Penulis: Bagindo Ishak
Kaba ” Catuih Ambuih”
IBLIS, meskipun mengetahui asal-usul penciptaannya, memahami seluruh kandungan Al-Qur’an, dan hafal setiap riwayat hadits, tetap tidak menjadi kekasih Allah. Mengapa? Karena pengetahuan tanpa kerendahan hati hanyalah kesombongan yang terselubung.
“Aku lebih baik daripada kamu,” adalah pernyataan yang menggambarkan esensi dari keangkuhan, yang menjadi penghalang utama seseorang untuk mendekat kepada kebenaran Ilahi.
Kesombongan adalah tirai yang menutupi hati dari kebenaran. Seperti air yang tak pernah memproklamirkan kejernihannya, mawar yang tak perlu memamerkan keindahannya, dan matahari yang tak merasa perlu menjelaskan pentingnya cahayanya bagi kehidupan—semua itu mengajarkan bahwa nilai sejati tidak memerlukan pengakuan.
Jangan menjelaskan siapa dirimu kepada orang lain. Mereka yang mencintaimu tak memerlukan alasan, dan mereka yang membencimu tak akan mempercayai apa pun yang kau katakan. Kehidupan mengajarkan kita bahwa diam dalam kebaikan lebih kuat daripada seribu kata.
Berbuat baik dalam keadaan apapun, meskipun dunia seolah tak memperhatikan, adalah bentuk keteguhan hati yang sejati. Perbuatan baik adalah investasi jiwa, yang akan membawa kemudahan dan berkah, bahkan di saat-saat paling sulit.
Namun, keikhlasan bukan berarti tunduk pada ketidakadilan. Dalam menghadapi kezaliman, keberanian untuk mengatakan yang salah adalah salah, dan yang benar adalah benar, adalah prinsip yang harus dijaga. Seperti dalam “matematika sosial”, kebenaran dan kesalahan memiliki konsekuensi yang jelas:
(- x – = +): Mengakui kesalahan sebagai kesalahan berarti kita berada di jalan yang benar. Kesadaran akan kekeliruan adalah pintu menuju perbaikan.
(+ x + = +): Mengakui kebenaran sebagai kebenaran memperkokoh integritas dan moralitas kita.
(- x + = -): Membenarkan kesalahan adalah bentuk pengkhianatan terhadap nurani sendiri, menjadikan kita bagian dari ketidakadilan.
(+ x – = -): Mengatakan yang benar sebagai salah menunjukkan bahwa kita telah terjebak dalam kekeliruan moral.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menekankan bahwa pengetahuan tanpa akhlak adalah bencana. Ia berkata, “Ilmu yang tidak diiringi dengan amal hanyalah hujjah (argumen) atas dirinya sendiri di hari kiamat.” Dalam konteks ini, Iblis adalah contoh nyata dari ilmu yang tidak berbuah amal shalih, melainkan kesombongan.
Socrates, filsuf Yunani, mengatakan, “Kebijaksanaan sejati adalah mengetahui bahwa kita tidak tahu apa-apa.” Socrates mengajarkan tentang kerendahan hati intelektual, di mana seseorang harus selalu terbuka untuk belajar dan memperbaiki diri. Sebaliknya, sikap “aku lebih baik dari kamu” adalah bentuk arogansi yang menghalangi pertumbuhan moral.
Friedrich Nietzsche memperkenalkan konsep “Will to Power”, di mana manusia cenderung ingin mendominasi dan merasa lebih unggul. Namun, dominasi tanpa nilai moral hanya akan membawa kehancuran diri. Iblis adalah manifestasi dari will to power yang tidak terkendali, menjadikannya terasing dari rahmat Tuhan.
Albert Camus, dalam The Myth of Sisyphus, berbicara tentang pemberontakan melawan absurditas kehidupan. Ia menyatakan bahwa melawan ketidakadilan adalah bagian dari esensi manusia. Keberanian untuk berkata benar di tengah kezaliman bukan hanya tindakan moral, tetapi juga bentuk perlawanan terhadap absurditas yang mencoba membungkam suara hati nurani.
Kahlil Gibran, dalam puisinya, menulis, “Perbuatan baik adalah doa tanpa kata-kata.” Ini menegaskan bahwa kebaikan tidak memerlukan pengakuan, karena nilainya terletak pada ketulusan, bukan pada pujian yang diterima. Seperti air, mawar, dan matahari, kebaikan yang tulus tidak perlu diperkenalkan, ia dikenali dengan sendirinya.
Bahwa pengetahuan tanpa kerendahan hati hanyalah kesombongan, dan kebaikan tanpa keberanian adalah kelemahan. Dalam hidup, kita tidak perlu menjelaskan siapa diri kita kepada orang lain, karena kebenaran akan berbicara melalui tindakan kita. Berbuat baik dalam segala kondisi adalah bentuk keteguhan hati, namun melawan kezaliman dengan keberanian adalah bentuk tertinggi dari keadilan moral.
Seperti dalam matematika sosial, kebenaran dan kesalahan memiliki logika yang tak terbantahkan. Mengakui kesalahan sebagai kesalahan membawa kita menuju perbaikan, sementara membenarkan kesalahan menjauhkan kita dari cahaya kebenaran. Hiduplah dengan ketulusan, berbicara dengan keberanian, dan bertindak dengan integritas, karena itulah jalan menuju kehidupan yang bermakna. (*)
Padang, 4 Februari 2025