Rosadi Jamani

- Ketua Satupena Kalbar


UNTUK saat ini Aceh sangat sabar. Empat pulau dipindah ke Sumut, dipinta Aceh kembalikan secara baik-baik, dan sukses. Sekarang, Aceh mengingatkan Pusat, perjanjian Helsinki baru terealisasi 35 persen. “Ngingatkan jak!” kata budak Pontianak. Lalu, 65 persennya gimana? Mari ikuti narasi ini sambil seruput kopi gayo tanpa gula, wak!

Bayangkan sebuah pesta ulang tahun: ada kue tart, lilin angka dua puluh, dan MC yang teriak, “Selamat ulang tahun, perdamaian Aceh!” Tapi di pojokan, ada tamu kehormatan yang masih bete karena hadiah yang dijanjikan tuan rumah dua dekade lalu belum juga datang. Itulah kira-kira suasana ketika Gubernur Aceh, Muzakir Manaf alias Mualem, berdiri di mimbar, melontarkan pidato yang lebih tajam daripada gigi hiu di Samudera Hindia.

“Sudah 20 tahun, Bung!” begitu kira-kira nada pidato Gubernur Aceh, Muzakir Manaf alias Mualem, berdiri di mimbar saat HUT RI ke-80. 

MoU Helsinki bukan lagi bayi, dia sekarang sudah remaja tanggung. Harusnya sudah bisa nyetir motor, daftar kuliah, bahkan ngerasain patah hati pertama. Tapi apa daya, dari seratus janji manis pemerintah pusat, baru 35 persen yang terealisasi. Itu pun kayak paket diskon belanja online, cuma dapat kardusnya, isinya entah ke mana.

Kebayang nggak, 65 persen janji masih menggantung di udara. Kayak jemuran pas hujan badai. Salah satunya janji dua hektar lahan untuk para eks kombatan GAM. Dua hektar, loh! Itu luasnya cukup untuk bikin lapangan bola, kebun durian, atau minimal syuting sinetron kolosal. Tapi apa yang terjadi? Setiap ganti menteri di Jakarta, ceritanya balik ke nol lagi. Bayangin kalau eks kombatan itu nelpon, “Halo Pak, tanah saya gimana?” Dijawabnya: “Maaf, pejabat baru, bisa kirim ulang dokumennya?” Lah, ini urusan negara atau urusan paket JNE yang nyasar?

Di sinilah filsafat merdeka muncul. Mualem dengan kalem berkata, “Kami ikhlas.” Ikhlas, kata dia, tapi jangan salah. Ikhlas bukan berarti bungkam. Ini menarik, karena ikhlas di Aceh bukan sekadar sabar, tapi bentuk ketegasan. Mereka sudah berkorban darah, air mata, bahkan sejarah. Sekarang tinggal nunggu janji ditepati. Kalau ikhlas cuma berarti diam, mungkin bangsa ini sudah jadi museum janji palsu sejak lama.

Lihatlah absurditas birokrasi kita. “Ganti datang, ganti datang lagi, terangkan lagi. Itu persoalannya.” Bayangkan eks kombatan yang dulunya menguasai hutan dan senapan, sekarang harus menguasai power point presentation setiap kali ada menteri baru. Ini bukan lagi MoU Helsinki, tapi MoU: Meeting of Unlimited.

Tapi, sebelum ada yang kepo, mari luruskan.Tidak ada kode-kode rahasia “Aceh mau merdeka lagi.” Nggak ada pesan Morse tersembunyi di balik pidato Mualem. Bukan. Ini bukan teaser referendum part 2. Pidatonya diplomatis, tegas, tapi tetap dalam bingkai persatuan NKRI. Artinya, yang diminta cuma satu, konsistensi. Karena janji kalau tidak ditepati, bisa jadi racun yang membunuh kepercayaan.

Secara politik, ini adalah gaya klasik. Tekanan halus tapi terasa. Mualem bukan ngajak perang, bukan ngajak keluar dari NKRI, tapi ngajak pemerintah pusat buat main truth or dare di meja perjanjian. Kalau pemerintah pusat pilih “truth”, ya jujurlah, janji mana yang bisa ditepati, mana yang tidak. Kalau pilih “dare”, ya berani dong kasih tanah dua hektar itu, jangan malah suruh eks kombatan main Mobile Legends sambil nunggu surat keputusan.

Inilah hikmah filsafatnya, kemerdekaan sejati bukan sekadar bebas dari penjajah, tapi bebas dari janji-janji basi yang bikin rakyat jadi penonton setia drama politik. Aceh sudah 20 tahun menjaga perdamaian, sementara Jakarta masih 20 tahun menjaga alasan. Pertanyaan filosofisnya, siapa sebenarnya yang merdeka? Aceh yang bersabar, atau pusat yang berkelit?

Kalau dipikir-pikir, perdamaian itu mirip perkawinan. Dua pihak janji di depan saksi, “Akan setia, jujur, saling menghormati.” Tapi kalau 20 tahun kemudian janji itu dilanggar, yang tersisa cuma pesta ulang tahun dengan lilin dua puluh yang makin lama makin terasa pahit. Bedanya, kalau perkawinan bisa cerai, perdamaian Aceh tidak ada opsi “cerai” karena ini adalah kontrak bangsa. Satu-satunya jalan adalah menagih janji dengan nada yang sopan tapi bikin keringat dingin di dahi para pejabat pusat.

Begitulah, wak. Dari pidato Mualem, kita belajar satu hal absurd, di negeri ini, janji politik bisa awet melebihi formalin. Tapi Aceh mengajarkan kita untuk sabar, menjaga damai, sambil tetap menuntut hak. Itulah filsafat merdeka sejati, bukan cuma merdeka dari penjajah, tapi juga dari kebohongan birokrasi.

Duh, jadi kangen mau ke Aceh lagi. Mau ngapain, bang? Nak ngopi di Kedai Cut Zein, kopinya emang yaqut, eh salah,, yahut!. (*)


#camanewak 



 
Top