Esai Satire: Rizal Tanjung
KEMERDEKAAN, kata yang gemetar di setiap bibir yang haus arti, kini berdiri di dua panggung yang berbeda: panggung megah dengan lampu sorot APBD, dan panggung sederhana di lorong-lorong kampung dengan bohlam redup yang digantung pakai kawat.
Di satu sisi, pejabat negara mengibarkan bendera dengan protokol, dengan biaya yang dicatat dalam angka-angka miliaran; di sisi lain, rakyat menyalakan lilin di gang sempit, menyisihkan uang receh dari dompet keropos demi sehelai kain merah putih yang dikibarkan dengan tangan telanjang.
Ironi ini begitu halus sekaligus tajam: yang disebut “penjaga negara” ternyata merayakan kemerdekaan dengan uang yang dihimpun dari rakyat, sedangkan rakyat justru merayakannya dengan darah, keringat, dan iuran sukarela.
Maka siapa yang lebih nasionalis?
Apakah mereka yang berpidato di atas podium dengan mikrofon emas, atau mereka yang memikul bambu panjang demi panjat pinang di tanah becek?
Bangsa ini, konon, lahir dari gotong royong: dari suara petani yang menggenggam cangkul, dari nelayan yang melaut di gelap malam, dari ibu-ibu yang menanak nasi dengan api sabut kelapa. Namun kini, semangat gotong royong itu diperas hanya di tingkat RT dan RW. Rakyat, dengan tangan cekal dan hati lapang, mengeluarkan sumbangan untuk merayakan kemerdekaan yang sejatinya milik bersama.
Sementara itu, di gedung megah, para pejabat menganggarkan “kemerdekaan” dari lembaran APBD—uang yang bukan milik mereka, melainkan juga hasil jerih payah rakyat. Anehnya, pesta itu disebut “perayaan nasional”, padahal rakyat tidak pernah diundang duduk di meja kehormatan. Rakyat hanya disuguhi siaran televisi, menatap layar seolah sedang menonton sebuah opera besar yang tiketnya sudah dibayar dari keringat mereka.
Betapa indah perayaan kemerdekaan di kampung-kampung: lomba balap karung, makan kerupuk, tarik tambang—semua dilakukan dengan hati yang riang. Tidak ada honor panitia yang ditulis dalam nota resmi, tidak ada anggaran konsumsi yang diaudit BPK, tidak ada pengadaan tenda dengan tender proyek. Semua datang dari kerelaan. Dari amplop-amplop kecil yang berisi seribu, dua ribu, lima ribu—yang jika dijumlah, justru lebih murni daripada angka-angka yang disahkan dalam rapat DPRD.
Lalu di manakah nasionalisme sesungguhnya? Apakah terletak pada pejabat yang menganggarkan kembang api dengan APBD, atau pada anak-anak kecil yang memanjat pohon pinang berlumur oli hanya demi hadiah sabun mandi dan biskuit?
Satire ini menempel di wajah bangsa seperti noda yang tak bisa diseka. Rakyat justru merayakan kemerdekaan dengan sukarela, sementara pejabat merayakan dengan anggaran negara. Bukankah seharusnya terbalik? Bukankah pejabatlah yang seharusnya mengorbankan harta pribadinya demi pesta rakyat? Bukankah mereka, yang mengaku wakil bangsa, seharusnya menjadi pelayan perayaan, bukan penikmatnya?
Tapi sejarah bangsa ini selalu penuh ironi: kemerdekaan diperjuangkan dengan darah rakyat, diproklamasikan oleh segelintir elite, lalu dirayakan tiap tahun dengan biaya rakyat yang dikembalikan kepada rakyat, tetapi dalam bentuk panggung mewah yang hanya dinikmati pejabat.
Bayangkanlah: di satu kota, pejabat duduk manis di kursi VIP, menyantap hidangan istimewa dengan anggaran negara. Di kota lain, rakyat berkumpul di balai RT, menyumbang iuran seribu rupiah untuk membeli cat guna mengecat tiang bendera yang sudah berkarat. Dan pada saat yang sama, dua-duanya menyebut dirinya nasionalis.
Namun nasionalisme sejati, barangkali, tidak pernah lahir dari ruang rapat anggaran. Ia lahir dari teriakan anak-anak yang gembira saat memenangkan lomba, dari bapak-bapak yang rela memikul speaker tua demi pesta kampung, dari ibu-ibu yang menjual gorengan untuk menambah kas panitia. Nasionalisme sejati lahir dari rakyat, dan selalu kembali ke rakyat.
Maka pertanyaannya: siapakah yang sebenarnya merdeka? Pejabat yang merayakan dengan APBD, atau rakyat yang merayakan dengan hati?
Bendera yang dikibarkan pejabat mungkin lebih tinggi, tapi bendera rakyat lebih tulus. Lagu kebangsaan yang dinyanyikan di istana mungkin lebih merdu, tapi lagu kebangsaan di lapangan tanah kosong lebih jujur.
Kemerdekaan, akhirnya, bukanlah soal anggaran. Ia adalah soal kesediaan berkorban tanpa pamrih. Dan dalam ukuran itu, rakyat selalu lebih merdeka dari pejabatnya.
Esai ini bukan sekadar sindiran; ia adalah cermin yang retak, yang memantulkan wajah bangsa: pejabat berdiri dengan baju safari, rakyat berdiri dengan kaos lusuh. Keduanya mengaku mencintai negeri. Tapi hanya satu yang benar-benar merayakan kemerdekaan dengan darah dan air mata.
Dan ketika sejarah menulis ulang definisi nasionalis, barangkali jawabannya tidak perlu dicari di gedung pemerintahan, melainkan di gang sempit, di lapangan kampung, di meja iuran RT. Karena di sanalah kemerdekaan benar-benar hidup. (*)
Sumatera Barat, 2025