JEPARA, JATENG -- Di tengah kearifan alam dan keindahan pegunungan Muria, sebuah peristiwa budaya agung kembali tergelar. Festival Muria Raya (FMR), yang kali ini mengusung tema “Wiwiting Werna Katresnan” (Permulaan dari Warna Cinta), tidak sekadar hadir sebagai event tahunan, melainkan menjadi sebuah peristiwa budaya yang hidup dan berdenyut bersama masyarakat di kaki gunung Muria.
Perhelatan yang berlangsung pada 16-17 Agustus 2025 di Dukuh Duplak, Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, ini menjadi babak baru yang sarat makna. FMR#5 adalah sebuah laku budaya yang merajut kembali simpul-simpul peradaban desa. Mengambil tempat di antara hamparan kebun kopi dan sawah, festival ini menjadi ruang pertemuan bagi warga desa, seniman, budayawan, dan pegiat dari berbagai daerah hingga mancanegara.
Selama dua hari, semua yang hadir tidak hanya menonton, melainkan menyatu bersama alam dan masyarakat desa dalam proses berkesenian, saling belajar, berbagi dan bertukar cerita, serta merangkai kisah.
Filosofi Keselarasan
Ketua Panitia FMR, Brian Trinanda K. Adi, pegiat budaya dari Pati yang juga sebagai mahasiswa pasca sarjana di Universiteit van Amsterdam, memaknai bahwa perhelatan budaya FMR ini bisa terwujud sebagai manifestasi berbagai perjumpaan yang seringkali tidak direncanakan, namun mengalir begitu saja.
"Bagaimanapun juga, saya percaya bahwa di dunia ini tidak ada yang kebetulan. Orang-orang berkumpul di sini memiliki vibrasi dan value yang sama, sehingga terkoneksi dan bertumbuhlah keselarasan, baik dengan koneksi antar manusia yang hadir maupun koneksi manusia dengan alamnya," ujar Brian.
Ia menekankan bahwa FMR adalah simbol yang dibangun bersama, bisa dimaknai kembali sebagai sesuatu yang sakral dalam keterkaitannya memperkuat ikatan komunitas.
Gunung adalah Mercusuar Peradaban
Sesi diskusi dalam "Temu Cakap Desa" secara khusus menekankan konsep spiritual tentang gunung. Dalam tradisi masyarakat kuno dan spiritual, gunung bukan sekadar bentang alam, melainkan pusat pencarian spiritual. Di sana, para nabi dan manusia mencari ilham, dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ilahiah.
Gunung dianggap sebagai penyeimbang bumi dan sumber kebijaksanaan. Mang Pepep DW, penulis buku "Manusia dan Gunung", mengajak hadirin untuk merenungi kembali kesakralan hubungan manusia dengan alam. Di sisi lain, Dr. Barbara Titus, peneliti dekolonisasi musik, menyoroti pentingnya upaya mengembalikan arsip dan narasi budaya yang pernah hilang.
"Penghargaan pada leluhur adalah tentang merajut kembali narasi yang hilang. Jejak-jejak seperti arsip suara Jaap Kunst yang diserahkan kembali ke warga Nias menjadi contoh nyata dari upaya ini," tutur Barbara berbagi pengalamannya dalam project repatriasi arsip dari Belanda ke komunitas masyarakat di tanah air.
Leluhur Masa Depan
Konsep "leluhur masa depan" menjadi inti dari pertunjukan Rani Jambak, seniman kelahiran Medan yang kini tinggal di Lasi, Agam, Sumatera Barat. Rani tampil dengan performance yang membawa tema Future Ancestor. Pertunjukan ini, menurut Brian, cukup memancing diskusi yang mendalam.
Rani Jambak menjelaskan bahwa karyanya mengajak anak muda untuk merenungi warisan leluhur mereka, sekaligus membuka ruang dialog lintas generasi, agar generasi yang lebih tua juga bisa belajar untuk memahami bentuk-bentuk ekspresi budaya anak muda yang mungkin sudah berbeda wujud.
"Yang tua juga harus memahami bahwa anak muda hidup dengan bentuk-bentuk yang mungkin berbeda. Yang tua harus belajar, re-value, agar nilai-nilai tetap bisa dipahami dan terwariskan ke anak muda, walau dengan bentuk fisik aktivitas yang bisa jadi berbeda,” ungkap Rani.
“Saat ini, kita belum tentu hidup di akhir zaman, bisa jadi jaman akan berotasi, dan suatu saat kita ini akan menjadi leluhur di masa depan," kata Rani.
Proses Artistik dan Pertunjukan Puncak
FMR#5 juga kaya akan pertunjukan dan prosesi unik. Malam puncak diisi oleh penampilan dari beragam komunitas, mulai dari Sanggar Tari Arjuna, JALAKATA, hingga Sarasuni yang baru saja sukses membawa karya mereka ke Belanda.
Salah satu momen paling berkesan adalah pementasan musik yang dibawa oleh seniman Dr. Memet Chairul Slamet, yang mengeksplorasi bunyi dari bebatuan gunung yang berusia ribuan tahun. Proyek "Menata Bunyi Meniti Gerak Bebatuan Muria" ini merupakan hasil dari proses residensi seniman yang melibatkan Gempur Sentosa, Agung “YAW” Wibowo, Jawara Squad dan Dedy Satya Hadianda.
Program residensi ini sendiri menjadi jantung filosofi FMR. Para seniman bukan hanya datang untuk tampil, melainkan untuk berinteraksi intensif dengan alam dan warga desa. Mereka menjalani proses kreatif yang mendalam, menelusuri setiap alur batu dan memetakan setiap bunyi yang dihasilkan dari material alam.
Interaksi ini melahirkan sebuah ensambel bunyi baru, sebuah dialog antara seniman dengan lanskap gunung Muria. Melalui laku budaya ini, festival berhasil mentransformasi material geologis yang kuno menjadi sebuah narasi artistik yang modern, sekaligus menegaskan kembali bahwa kebudayaan terus hidup dan beradaptasi dengan zamannya, berdialog dengan sumber aslinya.
Jejak Langkah FMR
FMR lahir dari sebuah kesadaran kolektif. Berawal pada tahun 2020, ketika Festival Lima Gunung (FLG) yang legendaris diboyong secara khusus ke Pati. Di tengah ketatnya protokol Covid-19, FMR#1 dilaksanakan secara khidmat tanpa penonton di Desa Gotanjung, Pati.
Peristiwa hening itu menjadi tonggak sejarah yang menancapkan pondasi bahwa seni dan kebudayaan harus terus dirayakan bersama masyarakatnya. Pada tahun 2022, FMR#2 mulai terbuka untuk publik dengan kehadiran kolaborator dari Jepang, Yuta Kuroki.
Disusul FMR#3 yang berlangsung intim dalam tiga putaran di tahun 2023, dan FMR#4 di Dukuh Dombyang, Desa Jepalo, Gunungwungkal, Pati, yang merayakan Gotong Royong dan peradaban desa. Maka, perhelatan FMR#5 ini menjadi yang pertama kali diadakan di wilayah Kabupaten Jepara, menegaskan semangatnya untuk merangkul seluruh komunitas di lereng-lereng gunung Muria.
Ritual Baru, Persaudaraan Abadi
Selain itu, FMR#5 menampilkan ritual kebudayaan yang baru dan bermakna. Prosesi "Prasastu", yang melambangkan prasasti batu yang menjadi simbol persaudaraan, dengan pengguyuran air yang dilakukan oleh para pembicara diskusi. Prosesi ini diikuti dengan "Sabda Paseduluran", sebuah ikrar persaudaraan yang menguatkan relasi antarwarga.
Prasastu dan Sabda Paseduluran menjadi sebuah simbol persaudaraan tidak hanya bagi 7 desa di kaki Gunung Muria, tapi juga bagi 3 kabupaten yang mengitari gunung Muria, yakni Pati, Jepara, Kudus, serta bagi berbagai wilayah Blora, Bandung, Surakarta, hingga Kadilangu Demak. Ini diwakilkan dengan air yang dibawa dari berbagai mata air dari wilayah-wilayah tersebut.
Keunikan lain muncul secara spontan dalam "Bluron Kali", di mana peserta diajak menyatu dengan alam melalui orkestrasi batu dan tari di sungai, menciptakan happening art yang merayakan spontanitas dan kebersamaan.
Membangun Ekonomi dan Peradaban Desa
Kemeriahan festival juga didukung oleh pameran interaktif, seperti pameran gamelan kaca dan pameran lukisan bubuk kopi, yang mencerminkan komoditas utama desa. UMKM lokal turut andil, menawarkan produk kuliner, madu, dan hasil ladang, menegaskan peran festival sebagai penggerak ekonomi kreatif di tingkat akar rumput.
FMR#5 adalah bukti nyata bahwa kebudayaan dapat menjadi pilar yang kokoh untuk membangun peradaban dari desa. Dengan semangat “Wiwiting Werna Katresnan”, festival ini tidak hanya menjadi perayaan, melainkan sebuah ungkapan syukur kolektif bagi alam, warga, dan Semesta, serta menjadi inspirasi bagi gerakan kebudayaan di seluruh Indonesia.
#rel/ede