Oleh ReO Fiksiwan
Seorang pria pulang dari perjalanan bisnis dan mendapati istrinya di tempat tidur, dengan raut wajah gugup.
Ia membuka lemari untuk menggantung mantelnya, dan mendapati sahabatnya berdiri di sana, telanjang.
Terkejut, ia berkata, “Lenny, apa yang kau lakukan di sini?”
Lenny mengangkat bahu dan berkata, “Semua orang pasti ada di suatu tempat.” —- Thomas Cathcart dan Daniel Klein, Plato and a Platypus Walk Into a Bar: Understanding Philosophy Through Jokes (2007).
Di negeri yang konon telah merdeka selama delapan dekade, kemerdekaan tampaknya lebih mirip lelucon panjang yang belum selesai ditulis.
Kalau Plato dan Aristoteles duduk di warung kopi pinggir jalan, mereka mungkin akan tertawa getir melihat bagaimana ide tentang negara ideal berubah menjadi negara viral.
Seperti dalam Plato and a Platypus Walk into a Bar, di mana filsafat dijelaskan lewat humor, Indonesia justru menjelaskan humor lewat filsafat yang tak pernah selesai: filsafat tentang bagaimana tertawa bisa menjadi satu-satunya cara bertahan hidup dalam absurditas politik.
Bayangkan, ijazah palsu seorang presiden bisa membuat otak sehat warga negara mendadak migrain.
Di negara lain, ijazah palsu mungkin memicu skandal nasional.
Di sini?
Ia menjadi bahan meme, bahan debat dan bahan bakar buzzer.
Ngabalin tampil seperti Socrates yang kehilangan logika, Matituna seperti Heraclitus yang bicara tentang perubahan tapi tak pernah berubah, dan para buzzer Jokowi seperti murid Epicurus yang percaya bahwa kebahagiaan bisa dibeli dengan likes dan retweet.
Kemerdekaan, kata Hegel, adalah kesadaran diri yang rasional. Tapi di Indonesia, kemerdekaan lebih mirip kebebasan untuk tidak rasional.
Pemilik akun fufu fafa bisa jadi Wakil Presiden, asal punya cukup followers dan koneksi.
Sementara rakyat yang benar-benar paham konstitusi hanya bisa jadi penonton, atau kalau beruntung, jadi korban UU ITE.
Demokrasi kita bukan lagi soal partisipasi, tapi soal algoritma dan amplop.
Koruptor tersenyum dalam seragam tahanan KPK seperti aktor yang baru saja memenangkan penghargaan.
Mereka tidak malu, karena malu sudah dianggap kuno dan afker.
Bahkan Sartre pun mungkin akan menyerah jika diminta menjelaskan eksistensi para pejabat yang korup tapi tetap dielu-elukan.
Di Indonesia, absurditas bukan gangguan sistem—ia adalah sistem itu sendiri.
Kita tertawa bukan karena lucu, tapi karena kalau tidak tertawa, kita bisa gila.
Seperti lelucon klasik:
“Seorang filsuf masuk ke bar, lalu bertanya:
“Apakah bir ini nyata atau hanya representasi dari keinginan saya akan kebebasan?”
Di Indonesia, filsuf itu akan ditangkap karena dianggap menghina institusi bir lokal yang dimiliki oleh kerabat pejabat.
Kemerdekaan kita adalah kemerdekaan untuk tertawa dalam penderitaan.
Mati ketawa cara merdeka.
Karena di negeri ini, logika sering kalah oleh loyalitas, dan kebenaran dikalahkan oleh koneksi.
Kita hidup dalam negara yang mengklaim demokrasi, tapi lebih sering mempraktikkan aristokrasi digital dan feodalisme elektoral.
Jadi, kalau kamu merasa bingung, tertawalah. Kalau kamu merasa marah, tertawalah lebih keras.
Karena seperti yang ditulis oleh Cathcart dan Klein, humor adalah cara paling manusiawi untuk menghadapi absurditas.
Dan Indonesia, dengan segala keunikannya, adalah laboratorium filsafat humor terbesar di dunia.
Plato mungkin akan menangis. Tapi kita? Kita mati ketawa. Cara merdeka. (*)
Cara Merdeka Ketawa Mati