Catatan Cak AT
BAYANGKAN Ibrahim, seorang nelayan dari pedalaman Kepulauan Mentawai. Hidupnya sederhana: laut adalah kantor, jala adalah komputer dan peta hanyalah posisi bintang di langit. Tahun ini, ia berkesempatan berangkat haji. Dalam bayangannya, ia akan sibuk thawaf, sa’i dan wukuf.
Tapi ternyata ada satu “rukun baru” yang tak pernah disebut dalam kitab fikih: harus menginstal aplikasi bernama Nusuk. Sayangnya, sinyal 4G di desanya kalah cepat dibanding suara azan subuh. Maka tibalah ia di Tanah Suci tanpa pernah melihat rupa Nusuk di layar ponselnya.
Anehnya lagi, yang ia dapatkan justru selembar kartu plastik dengan barcode, entah dicetak terburu-buru di Jeddah atau Riyadh. “Oh, jadi ini Nusuk?” gumam Ibrahim. Ia mengira Nusuk itu doa baru, rupanya cuma aplikasi ponsel yang mendadak menjelma kartu.
Secara resmi, Nusuk adalah platform digital milik Saudi Tourism Authority bekerja sama dengan Saudi Data & AI Authority (SDAIA). Diluncurkan sebagai bagian dari Saudi Vision 2030, Nusuk dirancang menjadi super-app semua urusan wisata, termasuk umrah dan haji.
Aplikasi ini menawarkan fitur pemesanan transportasi, akomodasi, izin masuk ke Masjidil Haram, hingga jadwal ziarah. Singkatnya, Nusuk adalah tiket elektronik sekaligus “paspor domestik” jamaah umrah dan haji. Ia tak ubahnya gabungan Traveloka dan kitab manasik.
Dalam bahasa Arab, “nusuk” berarti ritual ibadah, khususnya haji dan umrah. Nama yang mulia, meski implementasinya kadang terasa seperti aplikasi ride-hailing: “Anda tidak bisa naik bus ke Arafah kalau QR code Anda belum discan.”
Masalahnya, pada musim haji 2025 Nusuk tampil tergesa-gesa. Alih-alih jamaah menyiapkan aplikasi sejak dari rumah —dengan akun, password dan kode unik— mereka justru baru menerima kartu fisik setibanya di Tanah Suci.
Tak jelas alasan perubahan ini. Apakah karena kartu harus dicetak lebih dulu? Apakah karena tidak semua jamaah membawa ponsel pintar? Atau karena sistem digital belum sepenuhnya siap, sehingga jalan pintasnya adalah kartu plastik ala perpustakaan tahun 90-an?
Ironisnya, pemerintah Saudi sejak awal gencar mendorong jamaah “go digital” dengan Nusuk. Tetapi melihat kenyataan banyak jamaah tidak punya ponsel pintar, solusi daruratnya justru kembali ke pola lama: print and laminate. Modernisasi yang melompat, lalu terpeleset dan akhirnya berpegangan pada kartu darurat.
Padahal, Nusuk sangat vital. Tanpa kartu ini, jamaah nyaris lumpuh. Mereka tak bisa masuk ke Arafah, Mina, Muzdalifah, atau naik bus resmi. Data Kementerian Haji Saudi bahkan mencatat ribuan jamaah tersendat karena kartu Nusuk terlambat dibagikan.
Akibatnya, ada yang berjalan kaki berkilo-kilometer, bukan karena semangat ibadah, melainkan karena sistem barcode tak mengenali mereka. Nusuk, yang mestinya menjadi solusi, justru menambah beban —akibat kebijakan tak transparan dengan persiapan seadanya.
Indonesia sebagai negara dengan jamaah terbesar —lebih dari 200 ribu orang per tahun— tentu paling terdampak. Tak heran Badan Penyelenggara Haji Indonesia (BPHJ) mendesak agar mulai 2026 kartu Nusuk bisa dibagikan sejak di tanah air.
Sekilas terdengar sederhana: kartu dibagi di Indonesia, selesai. Tapi jangan keliru, ini menyangkut kedaulatan data, transparansi, dan kontrol distribusi. Jika hak distribusi tetap sepenuhnya dipegang Saudi, Indonesia hanya menjadi “objek.”
Namun bila kartu didistribusikan di tanah air, risiko baru juga muncul: kebocoran data jamaah, potensi pungli, bahkan kartu palsu. Pilihannya sama-sama rumit: antre di Jeddah, atau antre di KUA kecamatan.
Kalau menoleh ke negara lain, drama Nusuk sebenarnya bisa dihindari. Turki sejak lama mengintegrasikan data biometrik dan mendistribusikan kartu elektronik sebelum keberangkatan. Jamaah tiba di Tanah Suci dengan dokumen siap pakai.
Mesir memilih jalur bertahap: kartu haji disebarkan lewat kantor distrik, sehingga masyarakat terbiasa memperlakukannya seperti paspor kedua. Koordinasi dengan Saudi berjalan baik, sehingga kebijakan baru bisa diterapkan lebih mulus.
Maroko lebih pragmatis: sistem tiket digital memang ada, tapi kartu fisik sederhana tetap diberikan sebagai cadangan. Mereka sadar, baterai ponsel bisa habis, tapi kertas tetap bisa dipakai.
Malaysia bahkan lebih rapi lagi. Jamaahnya menerima “Kad Haji Pintar” yang sudah terintegrasi dengan chip, data imigrasi, dan akses transportasi, semuanya aktif sejak di Kuala Lumpur. Tidak ada cerita “kartu darurat dicetak di bandara.”
Perbandingan ini memperlihatkan: digitalisasi ibadah bukan sekadar soal aplikasi canggih, melainkan soal consistency of execution. Turki disiplin administrasi, Mesir bertahap, Maroko realistis, Malaysia integratif. Nusuk sebaliknya: terlalu ambisius, tapi eksekusinya mendadak manual.
Masalah lain: integrasi lintas negara. Setiap negara punya sistemnya sendiri —Malaysia dengan smart card, Turki dengan biometrik, Mesir dengan kartu distrik. Namun begitu sampai di Arab Saudi, semuanya harus tunduk pada Nusuk.
Sistem Nusuk bersifat sentralistik, Saudi-centric. Identitas digital negara asal tak ada nilainya. Ibarat punya SIM internasional, tapi tetap dipaksa bikin SIM lokal. Akibatnya jamaah menanggung identitas berlapis: paspor nasional, kartu haji lokal, dan tetap kartu Nusuk. Alih-alih menyederhanakan, justru menambah kompleksitas.
Pada akhirnya, Nusuk menjadi cermin ambisi besar yang terjebak pada eksekusi kecil. Ia lahir dari visi modernisasi, tapi tersandung distribusi kartu yang telat. Ia hendak menjadi solusi, tetapi kerap berubah menjadi beban.
Ibrahim dari Mentawai barangkali akan pulang sambil berkata: “Haji itu berat. Thawaf tujuh putaran, sa’i tujuh kali bolak-balik, wukuf sehari semalam. Tapi yang paling berat adalah mencari kartu Nusuk yang baru dicetak.”
Dan siapa tahu, suatu hari nanti, rukun haji resmi bertambah: niat, ihram, thawaf, sa’i, wukuf, melempar jumrah, dan… scan barcode. Begitu pula umrah, baru “sah” dan terlaksana dengan pakai nusuk digital. (*)
Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 25/8/2025