Oleh: Anies Septivirawan


‎“Orang miskin dilarang sakit!”  Kalimat satire yang terdiri dari empat kata itu sering kutemukan dan kubaca di media sosial (medsos) beberapa tahun lalu. 

‎Setelah kubaca lalu kucerna, kukunyah, kuindera dengan rasa, kalimat itu terasa pahit bagi orang miskin, terlebih, amat pahit bagi diriku. Pahit juga bagi mereka yang tidak berduit seperti aku.  Karena sakit itu pahit, sakit itu getir. Pahit getir.

‎Pahit getir itu sekarang dirasakan dan dialami oleh bocah berusia 10 tahun, cucu dari seorang wanita janda yang tidak berpenghasilan tetap di desa Seletreng, kecamatan Kapongan, Situbondo, Jawa Timur. 

‎Kisah hidup pahit dan getir ini kiriman semesta,  nyata, bukan kisah fiksi. Kini harus dijalani bocah malang bernama Refan.  Usia Refan saat ini sepuluh tahun, usia yang seharusnya tidak menanggung beban hidup. Namun, ia harus berjuang habis-habisan melawan penyakit yang telah bertahun-tahun bersemayam di tubuhnya.

‎Kondisi tubuhnya, berperut buncit.  Ukuran tungkai kaki kecil, kulitnya selalu gatal. Warna kulit kakinya hitam. Kata neneknya, Darwani, pernah mengalami kebusukan karena sering digaruk hingga luka.

‎Kedua orang tua bocah cilik itu bercerai cukup lama. Ibunya, merantau ke negeri Jiran, Malaysia telah bertahun lalu, kini tiada pernah berkabar. Refan bersama neneknya yang hidup dari pekerjaannya sebagai buruh tani.

‎Nenek bocah itu kepada sejumlah orang yang peduli bercerita bahwa, Refan telah berhenti bersekolah karena kondisi ekonomi dan didera penyakit yang belum diketahui penyebabnya. Ia hanya duduk di bangku sekolah dasar kelas dua lalu berhenti.

‎Menurut Santy, seorang tenaga medis puskesmas Kapongan, Refan menderita penyakit anemia. Refan menderita anemia sejak usia tujuh tahun.

‎Darwani (77), sang nenek  mengungkapkan bahwa cucunya mengalami penyakit yang tak diketahui penyebab pastinya.

‎Meski begitu, ia tetap berupaya merawat dan mengobati Refan dengan segenap ketulusan dan kemampuan.

‎”Dia harus berhenti sekolah sejak kelas dua SD karena tidak ada teman yang mau mendekatinya. Bau amis dari penyakit yang dideritanya membuatnya dijauhi,” ujar sang nenek, Darwani.

‎Menurut Darwani, upaya pengobatan sudah dilakukan berulang kali, termasuk memeriksakan Refan ke rumah sakit di Situbondo. Namun, semua biaya pengobatan selalu ia tanggung sendiri karena tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah kala itu.

‎”Sejak awal penyakit itu muncul, saya sudah berulang kali membawanya ke rumah sakit. Semuanya dibayar tunai karena tidak punya fasilitas kesehatan atau bantuan apa pun,” katanya.

‎Refan tinggal bersama neneknya sejak usia tiga tahun setelah ditinggal ibunya yang bekerja ke luar negeri.

‎Sang nenek juga harus merawat cucunya seorang diri setelah suaminya  meninggal dunia. Ia mesti berjuang menyelamatkan sang cucu dengan segenap kemampuan dan kondisi ekonomi yang ia miliki.

‎”Saya hanya bekerja serabutan dengan penghasilan upah  sekitar Rp40.000 per hari. Cucu saya satu-satunya harapan saya,” ujarnya sembari meneteskan buliran air bening dari sudut kelopak matanya yang sunyi.

‎Tokoh masyarakat setempat, Mohamad Zainullah, turut prihatin dengan kondisi Refan dan sang nenek. Ia mengatakan bahwa Darwani benar-benar hidup dalam keterbatasan dan butuh uluran tangan.

‎”Saya tergerak untuk membantu menyuarakan kondisinya melalui pemerintah desa dan juga organisasi sosial yang mau membantu. Mereka benar-benar butuh bantuan,” ungkap Zainullah.

‎Dia juga menambahkan, berdasarkan cerita Darwani, Refan kadang menunjukkan perilaku tidak biasa, seperti memakan tisu, kardus, bahkan lembar kertas Al-Qur’an yang dibawanya saat mengaji.

‎Diduga, hal ini dilakukan karena kondisi lapar atau faktor psikologis akibat tekanan hidup.

‎”Pemerintah daerah, terutama pemerintah desa, harus lebih peduli dan memiliki empati untuk membantu mereka,” tambahnya.

Berdasarkan hasil komunikasi dengan Santi dari Puskesmas Kapongan, diketahui bahwa Erfan benar-benar menderita anemia dan membutuhkan transfusi darah.

‎”Gejala lain yang dialami Refan antara lain gatal-gatal, kekurangan sel darah merah, dan perut yang membuncit. Proses penyembuhan kemungkinan akan memakan waktu cukup lama,” jelasnya. 

‎Dan saat ini, hingga artikel ini saya tulis, Refan sudah berada di rumah sakit pemerintah setempat. Penderitaan dan penyakit Refan sudah tertangani oleh menejemen rumah sakit.

‎Menurut salah satu NGO/LSM di desa Seletreng, H. Sadik yang juga tetangga bocah malang itu, pada mulanya tak satu orang pun yang peduli atas penderitaan anak itu. Namun, atas kepedulian H. Sadik dan kawan – kawan, ia bercerita tentang hal itu kepada sang Bupati Situbondo, Yusuf Rio Wahyu Prayogo. Sang Bupati muda itu pun langsung bergegas, bergerak, membela rakyatnya yang menderita.

‎”Kami bersama orang yang peduli lainnya menonton video Refan di media sosial Tik Tok. Akhirnya satu persatu ada orang yang peduli. Saya pun bersama teman melaporkan hal itu kepada bupati Situbondo, Mas Rio. Bupati pun langsung tanggap merespons dengan cara memberikan kemudahan – kemudahan sehingga sampai sekarang Refan tertangani oleh RSUD Abdoerahem, Situbondo,” ujar H. Sadik.

‎Pada akhirnya, Refan, sang bocah malang penderita penyakit anemia, pemakan kertas tisu itu, kini sudah berada dalam”pelukan ” tangan kuasa sang Bupati Situbondo, Mas Rio. (*)





‎ 

Next
This is the most recent post.
Previous
Posting Lama
 
Top