Oleh: Ririe Aiko


PAGI ini, rakyat di sebuah negeri antah berantah kembali menghadapi kenyataan pahit yang tak kalah ajaib dari kisah mistis. Negeri itu dikenal sebagai negara agraris dengan tanah subur dan hasil pertanian melimpah. Namun entah bagaimana, beras—makanan pokok yang sebulan lalu masih menumpuk di etalase toko—mendadak lenyap bak ditelan tuyul. 

Semalam saja, karung-karung beras yang biasanya berdiri tegak di rak pasar raib tanpa jejak. Seakan ada tangan gaib yang menyapu bersih, padahal yang bekerja hanyalah rumor kenaikan harga. Begitu kabar naik harga merebak, stok pun hilang lebih cepat daripada kilat.

Fenomena ini tentu mengingatkan pada episode lama: minyak goreng. Kala itu, barang sehari-hari mendadak jadi komoditas mewah, menguji kesabaran rakyat. Kini babak baru dimulai dengan beras. Harga melonjak, stok lenyap, dan komentar pejabat hadir seperti bumbu satir di tengah piring kosong.

Di berbagai daerah, harga beras medium sudah menembus batas harga eceran tertinggi. Di wilayah timur negeri, kisahnya lebih getir: harga beras medium bisa mencapai empat hingga enam kali lipat dari harga normal di pusat kota. Rasanya, sepiring nasi uduk di sana sebanding dengan makan malam mewah di ibu kota negeri antah berantah.

Di tengah situasi pelik, muncul pula pernyataan yang menambah garam di atas luka: harga beras di negeri antah berantah masih lebih murah daripada di negeri maju lain. Entah bagaimana logika ini muncul, seolah rakyat harus bersyukur hanya karena membandingkan harga dengan negeri yang pendapatannya jauh lebih besar.

“Apa yang harus dibandingkan, jika dari segi pendapatan saja sudah kalah jauh? Rakyat negeri antah berantah memang tampak hidup mapan, tetapi kenyataannya banyak yang bergantung pada pinjaman.”

Publik pun makin muak. Alih-alih memberi empati dan solusi nyata, pejabat justru terdengar seperti tak berempati. Ucapan yang keluar dari mulut mereka seolah bukan jawaban, melainkan jargon kosong yang hanya indah di podium. Mereka pandai merangkai kata, tapi tak pernah menyentuh akar masalah.

Sebagai solusi alternatif, masyarakat dianjurkan beralih ke pangan lokal lain: singkong, jagung, atau sagu. Wacana ini mungkin terdengar manis dalam seminar tentang ketahanan pangan. Namun di dapur rumah tangga, pilihan itu lebih mirip ajakan untuk menurunkan standar hidup ketimbang solusi jangka panjang. Nasi telah menjadi identitas kultural; menghapusnya dari piring bukan perkara mudah. Lagi pula, wacana ini selalu datang kala harga beras naik, lalu lenyap begitu situasi kembali normal.

Pada akhirnya, kisah beras ini bukan sekadar soal makanan. Ia adalah cermin kegagalan tata kelola pangan yang berulang. Setiap kali ada isu kenaikan harga, polanya sama: barang mendadak langka, harga melesat, operasi pasar dijadikan penenang sementara, dan pejabat melontarkan komentar yang membuat rakyat geleng kepala.

Rakyat sudah terlalu lelah dengan siklus ini. Hidup di negeri sendiri kian terasa seperti menjalin hubungan toxic: sudah setengah hati bertahan, tapi tiap hari disuguhi luka baru. Jika beras—simbol nadi kehidupan bangsa—saja tak mampu dijaga ketersediaannya, jangan heran bila yang berikutnya benar-benar langka bukan hanya beras, tapi juga kesabaran publik. (*)


*) Inilah kisah di negeri antah berantah, yang kisahnya hanya fiksi. Jika ada kemiripan dengan kenyataan, itu di luar tanggung jawab penulis. Sekian.



 
Top