Kaba “Catuih Ambuih”

Bagindo Muhammad Ishak Fahmi


DELAPAN puluh tahun Indonesia merdeka, bangsa ini masih menyimpan paradoks: di satu sisi, kita memiliki konstitusi yang dengan lantang menegaskan kewajiban negara untuk memajukan kebudayaan. Namun di sisi lain, fakta lapangan justru menunjukkan gedung kebudayaan yang terbengkalai, fasilitas yang mangkrak, dan ruang seni yang kerap hidup seadanya.

Di tengah paradoks inilah, sekelompok seniman Taman Budaya Sumatera Barat memilih sikap: mereka tidak menunggu. Dalam momentum peringatan kemerdekaan ke-80 tahun, perupa, penyair, dan pemusik menggelar pameran seni rupa, pembacaan puisi, dan pertunjukan musik bertajuk “Merespon Ruang Menuju Lebih Merdeka”. Mulai dari tanggal 18 s/d 22 Agustus 2025. Mereka melakukannya di zona B gedung kebudayaan yang hingga kini tak kunjung rampung.

Pilihan ruang itu bukan kebetulan. Gedung mangkrak tersebut adalah metafora: kosong, diam, tak bernyawa. Namun melalui karya Perupa, puisi, dan musik, seniman mengubahnya menjadi ruang hidup, penuh suara, dan berdenyut. Pesan yang hendak disampaikan jelas: infrastruktur memang penting, tetapi lebih penting lagi adalah kesadaran bahwa seni tidak akan pernah mati hanya karena ruang fisiknya abai.

Namun, di balik itu, tetap ada tuntutan moral. Pemerintah sebagai pemegang amanah rakyat tak bisa menganggap inisiatif seniman ini sebagai pembenaran untuk abai. Infrastruktur kebudayaan bukan hadiah; ia mandat konstitusi. Pasal 32 UUD 1945 menyatakan dengan gamblang bahwa negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia, sekaligus menjamin kebebasan masyarakat memelihara dan mengembangkan nilai budayanya. Artinya, negara wajib menyediakan ruang yang layak bagi tumbuhnya kreativitas.

Tema “Merespons Ruang Menuju Lebih Merdeka” seolah menjadi seruan: kemerdekaan bukanlah keadaan statis, melainkan proses berkelanjutan. Ia hanya bermakna jika dihidupi, direspon, dan diperjuangkan. Seniman menyadari bahwa kebebasan berekspresi adalah bentuk kemerdekaan yang paling nyata, meski dilakukan dalam keterbatasan fasilitas, bahkan tanpa dukungan memadai dari negara.

Di titik inilah kearifan Minangkabau memberi inspirasi. Ada pepatah yang berbunyi: “Basamo mako manjadi, danga man dangakan.” Bersama, sesuatu yang berat menjadi ringan. Dengan saling mendengar, jalan yang terjal bisa ditempuh. Kemerdekaan Indonesia delapan puluh tahun lalu pun lahir dari semangat serupa—persatuan, kebersamaan, dan keberanian menanggalkan ego demi satu tujuan: merdeka.

Kini, seniman memilih untuk melanjutkan semangat itu dengan cara mereka sendiri. Mereka sadar, pendanaan sering terbatas, ruang sering terbengkalai, perhatian publik sering teralihkan. Namun seni tidak mengenal kata menyerah. Seperti air yang mencari jalan, seni akan selalu menemukan celah untuk mengalir, bahkan di sela-sela batu yang keras.

Peringatan 80 tahun kemerdekaan seharusnya menjadi cermin. Kita diingatkan bahwa bangsa ini bisa berdiri tegak bukan karena fasilitas yang serba ada, melainkan karena kesadaran kolektif bahwa kebersamaan lebih kuat dari segala keterbatasan. Di titik ini, seni menjadi penopang ingatan bersama bahwa merdeka artinya terus berkarya, terus berbuat, meski dalam kondisi yang jauh dari sempurna.

Seni tidak menunggu negara. Ia bergerak dengan daya hidupnya sendiri. Tetapi justru karena itu, negara tidak boleh tinggal diam. Infrastruktur budaya yang layak bukan sekadar simbol, melainkan hak publik yang dijamin undang-undang.

Seniman telah menunjukkan jalannya: memanfaatkan ruang mangkrak sebagai panggung merdeka. Pertanyaannya kini: apakah negara berani merespon dengan tanggung jawab yang sepadan? (*)

Padang, Agustus 2025 




 
Top