Rosadi Jamani

- Ketua Satupena Kalbar


AKHIRNYA, ada juga pejabat mundur sendiri. Biasanya, didesak mundur oleh jutaan rakyat Indonesia, cuek bebek. Lebih parah, ada yang menyandang status terpidana pun ogah mundur. Kali ini, ada yang benar-benar mundur. Mungkin ini awal munculnya tradisi mundur. Simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!

Senin 11 Agustus 2025, Joao Angelo De Sousa Mota, Direktur Utama Agrinas Pangan Nusantara, mengumumkan pengunduran diri. Info ini jelas mengguncang jagat birokrasi. Ia mundur setelah menjabat enam bulan sejak 10 Februari 2025. Joao mundur tanpa harus diusir, tanpa diberitakan KPK, tanpa drama pengawalan polisi yang melibatkan mobil tahanan.

Alasannya sederhana namun tragis. Tidak mendapat dukungan maksimal. Di negeri ini, alasan itu biasanya justru dijadikan bahan untuk bertahan lebih lama, sambil menyalahkan semua pihak kecuali diri sendiri. Tapi Joao memilih jalan yang berbeda. 

Dalam konferensi pers di Jakarta, ia membungkuk, meminta maaf kepada Presiden Prabowo Subianto, petani, dan seluruh rakyat Indonesia. Ia mengaku gagal memberi kontribusi nyata terhadap ekonomi nasional, kesejahteraan petani, dan kedaulatan pangan. Ia bahkan menegaskan, keseriusan Presiden dalam mengupayakan kedaulatan pangan tidak diimbangi oleh stakeholder dan para pembantunya. Terjemahan bebasnya, Presiden ingin, tapi mesin di bawahnya mogok.

Kisah ini jadi lebih absurd bila kita bandingkan dengan kebiasaan pejabat di tanah air. Biasanya, jika program gagal, rakyat yang harus beradaptasi. Kalau harga pangan melambung, rakyat diminta kreatif mencari alternatif. Ganti beras dengan singkong, ganti daging dengan tempe, ganti tempe dengan doa. Pejabatnya? Tetap duduk manis, bikin jargon baru, lempar janji manis di konferensi pers, lalu foto bersama sambil senyum ke kamera. Mundur? Tidak ada dalam kamus. Bahkan ketika sudah terbukti menyusahkan rakyat, mereka akan berdebat berhari-hari di TV bahwa semua ini demi kepentingan bersama. Padahal, yang bersama hanyalah penderitaan.

Agrinas Pangan Nusantara sendiri lahir dari metamorfosis aneh. Dulunya BUMN konstruksi PT Yodya Karya. Lalu, tiba-tiba berubah haluan ke pertanian. Logikanya sederhana, atau tepatnya, sesederhana logika kartun, kalau bisa membangun gedung, pasti bisa menanam padi. Dari dunia beton ke dunia padi, dari proyek jembatan ke proyek lumbung pangan.

Joao, dengan latar belakang konstruksi dan engineering, dipasang sebagai nahkoda. Visi yang dibawa mulia. Ia diminta menjadikan Indonesia swasembada pangan. Bahkan, lumbung pangan dunia. Namun, di tengah jalan, anggaran yang dijanjikan tak kunjung turun, birokrasi berlapis-lapis seperti kue lapis legit. Stakeholder lebih sibuk mengurus proyeknya sendiri dari mengurus pangan rakyat. Di titik itu, Joao sadar. Bertahan hanya akan membuatnya jadi patung pajangan, bagus difoto, tapi tidak berguna.

Keputusannya mundur adalah tamparan keras bagi tradisi politik kita. Di sini, mundur bukanlah pilihan elegan yang mengembalikan harga diri, tapi dianggap kekalahan memalukan. Maka ketika Joao mundur, banyak yang kaget bukan main. Ada yang sinis berkata, “Kalau semua pejabat kayak dia, nanti siapa yang mau teken SPJ dan anggaran?” Ada yang pura-pura prihatin sambil diam-diam lega karena satu kursi kini lowong. Namun bagi rakyat, ini adalah tontonan langka. Ada seorang pejabat mengakui kegagalannya sebelum dipaksa, sebelum menyusahkan lebih lama.

Bayangkan, wak! Jika saja tradisi ini diikuti pejabat-pejabat lain yang programnya gagal total, betapa banyak kursi di kantor pemerintahan yang akan kosong. Gedung kementerian bisa jadi sunyi, rapat kabinet mungkin hanya dihadiri separuh anggota, dan berita korupsi mingguan bisa berkurang drastis. Sayangnya, di negeri ini, mundur masih dianggap penyakit, bukan obat. Karena itu, langkah Joao adalah anomali, fosil hidup yang mungkin tak akan kita lihat lagi dalam waktu dekat.

Mundur itu sederhana, tapi membutuhkan nyali lebih besar dari bertahan di kursi empuk. Joao sudah membuktikan, tapi kemungkinan besar, tradisi mundur ini akan kembali punah besok pagi, ketika pejabat lain yang menyusahkan rakyat justru memantapkan diri untuk bertahan sampai pensiun, bahkan kalau perlu, minta perpanjangan kontrak. (*)

#camanewak




 
Top