Cerpen oka swastika mahendra
DI SEBUAH kota yang tak pernah benar-benar tidur, berdirilah sebuah kafe kecil di pojok jalan, dengan papan kayu bertuliskan Republik Latte. Di sinilah, saban sore, sekelompok anak muda berkumpul untuk “menyelamatkan negeri” setidaknya begitu yang mereka yakini.
Ada Dimas, mahasiswa hukum semester dua belas, yang kalau berbicara soal korupsi bisa membuat meja bergetar, meski belum pernah mengurus KKN-nya sendiri.
Ada Sinta, jurnalis lepas yang menulis opini di media daring—kadang dengan data, kadang hanya dengan perasaan.
Ada Yoga, aktivis digital, penggerak petisi, penggagas wacana, sekaligus pemilik dua akun anonim untuk menyerang siapa pun yang tak sepakat.
Dan terakhir, Laras, mahasiswi filsafat yang sering dianggap terlalu tenang untuk dianggap “pejuang”.
Mereka menyebut kelompoknya Komunitas Cinta Bangsa.
Namun di mata pelayan kafe, mereka hanya sekelompok pelanggan yang suka berdebat keras tapi jarang bayar tepat waktu.
Sore itu, Dimas menepuk meja keras. “Negeri ini sudah gawat!” serunya. “Lihat berita terakhir—korupsi lagi! Dasar pejabat bangsat semua!”
Yoga mengangguk semangat. “Betul! Aku baru bikin tagar di X: #NegeriTanpaNurani. Udah rame banget. Besok mau bikin space, bahas arah reformasi moral bangsa.”
Sinta, sambil mengetik di ponsel, berkata setengah serius, “Aku tulis artikel aja ya? Judulnya: Ketika Bangsa Tak Lagi Malu Korupsi. Lumayan, bisa viral.”
Laras hanya menatap mereka. “Lalu setelah itu?” tanyanya lembut.
“Hah?” Dimas menatap bingung.
“Setelah kalian marah, menulis, men-tweet, menjerit—apa yang berubah?”
“Minimal orang sadar!” sergah Yoga. “Sadar lalu apa?” tanya Laras lagi.
Sunyi sebentar. Dimas memalingkan wajah. Sinta kembali menatap layar. Kopi di meja sudah mulai dingin.
Beberapa hari kemudian, mereka sepakat turun ke jalan.
Ada demo besar menuntut “Pemimpin Bersih, Rakyat Mandiri”.
Mereka membawa spanduk, berteriak paling lantang, dan tentu saja—selfie sebelum bubar.
Namun di tengah kerumunan, Laras memperhatikan:
Dimas membuang bungkus rokok ke jalan setelah meneriakkan “Save Environment!”.
Yoga marah pada polisi, tapi menyuap tukang parkir agar bisa menaruh motornya lebih dekat.
Sinta berteriak tentang kejujuran, tapi memotong video demonstrasi agar narasinya lebih dramatis.
Laras menghela napas panjang. Ia sadar, negeri ini bukan hanya rusak karena pejabat yang busuk—tapi juga oleh warga yang mencaci tanpa bercermin.
Malamnya, ia menulis di buku catatan kecil:
“Mereka teriak cinta Indonesia, tapi takut bekerja untuknya.”
”Mereka kritik pemerintah, tapi tak mampu memerintah diri sendiri.”
Beberapa minggu setelah itu, komunitas mereka viral.
Tulisan Sinta dibagikan ribuan kali.
Yoga diundang ke acara podcast politik.
Dimas jadi bintang tamu diskusi mahasiswa dengan tema “Kritik Membangun Bangsa”.
Namun di tengah semua tepuk tangan, Laras justru memilih diam. Ia pergi ke desa kecil tempat ayahnya dulu mengajar. Di sana, listrik sering padam, sinyal sering hilang, tapi warga tetap tertawa setiap malam di balai dusun.
Anak-anak belajar dengan lampu minyak.
Ibu-ibu menenun sambil saling berbagi cerita. Tak ada orasi, tak ada tagar, tak ada debat tentang moral bangsa. Hanya kerja, kejujuran, dan kebersamaan yang tumbuh tanpa diumumkan.
Di sinilah Laras memahami sesuatu:
Wawasan kebangsaan bukan teori di ruang kuliah
Bukan jargon di baliho
Bukan status di media sosial
Ia adalah napas kecil yang jujur, dilakukan tanpa panggung.
Ketika Laras kembali ke kota, ia melihat teman temannya mulai pecah.
Dimas menuduh Yoga “terlalu pragmatis”.
Yoga menuduh Sinta “jual idealisme ke media mainstream”.
Sinta menulis status pedas tentang keduanya, disukai tiga ribu orang.
Laras tak berkata apa-apa. Ia hanya menulis satu pamflet dan menempelkannya di dinding kafe Republik Latte.
Isinya singkat:
“Anak negeri, janganlah wawasan kebangsatan.”
”Bangunlah negeri dengan kerja, bukan dengan cerca.”
”Kritiklah, tapi jangan lupa bercermin.”
”Cinta tanah air bukan soal teriak, tapi soal berbuat tanpa pamrih.”
Beberapa pengunjung membaca dan tertawa kecil.
“Apa-apaan ini? Terlalu idealis,” gumam seseorang.
Tapi malam itu, Sinta datang diam-diam dan menatap tulisan itu lama.
Lalu ia lepaskan ponselnya, memesan kopi, dan duduk sendiri.
Mungkin untuk pertama kalinya, ia benar-benar berpikir.
Kabar terakhir, Komunitas Cinta Bangsa bubar. Yoga kini bekerja di lembaga sosial kecil di pedalaman.
Dimas akhirnya menyelesaikan skripsinya setelah bertahun-tahun.
Sinta menulis lagi—bukan demi viral, tapi demi makna.
Kemana Laras? Ia mengajar anak-anak desa membaca Pancasila, bukan menghafal, tapi memahaminya.
Kadang, saat senja turun, ia menulis di catatannya:
“Bangsa ini tak butuh orang yang selalu benar, tapi orang yang mau memperbaiki diri. Karena cinta negeri dimulai bukan dari teriakan, tapi dari kesediaan untuk tidak menjadi bagian dari kebangsatan.”
Langit memerah di atas sawah.
Dan di antara bayang pohon, suara Laras bergema pelan:
“Anak negeri… janganlah wawasan kebangsatan.”
Jogjakarta 9 November 2025
Anak Bangsat Negeri

