Dr. Abdul Aziz, M. Ag | Penulis

- Dosen Fakultas Syari’ah UIN Raden Mas Said Surakarta


MENGERIKAN! Rumah Hakim Khamozaro Waruwu di Medan terbakar nyaris ludes, Selasa 4 November 2025.

Api itu datang pada saat yang terlalu “tepat” untuk disebut kebetulan. Ia muncul ketika Khamozaro sedang mengadili perkara korupsi pembangunan jalan di Sumatera Utara, sebuah proyek bernilai ratusan miliar rupiah. Perkara yang membuatnya meminta Jaksa Penuntut Umum menghadirkan Bobby Nasution, Gubernur Sumut sekaligus menantu Presiden sebelumnya, Joko Widodlo (Jokowi). Kombinasi semua itu membuat kebakaran ini terasa lebih mirip pesan daripada musibah.

Publik langsung teringat pada 22 Agustus 2020, ketika Gedung Kejaksaan Agung ikut dilalap api. Sebuah kebakaran besar yang datang di saat lembaga itu sedang menangani kasus-kasus panas, mulai dari Djoko Tjandra, Asabri, hingga sejumlah perkara strategis lain. Negara kemudian menenangkan publik dengan menyebut “puntung rokok” sebagai pemicu.

Sebuah rokok yang luar biasa berbakat, mampu membakar institusi penting di momen yang sangat sensitif. Kita diminta percaya. Kita pura-pura percaya. Karena negara selalu punya cerita untuk menutup cerita lain.

Kini rumah seorang hakim terbakar, dan pola lamanya terlihat jelas. Kasus besar, tensi politik meninggi, lalu api muncul sebagai kebetulan yang terlalu sering terjadi. Terlalu banyak “kebetulan” biasanya berhenti menjadi kebetulan.

Ketua Umum DePA-RI (Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia), Dr. TM Luthfi Yazid, menyebut peristiwa ini sebagai dugaan kuat teror terhadap hakim. Ia mengecam keras upaya intimidasi ini. Ia mengatakan negara harus hadir, tidak dengan pidato, tetapi dengan perlindungan nyata. Ia mengingatkan bahwa keamanan hakim bukan selembar slogan, tetapi kewajiban konstitusional. Namun suara lantang masyarakat sipil sering memantul ke dinding birokrasi yang lebih tebal dari tembok gedung pemerintah.

Di sisi lain, Presiden Prabowo Subianto berkali-kali mengumandangkan janji mengejar koruptor “sampai ke Antartika”. Retorika itu menggelegar, bergema di podium nasional. Namun ketika rumah hakim yang sedang memeriksa perkara korupsi di dalam negeri sendiri terbakar, negara terlihat lebih lambat dari nyala api. Antartika mungkin terasa lebih dekat daripada Medan.

Sejarah republik ini menegaskan bahwa tekanan terhadap hakim bukan barang baru. Kita masih mengingat pembunuhan Hakim Syafiuddin Kartasasmita pada 2001, yang menjerat Tommy Soeharto sebagai pelaku dalam putusan pengadilan. Itu masa ketika teror datang dalam bentuk paling jujur: peluru di siang hari. Kini bentuknya lebih modern. Lebih bersih. Lebih “teknis”. Api menggantikan timah panas, dan pesan tetap sampai ke tujuan.

Kita juga tidak boleh lupa bahwa intimidasi terhadap hakim adalah fenomena global. Di Amerika Latin, hakim sering diteror kartel narkoba karena berani memotong mata rantai ekonomi gelap. Perbedaannya, kartel di sana tampil terang-terangan. Di Indonesia, jaringan korupsi lebih halus, lebih cair, lebih senyap, dan sering berada sangat dekat dengan struktur formal. Ancaman tidak berteriak; tapi ia bekerja.

Dalam kondisi seperti ini, pernyataan Khamozaro Waruwu bahwa ia tidak takut memang heroik. Namun heroisme bukan desain negara hukum.

Sistem peradilan yang sehat tidak boleh menggantungkan dirinya pada keberanian seorang individu. Jika seorang hakim harus tampil sebagai pahlawan, itu artinya negara sedang absen dari tugas pokoknya.

Masalah strukturalnya jelas. RUU Jabatan Hakim yang sudah masuk Prolegnas tak kunjung digerakkan. Janji kenaikan gaji hakim yang dua kali disampaikan Presiden Prabowo Subianto di Mahkamah Agung juga belum tampak wujudnya. Negara tampak mencintai janji, bukan eksekusi. Hakim menunggu perlindungan, bukan pujian. Menunggu kepastian, bukan tepukan.

Kebakaran rumah Khamozaro adalah alarm keras tentang rentannya peradilan kita. Api itu bukan hanya membakar bangunan. Ia membakar ilusi bahwa hakim aman. Ia membakar anggapan bahwa negara selalu siap. Ia membakar keyakinan bahwa hukum berjalan tanpa gangguan.

Jika seorang hakim bisa menjadi target, bagaimana dengan saksi? Bagaimana dengan jaksa? Bagaimana dengan pelapor? Bagaimana dengan warga yang mencoba mempertahankan integritas di tengah gelapnya jaringan korupsi?

Negara harus berhenti mengandalkan narasi penyejuk. Harus berhenti menunggu isu mereda. Harus berhenti memperlakukan ancaman terhadap hakim seolah-olah hanya insiden biasa. Negara hukum hanya hidup jika hakim-hakimnya dilindungi sebelum mereka menjadi korban berikutnya.

Rumah hakim telah terbakar. Jangan biarkan yang terbakar berikutnya adalah keberanian para penegak hukum. Dan jangan sampai yang terbakar terakhir adalah republik ini sendiri—sementara kita kembali menyalahkan puntung rokok. (*)




 
Top