Rosadi Jamani

- Ketua Satupena Kalbar


DI SEBUAH gang sempit di Riau, tahun 80-an, lahirlah seorang anak lelaki bernama Immanuel Ebenezer. Orang-orang hanya memanggilnya Noel. Ia tumbuh dalam keluarga sederhana, dinding rumahnya dari papan, atapnya bocor, dan di musim hujan lantai tanahnya berubah jadi lumpur.

Noel kecil sering duduk di beranda sambil mendengar ibunya berdoa lirih, “Ya Tuhan, cukupkanlah rezeki kami.” Kata-kata itu menempel di telinganya, lebih kuat dari suara azan subuh yang tiap hari memanggil.

Hidup mengajarkannya satu hal, kalau kau miskin, dunia menertawakanmu. Maka Noel belajar menertawakan balik dunia. Ia jadi pengojek, kadang jadi kuli angkut, pernah juga jadi tukang parkir di pasar malam. Helm hijau Gojek pernah jadi sahabat paling setia yang ia punya. Dari situ ia kenal arti peluh, sabar, dan bagaimana rasanya menahan lapar dengan segelas kopi tanpa gula.

Namun, hidup Noel tak mau berhenti di trotoar. Ia kuliah di Universitas Satya Negara Indonesia, Ilmu Sosial. Bukan kampus bergengsi, tapi cukup baginya untuk mengubah nasib. Perlahan ia masuk pusaran politik. Awalnya relawan, teriak-teriak di pinggir jalan demi kandidat yang ia bela. Dari sana, matanya melihat bahwa kekuasaan itu bukan langit jauh, tapi pintu yang bisa digedor, asal berani.

Noel memang berani. Ia jadi ketua relawan Jokowi Mania. Jokowi menang, jadi presiden. Sebagai hadiah, ia duduk sebagai komisaris BUMN. Meski akhirnya dicopot, Noel tidak berhenti. Ia balik badan, jadi ketua relawan Prabowo. Banyak yang mencibir, tapi Noel tersenyum, “Politik itu harus bisa belok kanan-kiri, tanpa sein.”

Tahun 2024, mimpinya pecah menjadi kenyataan. Prabowo yang dibelanya, menang. Ia pun dapat hadiah lagi, menjadi Wakil Menteri Ketenagakerjaan. Dari helm ojol ke jas istana, dari jalanan berdebu ke kursi empuk kementerian. Air matanya hampir jatuh ketika berdiri di Istana Negara. “Mak,” bisiknya dalam hati, “anakmu sudah sampai di sini.”

Sebagai wamen, ia bekerja keras. Turun ke lapangan, menegur perusahaan yang menahan ijazah pekerja. Netizen menyebutnya pahlawan buruh. Di warung kopi, namanya dielu-elukan. Helm hijau masa lalu seolah berubah jadi mahkota.

Namun, hanya butuh sepuluh bulan untuk mengubah segalanya. Jabatan melenakan. Noel lupa daratan. Rumah megah mulai dibeli, rekening menggelembung, tanah-tanah ditumpuk, mobil-mobil mewah masuk garasi. Setiap kali melihat angka nol di saldo bank, ia tersenyum kecil, seakan itu obat mujarab dari luka kemiskinan masa lalu.

Orang-orang dekatnya tahu, Noel bukan lagi Noel yang dulu. Dari kopi tanpa gula, ia kini menyeruput anggur mahal. Dari helm ojol, ia kini menaruh topi merek asing di kepalanya. Ia tak sadar, semua itu hanyalah jerat yang dipintal halus.

Pada 20 Agustus 2025 malam, cahaya kamera televisi membongkar semuanya. Noel ditangkap KPK dalam sebuah OTT. Dunia seakan berhenti berputar. Harta yang ia kumpulkan disita, rekening dibekukan, mobil-mobil mewah ditarik keluar dari garasi. Yang tersisa hanyalah nama yang tercoreng.

Ia duduk diam di ruang penyidik, menatap meja kayu yang dingin. Di kepalanya, melintas kilas balik perjalanan hidupnya. Dari anak miskin di gang sempit, ke tukang ojek, ke relawan, ke istana, lalu ke jeruji.

“Aku hanya ingin hidup lebih baik,” gumamnya lirih. Tapi kini ia tahu, rasa lapar masa lalu lebih jujur dibandingkan rasa kenyang yang ia beli dengan harga integritas.

Di sudut ruang pemeriksaan itu, hanya ada satu hal yang masih menemaninya, bayangan helm hijau usang, yang mungkin lebih terhormat dari semua harta yang pernah ia kumpulkan. (*)

#camanewak 







 
Top