PURWOKERTO, JATENG -- Di tengah derasnya arus globalisasi yang membuat banyak anak muda cenderung bangga dengan budaya impor, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) melancarkan sebuah inisiatif penting. Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) 2025, yang digelar pada 15-16 Agustus, bukan sekadar menjadi seremoni penyambutan, melainkan sebuah gerakan kultural.

Di saat implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan masih menghadapi banyak pekerjaan rumah dan belum sepenuhnya terasa dampaknya di akar rumput, PKKMB ini justru menanamkan kembali benih kecintaan pada tradisi melalui tema Bumi Budaya.

Acara ini menjadi pengingat kritis bahwa sebenarnya Indonesia sejak berabad-abad dikenal sebagai bangsa yang adi daya di bidang kebudayaan. Sebuah keunggulan yang tidak bisa hanya diserahkan pada kebijakan formal, tetapi harus tumbuh dari kesadaran kolektif.

Ketua Panitia PKKMB 2025, Iqbal Bayu Satrio, secara gamblang menyatakan bahwa tema ini adalah representasi dari komitmen FIB untuk merawat kearifan lokal.

 “Di tanah ini, kita tumbuh bersama. Melalui berbagai budaya, kita menyatu sebagai keluarga,” ungkap Iqbal menjelaskan pondasi pemikiran di balik gagasan besar kegiatan ini.

“Tema ‘Bumi Budaya’ mengandung pesan mendalam yang terinspirasi dari filosofi Banyumas, yaitu ‘Berbudi, Berbudaya, dan Berdampak’. Kami ingin para mahasiswa tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki budi pekerti luhur yang tercermin dalam cara hidup orang Banyumas,” kata Iqbal.

Pesan ini relevan dengan karakter masyarakat Banyumas yang dikenal lugas, jujur, dan menjunjung tinggi gotong royong. Sebuah nilai yang coba ditanamkan sejak awal kepada 1.164 mahasiswa baru melalui kegiatan ini.

Perpaduan Tradisi dan Kekuatan Lokal

Rangkaian acara hari pertama dibuka dengan Upacara Penerimaan di halaman fakultas, di mana mahasiswa dibekali pengetahuan dasar tentang kehidupan akademik di perguruan tinggi.

Namun, sorotan utama hari itu adalah Expo Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang menghadirkan berbagai komunitas. Expo ini dimeriahkan dengan penampilan musik, tari, dan kreasi budaya.

“Kami ingin menunjukkan bahwa budaya itu tidak terbatas pada seni tradisional saja. Budaya adalah cara hidup, termasuk bagaimana kita berorganisasi dan berkreativitas di kampus,” ujar salah satu panitia.

Puncak perayaan budaya terasa pada hari kedua, ketika seluruh mahasiswa baru larut dalam prosesi adat "Ngunduh Kaluwargi Ingkang Rawuh", sebuah ritual penerimaan yang secara harfiah berarti “Mengunduh Keluarga yang Hadir.”

Prosesi ini secara sengaja dirancang untuk mengangkat kekuatan budaya Banyumas. Dimulai dengan "Cucuk Lampah", sebuah tarian pembuka, diikuti dengan adu pantun penuh tawa, dan ditutup dengan Prosesi Begalan.

Begalan, sebuah seni pertunjukan tradisional Banyumas, diadaptasi secara khusus. Dengan dialognya yang penuh canda dan petuah, Begalan memiliki makna filosofis yang mendalam tentang perjalanan hidup.

“Awalnya saya kira hanya acara formal biasa, tapi ternyata setiap gerakannya punya arti yang dalam dan sangat terasa budaya Banyumas-nya,” ungkap seorang mahasiswa baru.

Sastra, Jalan Pemajuan Kebudayaan

Sastra juga menjadi pilar penting. Proyek "Persembahan 1000 Puisi", di mana setiap mahasiswa baru menyumbangkan karya puisinya, adalah bukti bahwa kreativitas sastra bisa menjadi cara modern untuk melestarikan tradisi.

Kehadiran budayawan, pegiat sejarah, sekaligus penulis fiksi dari Purbalingga, Agus Sukoco, turut memperkaya acara. "Saya yakin, generasi muda ini adalah pewaris dan pelestari budaya yang paling kuat. Karya-karya mereka adalah buktinya," ujar Agus.

Langkah ini menunjukkan bahwa pemajuan kebudayaan tidak bisa hanya menunggu kebijakan formal, tetapi harus dijemput melalui inisiatif dari bawah.

Di samping itu, isu lingkungan hidup juga diintegrasikan. Kewajiban mengenakan batik dan membawa tumbler bagi mahasiswa baru adalah cerminan dari filosofi Banyumas yang menjunjung tinggi keharmonisan manusia dengan alam.

“Ini bukan hanya tentang mengurangi sampah plastik, tapi juga tentang menanamkan kebiasaan baik yang selaras dengan nilai-nilai budaya kita. Budaya itu juga tentang bagaimana kita menghargai semesta,” kata salah satu panitia.

PKKMB kali ini berusaha menciptakan sebuah narasi kuat: bahwa untuk maju, kita tidak harus melupakan akar. Di tengah derasnya informasi global, generasi muda perlu menemukan kembali akar jati diri dan merayakannya. 

Dengan merayakan budaya lokal, PKKMB FIB Unsoed 2025 memberikan bekal berharga bagi mahasiswanya. Mahasiswa didorong menjadi individu yang tidak hanya cerdas dan kreatif, tetapi juga berkarakter, berbudaya, dan siap untuk menularkan inspirasi positif bagi masyarakat.

Ini adalah langkah nyata yang membuktikan bahwa pemajuan kebudayaan adalah tanggung jawab kolektif. Bukan sekadar urusan birokrasi, dan harus dimulai dari kesadaran institusi-institusi pendidikan, seperti FIB Unsoed.

#rel/ede





 
Top