Lindafang


AKU pernah mencoba berhenti mencintaimu, seperti orang yang berusaha tidak memikirkan hujan saat langit sudah jelas abu-abu. Tapi, bahkan saat kamu tidak ada di dekatku, aku masih merasa sedang berjalan pulang.

Lucu ya, bagaimana seseorang bisa jadi tempat tinggal, padahal tidak ada dinding, tidak ada atap, tidak ada denah ruang. Hanya suara yang pelan saat memanggil namaku, atau cara kamu menyebut “tidak apa-apa” dengan tatapan yang lebih jujur dari semua kalimat yang pernah aku tulis.

Aku ingat kamu pernah bilang, “Cinta itu kadang bukan tentang siapa yang membuatmu tertawa paling keras, tapi siapa yang kamu izinkan untuk melihatmu saat kamu tidak ingin apa-apa.” Dan sejak itu, aku berhenti menjadi lucu. Aku ingin menjadi tenang. Menjadi diam yang kamu percaya.

Ada hari-hari di mana aku berpikir, mungkin dunia terlalu besar untuk dua orang yang cuma ingin duduk bersebelahan tanpa saling menjelaskan apa-apa. Tapi bersamamu, dunia itu terasa cukup. Bahkan saat kita hanya bicara soal hal-hal remeh tentang sisa kopi, buku yang belum selesai, atau kenapa kita takut pada hal yang sama tapi dengan nama yang berbeda.

Dan jika suatu hari aku harus kehilanganmu, aku akan tetap menulis. Bukan untuk menggenggammu, tapi sebagai cara paling jujur untuk bilang, terima kasih karena pernah membuatku ingin menetap. Meskipun sebentar. Meskipun akhirnya kita belajar, bahwa tidak semua rumah harus punya alamat.

Beberapa rumah, cukup di dada. Dan kamu adalah satu-satunya yang pernah terasa begitu nyata. (*)

Sajak, Bukittinggi , Agustus 2025






 
Top