Dr. Wendy Melfa
- Akademisi UBL, Penggiat Ruang Demokrasi (Rudem)
Diberi Ruang Konstitusi
FENOMENA pengibaran atau pemasangan bendera dan beragam bentuk ekspresi fiksi “Jolly Roger” lainnya dari serial anime One Piece pada sejumlah media sosial, rumah, dan kendaraan beberapa lokasi di Jawa Barat dan Jakarta, lalu juga ‘merangsek’ kebeberapa tempat lainnya.
Bila ditelisik lebih jauh, penggunaan dan pemasangan simbol-simbol tersebut muncul bersamaan dengan suasana memperingati 80 tahun Kemerdekaan Indonesia dimana sudah marak pemasangan Bendera Merah Putih dan umbul-umbul yang menghiasi berbagai gedung, pemukiman, tempat komersial dan berbagai tempat lainnya.
Pemasangan simbol atau bendera dengan simbol bajak laut dari serial anime asal Jepang sebagai euforia kreativitas gen-z. Tetapi belakangan juga ada yang menjadikannya sebagai ‘mision’ pesan moral warga negara untuk mengingatkan kepada penyelenggara negara dengan mengambil makna simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan kekuasaan yang korup, sebagaimana yang digambar dalam cerita anime One Piece tersebut. Bercampur atau bertukar tempat posisi antara euforia dan mision melebur menjadi fenomena.
Kreativitas sebagai bentuk ekspresi warga negara yang cara mengungkapkannya mengikuti arus perkembangan zaman, digitalisasi modern ini sepanjang tidak melanggar aturan hukum dan ketertiban sesungguhnya tidak perlu ditanggapi secara berlebihan, atau emosional dan ‘baperan’ oleh aparat penyelenggara negara.
Apalagi bila sampai mengambil langkah-langkah represif, justru hal itu akan menjadi ‘simbol’ perlawanan dan bisa menjadi ‘gerakan’ politik, dari yang semula kreativitas warga negara, bahkan ada diantaranya hanya perilaku euforia anak-anak muda saja.
Meminjam teori pantulan bola basket, “daya pantulan bola basket akan dihasilkan dari seberapa besar daya tekan terhadap bola basket tersebut”, tentu saja fenomena tersebut dapat berdampak pada situasi yang kontra produktif bagi bangsa memasuki peringatan 80 tahun Kemerdekaannya, manakala kreativitas warga negaranya disikapi dengan cara baper, berlebihan, dan represif.
Menteri Sekretaris Negara RI, Prasetyo Hadi menyatakan pengibaran bendera One Piece merupakan kebebasan berekspresi dari masyarakat dan tidak ada masalah (Wartakota live.com, 5/8/25).
Bukankah juga konstitusi memberikan jaminan akan kebebasan kepada warga negaranya untuk mengeluarkan pendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 28E Ayat (3): “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapatnya”.
Reaksi Proporsional
Beragamnya motif pemasangan, penggunaan, dan atau pengibaran simbol atau bendera One Piece utamanya saat beriringan dengan upaya kita memeriahkan peringatan 80 tahun Kemerdekaan Indonesia, sekiranya disikapi dengan wajar dan biasanya dalam ukuran-ukuran proporsional, utamanya bagi para penyelenggara Negara.
Terhadap mereka diposisikan sebagai kebebasan menyatakan pendapat, dan bila ada muatan koreksi atau masukan atas apa yang dirasakan oleh warga negara yang berkaitan dengan pemenuhan rasa keadilan, atau menyangkut soal-soal yang berkaitan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat dan lain sebagainya yang menyangkut cara melayani aparatur penyelanggara Negara, disikapi dengan wajar dan dianggap sebagai cara warganegara menyampaikan aspirasi dan memberikan masukan.
Kalau dirasa ada kebenaran di dalamnya, justru dengan momentum 80 tahun Kemerdekaan Indonesia ini, kita perbaiki dengan best effort, nyatakanlah kritik dan saran melalui kebebasan berekspresi ini sebagai suatu bentuk rasa cinta dan bukan kebencian mereka terhadap penyelenggaraan Negara.
Sebaliknya, bila para penyelenggara Negara secara berlebihan menyikapinya secara eksesif, apalagi represif tentu hal ini dimungkinkan secara sosiologis dari awalnya kebebasan berekspresi dengan kreativitas ‘mengutip’ simbol dan cerita dari anime One Piece dapat ‘bergeser’ menjadi bentuk-bentuk ‘perlawanan’.
Ini bisa terbangun dari akumulasi reaksi penekanan dan kekecewaan yang ditimbulkan akibat adanya aspirasi yang tidak diakomodir, ditindaklanjuti, bahwa dilawan dengan upaya-upaya represif.
Membangun narasi-narasi secara berlebihan yang justru dapat ‘memprovokasi’ mereka yang sedang berkreativitas dapat menciptakan ‘gap’ antara warga negara yang sedang berekspresi dengan penyelenggara Negara.
Jika suasana ini yang ditimbulkan, maka dapat memicu terbentangnya atmosfer cuaca yang kurang kondusif dan menghadirkan awan kelabu pada kekhidmatan kita mengisi dan memperingati 80 tahun Kemerdekaan Indonesia.
Salam ‘damai’ bagi kebebasan berpendapat dan berkreativitas yang bertanggung jawab, untuk 80 tahun Kemerdekaan Indonesia yang bermartabat. (*)