentang kejadian, keputusan, notulensi, dsb. yang disuratkan dengan mempergunakan huruf, bahasa dan media penyuratan tertentu. Ditilik dari "bilamana" teks itu disurat dan kaitannya dengan peristiwa yang disuratkan, terdapat dua sumber data tekstual, yaitu : (a) sinkronik (sezaman), dan (b) diakronik (tak sezaman). Perbedaan keduanya berpengaruh pada "akurasi data" yang terkandung di dalamnya. Akurasi data terkandung juga bisa berbeba antara sub-jenis sumber data tekstual. Misalnya, beda akurasi dalam hal tertetu antara sumber data epigrafis dan filologis. 

Suatu peristiwa di masa lalu  bukan tidak mungkin tercatat dalam lebih dari satu sub- jemis sumber data tekstual. Misal, tercatat di dalam sumber data sastra, dan tercatat pula sumber data prasasti. Bisa juga terjadi suatu peristiwa dibicarakan di dalam dua susastra atau lebih. Dalam hal demikian, perlu untuk dilakukan "uji silang (cross check)" terhadap data yang terkadung dalam beberapa sumber data yang berlainan itu untuk pemeriksa akurasinya. Misalnya, uji akurasi data yang berkenaan dengan peristiwa di era Tumapel (Singhasarari, tahun 1222-1292 M dan dua dasawarsa sebelumnya) yang terkandung di dalam kitab Pararaton (disurat tahun 1613 M.), di kakawin Nagarakretagama (1365 M.), dan dalam prasasti Mulamalurung (1255 M.). 

Uji akurasi itu berkenaan debgan apa yang dalam penelitian sejarah diistilahi "kritik sumber". Namun sebaliknya, bukan pula tidak mungkin bila suatu peristiwa atau hal hanya didapati pada satu jenis sumber atau du satu sub-sumber data, sehingga sejauh telah ditemukan hadir sebagai "informasi (data) tunggal".

Ada pula artefak di suatu situs terkait dengan teks yang berada di situs lainnya. Dalam hal demikian, telaah "relasi antar situs":perlu dillakukan. Misalnya, kesejarahan reruntuhan candi di Pendem cukuplah alasan untuk ditafsir serta diidentifikasikan sebagai bangunan suci (prasada kabhaktyan), yang dalam prasasti Sangguran (927 M) -- dulu berada di situs Kajang, lalu direlokasiksn ke Calcutta pada Teluk Benggala dan kemudian direlokasikan lke Minto's House di  Scotlandia -- dinamai dengan "Prasada kabhaktyan I Mananjung". 

Ada pula suatu daerah tidak atau sedikit sekali diberitakan oleh prasasti dan kitab sastra kuno, alih-alih banyak dibicarakan pada sumber data arsip. Bahkan, terdapat daerah-daerah tertentu di Indonesia yang nyaris tidak termuat di dalam sumber data epigrafis dan filologis, seperti di kawasan Indonesia bagian timur. Kalaupun terdapat arsip yang memberikan, untuk era pra-kemerdekaan RI, arsip-arsip yang memuat infornasi tentangnya terbilang sumir. Oleh karena itu, pengungkapan kesejarahannya dilakukan dengan mempergunakan jenis sumber data non-tekstal, seperti artefaktual, ekofaktual, atau oral. 

Dengan demikian, apabila informasi kesejarahannya tidak terdapat di suatu jenis atau sub-jenus sumber data, maka dilacak kemungkinan kandungan informasinya pada t jenis atau sub-jenis sumber data yang lain, paling tidak untuk kurun waktu tertentu yang tidak terlanpau tua. 

2  Sumber Data Artefaktual

Secara harafiah, artefak (artifact) menunjuk kepada hasil budaya fisis-material, yang pada telaah ini adalah hasil budaya fusis-material dari masa lalu. Sebutan lain untuknya : "sumber data kebendaan", karena berwujud "material culture". Tiap-tiap masa memiliki  artefak dominannya sendiri, yang bisa jadi tidak dimiliki oleh lapis masa lain. Bila artekfak yang relatif sama kedapatan pada dua lapis masa atau lebih, berarti terdapat kesinambungan budaya (conginuity culture) pada lintas masa, yang berupa  "tradisi budaya (cultural traditional)". 

Sumber data artektual bisa dirinci ke dalam beberapa sub-jemis artefak sesuai dengan masanya. Untuk lapis masa Hindu-Buddha, sub-jenis artefaknya berupa : (a) arsitektural, (b) ikonografis -- seni arca, dan (c) aneka kelengkapan hidup untuk berganam kegiatan. Untuk dua masa awal di Zaman Prasejarah, yaitu Masa Berburu dan mengumpul Makanan tingkat permulaan dan tingkat lanjut, sub-jenis artefak arsitektural dan ikonografis belum terdapat. 

Suatu daerah boleh  jadi terbilang kaya akan artefak berjemis arsitektural, mebeler dan perangkat hidup yang bergaya Indis dari Era Kolonial. Misalnya, di Jakarta Kota, Kota Bandung, Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Sekarang, Makasar, dan di daerah- daerah lain yang pada Masa Kolonial telah menjadi pusat pemerintahan sebagai perkotaan lama atau menjadi pusat kegiatab di masa itu, seperti daerah pertambangan di Sawahlunto - Sumatera Barat, distrik Sanga-sanga di Kutai Kartanegara, pebuhan kuno Sedayu di Gresik, area perkebunan dan sebagainya. 

Pada daerah lain, artefak yang kedapatan  dalam jumlah banyak justru jejak artfektual dari masa Hindu-Buddha, seperti Magelang, Sleman, Mojokerto, Kabupaten Malang dan sebagainya. Pada daerah-daerah ini, tinggalan untuk jenis arsitektural, ikonografis dan perangkat hidup dari masa Hindu-Buddha banyak didapat baik  dalam kondisi utuhan atau framentaris, baik yang "in situ" atau mengalami relokasi (taphonomy). Artfak-artefak itu utamanya ke- dapatan di areal yang konon menjadi tempat perrmukiman, tempat peribadatan, kadatwan (pusat pemerintaha!n), maupun pada sentra kegiatan sosial-budaya masa lampau. Dalam keberadaannya sekarang, twk sedikit tempat- tempat itu ustru terletak jauh dari kota, pada lereng dan lembah, pada lembah sungai, di tepian hutan, dsb. 

Daerah-daerah pada Pantura Jawa terbilang kaya jejak artefaktual dan Masa Pertumbuhan dan Perkembangan Islam. Adapun daerah- daerah lain, yang banyak di antaranya kini berada di daerah terpencil, justru di Zaman Prasejarah menjadi aglomerasi (pemusatan) aktifitas manusia purba. Misal, daerah aliran sungai, rawa dan genangan air purba, deretan perbukitan kapur, perbukitan, bahkan padang sabana konon menjadi tempat aktivitaas  manusia prasejarah. Tergambar bahwa dari zaman ke zaman, dari suatu masa ke masa sesudahnya, dimungkinkan terjadi alih area sentra kegiatan sosio-kultura -- kecuali untuk era Perkembangan Islam dan untuk Era Kolonial, yang acap perlihatkan adanya kesinambungan hingga ke masa kini. 

Pada dasarnya, semua daerah itu memiliki jejak artefak masa lalunya sendiri-sendiri, terlepas dari lapis masa mana, terlepas apa bentuk dan fungsinya, entah dalam kondisi utuhan atau tinggal sisakan fragmennya. 

Oleh karena itu, tak ada alasan untuk mengatakan tak punya sumber data artefaktual masa lalu di daerahnya. Senantiasa ada jejak masa lalu yang tertinggal, meskipun sebagai informasi kelampauan, hanya hadir sebagai "informasi sisa". Sekecil apapun artefak masa lalu itu tetaplah merupakan sumber informasi yang berharga, sehingga jangan sampai disia-siakan. 

3. Sumber Data Ekofaktual

Peristiwa terjadi dalam ruang dan waktu. Peristiwa masa lampau berlangsung pada ruang geografis masa lalu. Lingkungan fisis- alamiah di masa lalu tak sama persis dengan kondisinya sekarang, karena dimungkinkan terjadi dinamika ekologis dari masa ke masa. 

Oleh karena itu, untuk mendapat gambaran mengenai lingkungan di masa lampau (paleo-ekologi), yang konon menjadi ajang peristiwa masa lalu. Perubahan ekologis yang demikian itu misalnya tergambarkan pada aliran sungai purba Brantas dan Bhangawan Solo. Jalur alirannya pada masa Majapahit tidak sama persis bila dibanding dengan jalur alirannya di masa sekarang. 

Lantaran adanya perubahan aliran itu, maka ada desa-desa perdikan (sima) panambangan (penyeberangan sungai) yang diberitakan dalam prasasti Canggu (1358 M) kini letaknya tidak tepat di DAS Brantas dan Bengawan Solo. Begitu pula, lantaran adanya perubahan lingkungan, yaitu terjadi penimbunan oleh material vulkanik, suatu reruntuhan candi kini berada beberapa meter di bawah permukaan tanah sekarang. Seperti tergambar pada muka tanah asal candi Sambisari, Sawentar, Tondowongso, Adan- adan, dsb., Gambaran mengenai lingkungan fisis- alamiah di masa lalu  (peleo- ekologi) itu menjadi "konteks geografi pada zamannya" dari peninggalan arkeologis. 

Di dalam studi sejarah, paleo-ekologi adalah bahan kajian yang penting untuk memberikan eksplanasi (penjelasan) historis. Tidak sedikit peristiwa sosio- kultural di masa lampau yang merupakan "jawaban (response)" dari seseorang atau sekelompok orang terhadap "tantangan (challenge)" alam sekitarnya -- sebagaimana diteorikan Arnold Joseph Toynbee. 

Apa yang mereka lakukan tersebut sebagai wujud adaptifmya terhadap lingkungan setempat. Perihal itu antara lain terlihat pada "kalkulasi ekologis" untuk tentukan areal bemukim. Begitu pula, ajang aktivitas sosial-budaya, cara mengelola sumber daya alam, dan ikhtiar untuk mempertahan hidup (sufivalitas) yang mendasarkan pada hubungan dialogis antara manusia dengan alam siktarnya. 

Paleo-ekologi pada areal atau di sekitar situs oleh karenanya mustilah mendapatkan pencermatan. Dengan telaah demikian, maka rekonstruksi historis yang dilakukan bisa tergambar lebih hidup, lebih kontekstual, dan lebih analitik. Misalnya situs  candi di Pemdem tak bisa dilepaskan dari Gunung Wukir yang menjadi titik orientasinya. Begitu pula aliran bangawan purba Brantas di sebelah barat dan selatan dari rruntuhan candi di Pendem perlu mendapatkan pencermatan, mengingat bahwa Brantas merupakan sungai purba yang konon diyakini sebagai "kali suci".

Situs lainnya yang dengan jelas memperlihatkan relasii dengan lingkungan sekitar adalah Liyangan. Situs yang terkait dengan pemberitaan Prasasti Kuti (762 S = 18 Juli 849 M) ini, ketika ditemukan dalam kondisi terkubur oleh material vulkanis dari Gunung Sundoro (nama arkhais "Susundara" -- lempeng VIIIb. baris 3-4 menyebut "Wukir Sumbang dan Sang Hyang Susundara"'). 

Begitu pula fungsi khusus Candi Palah (nama kuno candi Penataran) maupun prasadha kabhaktyan di Walandit dan di Himad -- sebagai tempat upacara religio-magis untuk tujuan khusus meredam "murka (ugra, kodha)" Gunung Kampud (nama lama dari Gunung Kelud) dan Brahma (nama kuno Gunung Bromo) tergambar jelas manakala peniggalan arkeologis ini ditelaah ke dalam konteks ekoligis sekitarnya. Bahkan terdapat situs-situs tertentu yang lebih tampil sebagai hasil rekayasa ekoligis manusia masa lalu terhadap lingkungan fisis- alamiah sekitar untuk pemenuhan kebutuhannya. Misal, situs patirthan, tamwak (tanggul), dawuhan (bendungan), arung (saluran bawah tanah), weluran, talang, segaran, dsb. adalah wujud tinggalan artefak sekaligus ekifaktual, yang utamanya berkenaan dengan paleo-hidrolog

4. Sumber Data Oral

Tradisi lisan (oral tradition) bisa juga dijadi- kan sebagai sumber data keseharahan. Ada baiknya dipakai istilah "kesejarahan" guna membedakannya dengan sebutan "sejarah", karena ganbaran tentang masa lampau yang direkonstruksikan dari sumber data oral acap kurang memiliki tingkat kepastian. Meski demikian, boleh jadi sumber informasi masa lalu yang tersedia cukup rinci adalah tradisi lisan setempat.

 Adapun sumber data tekstual serta artefaktual tadi atau hanya amat sedikit yang didapatkan. Untuk kepentingan kajian sejarah, tradisi lisan itu perlu dianalisa dengan "analisis kritis", paling tidak mengkomparasikan dengan sumber daya efofaktual. Bisa juga terjadi, tuturan dari nara sumber satu dan nara sumber lainnya memiliki perbedaan. Oleh karena itu, perlu dilakukan komparasi antar data dan pemeriksaan terhadap tingkat kesahihan atau kepercayaan informan 

Ada baiknya, kurun waktu tertelaah yang memakai bahan telaah data oral dibatasi untuk waktu yang tidak terlampau tua  Semakin tua, makin kurang akurat unformasi yang didapat darinya, mengingat penyampai informasi dari seseorang  ke orang lain, dari suatu generasi ke generasi berikut dilakukan secara lisan atau melalui penuturan (tutur). Dalam trasgitmasi infornadi itu dimungkinkan terjadi bias, yang berupa penambahan, pengurangan, pembe- lokan, bahkan dilakukan pengubahan seperlunya untuk kpentingan penuturnya. 

Selain itu, tak jarang data oral bersifat "anaktonus", dimana peristiwa dari masa yang berlainan dicampuradukkan. Oleh karena itu, sedapat mungkin dikakukan pemilahan, kemudian penyusunan ulang secara " kronologis" terhadap unsur-unsur yang terkisah dalam tradisi lisan. 

Kendati sumber data oral mempunyai beberapa kekurangan dalan hal akurasi data, namun bukan berarti tradisi lisan tidak bisa dijadikan sebagai sumber informasi tentang peristiwa masa lalu. Hanya saja, dalam pengunaannya perlu disertai dengan analisis kritis terhadap informan, informasi, dan tata urutan kisahnya  menurut ruang dan waktu  Jika sumber daya oral merupakan sumber sata dominan, maka tingkat akurasinya cenderung kurang bila dibanding dengan konstruksi historis dengan mendayagunakan "lintas sumber data". Hasil rekonstruksi yang diperoleh dari sumber data oral, oleh karenanya acapkali dikatakan "besifat menyejarah" atau hanya berupa "rekonstruksi kesejarahan".

B.. Pendayagunaan Lintas Sumber Data
1. Ilmu Bantu dan Referensi Studi Sejarah

Sebagaimana dipaparkan pada bagian  "A" diatas, sesungguhnya terdapat ragam jenis sumber data yang dapat dipergunakan untuk menguak peristiwa masa lalu. Untuk mendapatkan data -- terlebih "fakta" -- dari beragam sumber- sumber data itu, tentulah dibutuhkan pengetahuan dan ketrampilan khusus. Apalagi masing-masing sumber data itu memiliki "ilmu bantu" atau bahkan disiplin ilmu khusus untuk nengeksplorasi data dari dalamnya. 

Sumber data tekstual berupa prasasti misalnya, membutuhkan ilmu bantu "epigrafi" dan "paleografi" untuk mendaguna- kannya. Penanganan sub-jemis sumber data tekstual yang berupa susastra kuno membutuhkan ilmu bantu "filologi". 

Adapun untuk sumber data artefaktual yang berupa seni arca, relief, ragam hias, dsb. dibutuhkan ilmu bantu yang dinamai "ikonografi". Untuk menangani sumber data arsip, sebenarnya terdapat ilmu bantu yang disebut "ilmu kearsipan (archives studies, atau disebut "administrasi arsip"). 

Terdapat sejumlah "ilmu bantu" untuk tangani beragam sumber data masa lalu. Tentu tidak mudah bagi pembelajar atau peminat sejarah untuk menguasai mahir berbagai ilmu bantu itu sekaligus. Dalam hal demikian, pembelajar atau peminat sejarah dapat memanfaatkan hasil kajian dari peneliti terdahulu yang telah menangani sumber data tertentu itu dengan ilmu bantu tertentu yang dikuasainya. Misalnya, pembelajar srjarah cukup menggunakan hasil edisi suatu naskah yang telah diedisikan oleh filolog, atau transkripsi maupun transliterasi suatu prasasti yang telah dilakukan epigraf, hasil riset arkeologi terhadap suatu artefak masa lalu, hasil studi arsip dari sejarahwan, dsb. Hasil studi terdahulu itu dapat dijadikan sebagai "referensi" oleh para pembelajar dan peminat sejarah. Namun, tak semua sumber data yang ada telah terdapat hasil kajiannya, terlebih lagi untuk temuan baru. 

Oleh karena itulah, mau tidak mau dilakukan studi rintisan, baik oleh diri sendiri atau dengan berkolaborasi dengan orang lain yang berkompeten untuk menanganinya. 

Beruntunglah, pada saat ini penemuan tinggalan sejarah dan arekeologi relatif cepat tertangani oleh institusi yang berkompeten. Selain itu terdapat perorangan atau komunitas peminat dan peduli sejarah, atau paling tidak pemberitaan pers, yang ikut kabarkan penemuannya -- kendatipun dalam keterbatasan kemampuannya. Pemberitaan itu bisa diposisikan sebagai "informasi awal", selanjutnya didalami oleh pembelajar dengan pendampingan dari guru atau panduan dari tutor yang berkompeten. 

2. Inventarisasi-Identifikasi Sumber Belajar Sejarah- Budaya Setempat

Pada dasarnya, semua daerah, semua lingkungan belajar mempunyai sumber data masa lampau, terlepas berapa banyaknya, jenis dan sub-jenis sember datanya, ataupun lapis masa mana yang terkandung berita di dalamnya. Untuk kepentingan pembelajaran, sumber-sumber data itu berpotensi dijadikan sumber informasi historis. Karena itu perlu dilakukan upaya : (1) inventarisasi, dan (2) identifikasi terhadap ragam sumber data yang ada di sekitar  Upaya ini merupakan "penataan sumber data setempat", yang akan memudahkan apabila kelak hendak lakukan  pembelajaran sejarah. 

2.1  Inventarisasi Sumber Data Setempat

Inventarisasi sumber data merupakan tahap yang terawal. Lingkup area yang diinventarisasikan dapat ditata jenjangkan, mulai dari (a) lingkup mikro, (b) lingkup meso, hingga (c) lingkup makro. Lingkup mikro meliputi areal yang terdekat dengan tempat pembelajaran. Misalnya, area se desa, se klaster, se koridor jalan, dsb. Bisa dikatakan dalam hubungan dengan sekolah, lingkup mikro adalah areal sekitar sekolah. Situs Pendem contohnya, berada di dalam lingkup mikro dari P4TK. Bahkan, boleh jadi pula, sumber data artefaktual kedapatan pada halaman sekolah, seperti dia Yoni pada sisi selatan halaman SD Dinoyo I Kota Malang, yang tengah dipersiapkan sebagai "sumber belajar" lingkkup mikro. 

Lebih luas dari itu adalah lingkup meso, yang meliputi areal se kecamatan. Atau bisa juga mencakup sejumlah kecamatan bertetangga atau terdekat yang se entitas, baik se entitas ekologis, historis, kultural atau entitas sosial. Lebih luas lagi dari keduanya itu adalah lingkup makro, yang meliputi areal sedaerah, atau bisa juga mencakup beberapa daerah tetangga yang se entitas. Misalnya, se Malang Raya. Sulit untuk bisa memberi batasan radius (dengan satuan ukuran Km.) untuk masing-masing lingkup itu, sebab ukurannya memang bukan berapa Km radiusnya. 

Boleh jadi tidak semua lingkup area memiliki potensi sumber data masa lalu yang sama kayanya, sama ragamnya, dan sama tingkat kebutuhannya. Sesedikit apapun simber data yang ada pada lingkup mikronya, yang ada itu tetaplah berharga untuk sumber belajar. Bila mau memperbanyak jumlahnya, maka tinggal perluas lingkupnya, dari lingkup mikro ke ling- kup meso, dan seterusnya ke lingkup makro. Pada pedesaan di Jawa, sumber data masa lalu pada lingkup mikro acap kedapatan pada apa yang diistilahkan dengan "punden desa" atau "punden dusun/kampung", padamana "sing bedah karawang, atau sing babad, sing mbau rekso deso/dusun" diyakini oleh warga setempatl sebagai dipersemayamkan pada tempat itu. 

Demikianlah, sebenarnya setiap lingkup area, termasuk di lingkup terkecil (mikro) sekalipun terdapat sumber data masa lalu, meski hanya berkenaan dengan lingkup waktu yang tak terlampau tua, dan sumber datanya hanya berjenis oral. Oleh karena itu mari awali ajar sejarah-budaya bermuatan lokal dengan melakukan inventarisasi terhadap sumber- sumber belajar yang terdapat di area sekitar tempat belajar. Pekerjaan "inventarisasi" ini relatif mudah untuk dilakukan, sehingga tak ada alasan untuk tidak melaksanakannya.

2.2  Iventarisasi Sumber Belajar Setempat

Sumber-sumber data dari masa lampau yang telah dinvetarisasikan (periksa butir B. 2.1) kemudian diidentifikasi menurut : (a) bentuk, (b) fungsi, (c) kondisi riil, (d) kurun masa, maupun (e) urgensinya. Ada baiknya identifikasi disertai dengan deskripsi tertulis dan fotografis, sehingga hasil deskripsinya dapat dijadikan "referensi awal" oleh pembelajar. 

Boleh dikatakan bahwa pekerjaan ini (identifikasi) lebih sukar daripada inventariasi, sehingga perlu melibatkan orang atau pihak lain yang memiliki kompetensi sesuai dengan sumber datanya. Oleh karena itu, kegiatan kolaboratif perlu  dilakukan di tahap ini, sehingga kekurangan dari suatu pihak dapat "ditambal (dikomplentasikan)" dengan kemampuan yang dimilikii oleh pihak lain yang berkompeten.

Setelah diindentikasi, maka sumber- sumber data itu dikempokkan menurut ketegoriasi yang telah ditentukan, sehingga akan permudah manakala memformulasikan kegiatan ajar yang dirancangkan terhadapnya. Hasil identifikasi ini sekaligus menjadi "peta sumber belajar (resource learning map)" sejarah-budaya, khususnya yang terdapat di sekitar tempat belajar, atau serupa dengan "basis sumber data". 

Ada baiknya institusi pendidikan, misalnya sekolah, pusat pelatihan, ataupun komunitas ajar memiliki peta sumber belajar demikian, sehingga kegiatan belajar bisa dilakukan secara terstruktur dan optimal dalam mendayagunakan sumber belajar yang terdapat di lingkungan sekitar. Inilah hakekat "pembelajaran sejarah bermuatan lokal"  

2.3. Rancang Ajar Sejarah-Budaya Memanfaatkan Sumber Belajar Setempat 

Ajar Sejarah-Budaya ini dileselenggarakan di tempat keberadan sumber data masa lalu -- yang sekaligus adalah sumber belajar. Pada konteks pembelajaran di sekolah, lokasi pembelajaran ini dilangsungkan di luar sekolah -- kecuali untuk sekolah tertentu yang di halaman sekolahnya didapati tinggalan budaya masa lampau -- misalnya di SD Dinoyo I, atau bila bangunan sekolahnya berupa Bangunan Cagar Budaya (BCB), seperti SMA I, III dan IV di kompleks sekolah pada kawasan Alon-alon Bunder Kota Malang. 

Pada contoh kasus ini,  bangunan sekolah atau artefak masa lalu di halaman sekolah yang dapat didayaguakan sebagai "sumber belajar" bagi siswa maupun  obyek riset bagi guru. Beruntunglsh SMA I, III dan IV di Kota Malang, yang berada di suatu area yang konon (sejak awal tahun 1920-an) menjadi sentra pengembangan kawasan baru yang dinamai "Gouvernoer Generaal Buurt", sehingga arsitektur-arsitekur bergaya Indis beserta rancang bangun (bouwplan) pada tingkat kawasan (buurt) ini dapat dijadikan sumber belsjarar pada lingkup area mikro. 

Rancangan pembelajaran sejarah-budaya yang dilakukan dengan mendayagunakan sumber belajar ini setempat ini mencakup : (a) tujuan belajar, (b) bentuk pembelajaran (metode dan teknik belajar, yang lebih merupakan "latihan riset siswa"), (c) produk belajar -- misalnya, berupa laporan hasil riset, (d) presentasi dan pembahasan hasil riset, maupun (e) penilaian aktifitas belajar siswa. Rancangan belajar ini tentu lebih sesuai untuk pembelajaran bagi siswa. 

Untuk pembelajaran sejarah-budaya bagi khalayak peminat sejarah- budaya non-siswa, dapat dimodifikasi, hanya mencakup point a, b, c dan d. Pada prinsipnya, siapaun peserta ajarnya (siswa ataupun non-siswa), rancangan pembelajaran perlu diformulasikan agar "pembejaran on the spot" itu membuahkan kemanfaatan. Paling tidak, rancangan itu menjadi "model pembelajaran", yang ketepatgunaannya bagi siswa ataupun bagi non-siswa, setelah dirancang, dilaksanakan dan dievaluasi, lalu disempurnakan bagi kegiatan pada periode berikutnya, baik di situs yang sama atau pada situs lainnya. 

Tidak tertutup kemungkinan, pembelaran dilakukan dalam bentuk "kemah budaya". Kegiatan ini tentu membutuhkan perancangan yang lebih rumit, serta perlu disertai dengan kurikulum yang mencakup sejumlah kegiatan belajar, seperti latihan riset bagi siswa, bhakti situs, dinamika kelompok, dan diakhiri dengan studi ekskursi ke sejumlah situs di sekitar tempat bekemaah. 

Kegiatan siswa untuk "ajar sejarah-budaya", yang berbentuk "kemah budaya" , tepat untuk dilakukan guna mengisi liburan panjang, yang sekaligus mengintegrasikan aspek eko-sosio- kultura dalam suatu kegiatan ajar di luar sekolah. 

Terkait dengan "kemah budaya", selain kurikulum pembelajaran dan soliditas pantai penyelenggara, hal lain yang tak kalah pentingnya adalah pemilihan lokasi berkemah. Ada baiknya ditempatkan di suatu tempat yang memiliki sejumlah situs berdekatan, dan pada lokasi itu mempunyai fasilitas yang cukup layak untuk mengakomo- dasi keperluan peserta kemah budaya. Misalnya di situs Sumberawan (Singasari, Kabupaten Malang), bumi perkemahan Gunung Budeg di Tulungagung Selatan, dsb. Jalinan kerjasama dengan pengelola situs dan warga di sekitar situs tentulah banyak membantu kelancaran  penyelenggaraannya. 

C. Pemanfaatan Tinggalan Purbakala Setempat sebagai Sumber Belajar
1. Urgensi Pemahaman Sejarah oikal

Pembelajaran sejarah bagi siswa, termasuk pula penbelaran sejarah-budaya setempat (baca "sejarah lokal"), musti lebih memperoleh prioritas dariipada pembelajaran terhadap sejarah regional dan sejarah internasional (sejarah dunia). 

Faham akan sejarah dunia dan sejarah regional, namun tidak faham akan sejarah nasional dan sejarah lokalnya bagaikan menempatkan pembelajar dalam "keterasingannya pada sejarah sendiri". Hal demikian mengingatkan kita kepada puisi WS. Rendra yang berjudul "Sajak Seonggok Jagung", yang pada paro terakhir dari puisinya memuat "kalimat satir" terhadap model ajar yang menjadikan pembelajar "teralienasi" dari lingkungan setempatnya. 

     ................ 
     Seonggok jagung di kamar
     Tak akan menolong seorang pemuda
     Yang pandangan hidupnya berasal dari 
              buku, 
     dan tidak dari kehidupan.
     Yang tidak terlatih dalam metode, 
     dan hanya penuh hafalan kesimpulan. 
     Yang hanya terlatih sebagai pemakai
     Tetapi kurang latihan bebas berkarya.
     Pendidikan telah memisahkanya dari
            kehidupannya. 

     Aku bertanya :
     Apakah gunanya pendidikan
     Bila hanya akan membuat seseorang
           menjadi asing
     Di tengah kenyataan persoalannya?

     Apakah gunanya pendidikan.
     Bila hanya mendorong seseorang
     menjadi layang-layang di ibukota
     Kikuk pulang ke daerahnya?

     Apakah gunanya seseorang
     Belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu
           kedokteran,
     atau apa saja.
     Bila pada akhirnya,
     Ketika ia pulang ke daerahnya, 
     lalu berkata :
“   di sini aku merasa asing dan sepi”.

Kendati peristiwa historis yang terjadi di sekitar tempat pembelajaran bukan peristiwa sejarah besar. Walaupun sumber data masa lampau yang tersedia tidaklah berlimpah. Meski narasi historis sejarah lokal ataupun sejarah mikronya tak cukup rinci, atau bahkan tidak tersedia referensi cukup tentangnya, namun bukan berarti kesejarahan lokalnya itu bisa ditiadakan dalam pembelajaran sejarah di sekolah. Justru merupakan tantangan bagi guru, siswa, dan para peduli sejarah-budaya untuk mencerahkan "kegelapan sejarah daerahnya". 

Sumber data masa lalu tentang itu cukup tersedia, sayang sejauh ini belum dieksplorasikan, belum didayagunakan untuk menarasikan sejarahnya, belum didialogkan untuk menguatkan akurasinya.

Oleh karena itu, adalah kewajiban bersama, yakni pihak sekolah dan luar sekolah untuk "sayuk saeko proyo" menarasikan ataupun meliterasikan sejarah daerahnya. Justru dengan berfokus kepada sejarah daerah, dan lebih remit lagi pada sejarah mikronya, dapat terhindarkan dari "alienasi"nya pada sejarah setempatnya

2. Keaktifan Pembelajar dalam Riset Historis

Kegiatan belajar semestinya memberi porsi lebih pada pembelajar, bukan pada pengajar. Model pembelaharan "on the spot" di areal sumber belajar memberi kesempatan bagi para pembelajar untuk mengeksplorasi data secara langsung dari sumber data masa lalu yang tersedia di areal sekitarnya. 

Pembelajar tidak hanya bergantung pada data yang telah disediakan pihak lain, melainkan mencari dan menemukan sendiri data yang terkadung di dalam beragam sumber data yang ada. Data yang telah dihimpun lewat riset historis tersebut, selanjutnya dijadikan sebagai bahan untuk menarasikan dan meliterasikan kesejarahan obyek terteliti. Keaktifan belajaryang menjadi kunci bagi kecerahan sejarah daerahnya, sejarah-budaya setempat. 

Riset adalah "aktifitas produktif", yang mustinya telah dilatihkan sedari dini, sejak belajar di sekolah menengah pertama dan atas (SMP dan SMA). Tak harus menunggu setelah belajar di perguruan tinggi, karena belum tentu semua orang berkesempatan belajar hingga di perguruan tinggi. 

Padahal, kemampuan "meriset" itu dibutuhkan dalam realitas berkehidupan. Dalam dunia usaha kegiatan riset acapkali dilakukan, misalnya  survei pasar. Dalam kaitan itu, pembelajaran sejarah berbasis metode riset menjadi wahana belajar untuk "meriset lingkungan sekitar", guna mendapat gambaran tentang realitas (a) ekologis, (b) sosial, (c) kultural ataupun relasi antar ketiganya pada masa lampau. Realitas yang terkandung di dalam sumber-sumber data yang tersedia, kendati dalam pembejaran ini tidak dilakukan riset yang sesungguhnya, tapi lebih merupakan "latihan riset", namun pengalaman dalam latihan ini memberi "bekal praksis" kepada pembelajar, yang selanjutnya dimatangkan  pada pelatihan-pelatihan mandiri ataupun ditingkatkan kapasatinya pada pendidikan lanjut. 

3. Belajar Lewat Pengalaman Langsung 

Pembelajaran dalam kelas memposisikan pembelajar "berjarak" dengan obyek yang dipelajari. Meskipun pengajaran di dalam kelas menyertakan tampilan visual dari apa yang dipelajari, namun visualisasi itu tak mampu menghadirkan keseluruhan beserta detailnya. Dengan perkataan lain, tak kuasa untuk menyuguhkan realitas yang dipelajarinya secara  komprehensif -- padamana berbagai aspek terin- tegrasikan ke dalamnya. Dengan hadir sendiri dalam realitas obyek belajar, detail yang tidak hadir pada media belajar visual menjadi tertampakkan dan dapat dicermati dengan berkunjung langsung pada situsnya.  Selain itu, nuansa khasnya dapat ditangkap dengan mempergunakan semua indra dari pembelajar. 

Memori yang terbangun lewat model pembelajaran langsung pada sumber belajar oleh karena itu bakal lebih "bertahan lama". Pengalaman langsung bisa "menghadirkan kenangan", lebih abadi apabila dibandingkan dengan pengalaman tidak langsung. 

Belajar sejarah adalah kegiatan belajar mengenai "kenangan", tepatnya kenangan masa silam. Oleh karena itu, pembelajaran sejarah dengan memberi pengalaman langsung mampu untuk "membangun kenangan historis". 

Pengalaman mempelajari sejarah dengan sering "datang berkunjung" ketinggalan purbakala, lama-kelamaan menjadi pendorong intrinsik untuk mengunjungi jejak- jejaj purbakala lainnya. Berkunjung ke situs, khususnya situs yang tidak mudah dijangkau, mengjajaknya pada aktifitas "petualangan (adventure)". 

Pengalaman bertualang ke situs-situs itu tersimpan kuat dalam ingatan, membuahkan kenangan yang indah, dan sekaligus sensasional. Film-film yang bertema "kesejarahan" dan dibalut dengan petualangan, yang dibintangi oleh aktor ikonik Indiana Jones, menjadi film yang menarik, tak membosankan, meskipun berkali-kali ditontonnya. 

4. Belajar Sejarah dalam Nuansa Keasyikan

Belajar sejarah "on the spot" hadirkan keasyikan bagi pembejar. Kebosanan belajar sejarah di kelas, musti diselingi dengan cara "belajar sejarah yang lebih mengasyikkan", yakni belajar secara langsung pada tinggalan purbakala di situsnya atau pada tempat penyimpanannya di museum. Ada paduan yang harmonis antara edukasi dan rekreasi di dalam penbejaran sejarah pada situsnya.

Belajar sejarah bukan menjadikan pembelajar berada dalam kondisi spaneng (tegang) dan mengernyitkan dahi, melainkan membawanya dalam keriangan. Belajar sejarah tak hanya melibatkan fikiran, namun aspek rasa pun turut terlibatkan. Oleh karena itu seseirang bilang, belajarlah sejarah "dengan hati", agar engkau "jatuh hati pada sejarah".

Lantaran ada keasyikan, kemenarikan, serta ada keterlibatan rasa dalam pembelajaran sejarah, maka ada "nuansa rekreatif" dalam belajar sejarah. Aspek rekreatif itulah yang menjadikan "destinasi wisata kesejarahan" mampu mengundang orang untuk berkunjung padanya.

Mustinya, pembelajaran sejarah dalam kelas pun dikemas menarik, seolah merekresikan siswa telusuri lorong-lorong waktu di kelampauan. Guru-guru sejarah mustinya mampu manjadikan pelajaran sejarah bukan sekedar bidang kajian akademis, namun juga sebagai wahana buat menjadikan para siswa sebagai "penghoby" sejarah. 

Kenyataan acap menunjukkan bahwa penghobi sejarah bukan hanya orang-orang yang menuntut ilmu pada jurusan Ilmu Sejarah ataupun Arkeologi, namun tidak sedikit dari para "penghobi sejarah" itu adalah siapapun orang dengan latar akademik yang beragam. Pemahaman mereka terhadap sejarah tertentu tidak kalah apabila dibandingkan dengan sejarawan ataupun arkeologi. Tidak sedikit para penghobi dan pecandu sejarah itu adalah orang- orang yang terpikat hati pada sejarah lewat "belajar autodidak" dari buku- buku dan rajin berkunjung ke situs-situs. 

Sebagai pamungkas tulisan dilontarkan pertanyaan kepada para guru sejarah serta orang-orang yang berlatarkan akademik ilmu sejarah "apakah anda termasuk sebagai penghobi, pecandu, atau paling tidak peminat sejarah? Ataukah sekedar orang yang mencari nafkah hidup dengan mengajar sejarah di sekolah? 

Semoga tulisan ini memberi kefaedahan, dan menjadi picu bagi guru-guru sejarah menjadi pecandu, penghobi, atau paling tidak, peminat sejarah. Nuwun

Sangking, 17 Mei 2020
Griya Ajar CITRALEKHA

 
Top