Anto Narasoma | Sastrawan dan Penyair
MEMAJUKAN negara dalam upaya menyejahterakan rakyatnya, sangat tidak baik untuk saling memprovokasi antarsesama.
Sudah cukup bagi rakyat kita mengalami peristiwa berdarah dari sejak memperebutkan kemerdekaan dari tahun 1947 hingga ke zaman pecahnya peritiwa PKI.
Kapan negeri ini menjadi dewasa apabila rakyat ini selalu diperangkap dengan sifat provokatif yang bertujuan memecah-belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam percaturan politik, lawan politik kita bukanlah musuh. Lawan politik adalah rival yang berbeda paham dengan kita. Karena itu dalam suasana politik yang panas, tugas kita adalah untuk menentramkan agar suasana menjadi sejuk.
Kita ini dididik dari beragam agama. Kebetulan saya ini seorang muslim yang diajarkan membangun akhlak terlebih dahuku sebelum belajar ilmu agama.
Begitu hebatnya ajaran Rasulullah SAW yang menyatukan akhlak dengan ilmu agama. Dengan demikian, para pengikutnya dapat mencerdaskan akhlak dan spiritualnya ketika masuk ke ranah politik.
Kita tahu, even pemilihan umum adalah pesta yang seharusnya dilaksanakan dengan kegembiraan. Artinya, keberpihakan kita pada saat itu, hanya sebatas even seremonial.
Apabila figur yang kita usung dalam pemilu tidak memperoleh angka yang signifikan, dengan akhlak yang baik kita harus mengakui kekalahan itu. Ini sikap jantan yang diajarkan Rasulullah SAW.
Namun ada pertanyaan yang muncul ke permukaan, bagaimana jika terjadi kecurangan dalam pemilihan presiden tersebut? Arahkan kecurangan itu ke ranah hukum. Namun untuk memperkuat pengaduan kita, perlu bukti hukum yang menguatkannya.
Kita tidak perlu berkoar-koar dengan cara memprovokasi semua orang untuk bergerak serta mencaci-maki seseorang. Ini sikap yang tidak bijak. Calon pemimpin yang baik, jangan banyak omong, tapi banyak memperlihatkan sikap kenegaraan yang intensinya untuk menyatukan persepsi masyarakat agar tak terpecah-pecah.
Perdana Menteri Singapura Lee Kwan Yew, menyatakan kenerdekaan yang dimiliki satu bangsa adalah harta yang tak ternilai. Ini merupakan contoh gamblang yang telah kita rebut dengan nyawa, darah, dan air mata.
Artinya, “harta yang tak ternilai” itu harus dijaga tanpa diotak-atik dengan sikap memecah-belah antarsatu dengan yang lainnya. Sikap provokatif seperti ini harus diperangi oleh kita sendiri. Sebab tujuan bernegara adalah untuk mengangkat harga diri bangsa bagi kesejahteraan rakyatnya (Lee Kuan Yew : The Struggle for Singapore –oleh Alex Josey ; terbitan Gunung Agung Jakarta 1982).
Bangsa Indonesia sudah memiliki harta paling berharga (kemerdekaan) sejak 17 Agustus 1945. Bahkan beberapa episode pengkhiatan terhadap negara yang dipertaruhkan dengan harga diri dan nyawa manusia itu sudah kita lalui secara bersama. Perasaan ini begitu pahit dan pedih. Sebab selain hanya menghadirkan kesia-siaan, pengkhianatan hanya menguntungkan satu kelompok saja.
Dalam persoalan wajah politik kita saat ini, sempat memanas karena ulah pihak tertentu yang memanas-manasi suasana. Untung sejumlah besar masyarakat kita sudah dewasa setelah mengalami berbagai bentuk peristiwa yang mengalirkan darah, nyawa, dan air mata.
Saya yakin rakyat Indonesia tidak mudah diprovokasi pihak tertentu. Karena sudah tujuh dekade lebih kita merdeka dan banyak menghadapi tantangan untuk kemajuan bersama.
Lantas, kapankah dengan kemerdekaan itu seluruh rakyat kita sudah menikmati kesejahteraan?
Itulah tugas kita untuk mencari celah dan kesempatan di ranah persaingan global. Sebab sikap hidup dam kebiasaan sehari-hari seseorang itu tergantung dari latar belakang situasi kehidupannya.
Yang pasti, ketika seseorang menjadi pemimpin, berjuta kepentingan akan mendekati dan membujuk segala kebijakan agar menjauhi kepentingan rakyatnya. Karena kita meminta ke pada para wakil rakyat untuk fokus ke persoalan ini. Sebab ketika dipilih rakyat, fungsi mereka itu untuk mengoreksi tujuan sebenarnya bagi kesejateraan rakyatnya.
Jadi dalam pemerintahan itu ada presiden, wakilnya, menteri, gubernur, camat, lurah hingga ke RT. Namun untuk mengoreksi kebijakan pemerintah, harus ada anggota perlemen yang notabene sebagai wakil rakyat.
Ketika ada seorang presiden yang dianggap tidak berpihak pada kebijakan kerakyatan, wakil rakyat harus tampil di depan untuk mengoreksi segala kebijakan pemerintah yang tak berpihak ke rakyat.
Nah, apabila fungsi wakil rakyat itu belum berjalan secara maksimal, misalnya, apakah kita akan mengikuti sikap tak terpuji dari pihak tertentu untuk memancung kepala seorang presiden?
Wah, sikap dan cara berpikir seperti ini begitu merendahkan eksistensi bangsa Indonesia. Karena yang bersangkutan mengajak rakyat untuk bersikap bar-bar dan tidak mengindahkan nilai kemanusiaan pada poin kedua sila Pancasila (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab).
Nah, saya sangat sedih jika muncul indikasi yang tidak cerdas seperti ini. Sebab kita diajak untuk terjun ke dunia tak bermoral yang jauh dari adab kemanuisaan kita –sebagai bangsa yang menjujung tinggi keluhuran akhlak. (*)
Palembang, 9 November 2025

