Muhamad Hasan Basri, S.Ag., M.Pd
- Kasi PAPKI Kantor Kemenag Tanggamus
PERINGATAN Hari Pahlawan 10 November bukanlah sekadar ritual mengenang masa lalu. Ia adalah cermin untuk bertanya: siapa pahlawan di zaman ini? Jika dahulu mereka menumpahkan darah di medan laga, kini pahlawan lahir dari keberanian menegakkan akal sehat, menumbuhkan dialog, dan menjaga keberagaman di tengah arus kebencian yang kian deras.
Di tengah hiruk-pikuk politik identitas, kita menyaksikan betapa mudahnya label “kafir”, “sesat”, atau “musuh agama” disematkan hanya karena perbedaan tafsir. Dalam situasi seperti inilah sosok pahlawan moderasi menemukan relevansinya — mereka yang berjuang menegakkan nilai rahmatan lil ‘alamin, bukan memecah belah umat.
Mereka adalah sosok yang berani menolak segala bentuk politisasi simbol agama, serta menentang upaya memanfaatkan agama untuk kepentingan politik dan bisnis. Mereka juga berani berdiri menolak diskriminasi dan ketidakadilan terhadap penganut agama minoritas — meskipun kerap dicap “tidak paham agama” atau bahkan “kafir.” Pahlawan moderasi tidak mencari popularitas, tetapi menegakkan nurani; mereka membela martabat kemanusiaan di atas kepentingan golongan.
Fazlur Rahman (1985), pemikir Islam kelahiran Pakistan dalam salah satu karyanya Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual banyak menginspirasi dunia Islam modern, menegaskan bahwa Al-Qur’an harus dipahami sebagai sumber prinsip-prinsip moral universal yang senantiasa dikaitkan dengan konteks zaman. Menurutnya, penafsiran yang sehat menuntut gerakan ganda — kembali ke makna historis teks, lalu mengaktualisasikannya dalam kehidupan modern.
Pemikiran Fazlur Rahman ini menuntun kita bahwa menjadi Muslim sejati bukan sekadar menjaga bentuk lahir, tetapi menegakkan ruh keadilan, kemanusiaan, dan kasih sayang. Islam tidak lahir untuk menakuti, melainkan mencerahkan; tidak untuk mengutuk perbedaan, tetapi untuk menuntun manusia menuju kebajikan bersama.
Dalam konteks Indonesia, semangat itu berkelindan dengan cita-cita kebangsaan. Budhy Munawwar-Rachman (2010) dalam Islam Pluralis menulis bahwa Islam Indonesia memiliki kekayaan spiritual yang mampu menjembatani antara iman dan kemanusiaan universal. Bagi Budhy, pluralisme bukan ancaman, melainkan anugerah yang memperkaya iman. Maka, mereka yang menjaga harmoni antar-iman sejatinya sedang menunaikan jihad kebangsaan: memperjuangkan keadilan sosial bagi semua tanpa melihat suku dan agama.
Nilai-nilai itu kini terus dihidupkan melalui program Moderasi Beragama yang digalakkan Kementerian Agama. Di banyak daerah, para tokoh lintas iman, guru, dan santri bersama-sama menanamkan sikap toleran dan damai dalam pendidikan serta ruang publik. Inilah wajah baru kepahlawanan yang membumi — berjuang dengan pikiran jernih dan hati yang lapang.
Komaruddin Hidayat dalam Psikologi Kebahagiaan (2016) mengingatkan, orang yang bahagia ialah mereka yang mampu hidup damai dengan dirinya dan lingkungannya. Kedamaian lahir dari kesediaan memahami perbedaan sebagai bagian dari rencana Ilahi. Bukankah Tuhan sendiri berfirman: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal” (QS. Al-Hujurât [49]: 13).
Ayat ini menegaskan bahwa perbedaan bukan sumber konflik, melainkan ruang untuk saling mengenal dan menebar manfaat. Di sinilah letak heroisme baru itu. Pahlawan masa kini bukan lagi mereka yang menggenggam senjata, tetapi yang menegakkan jembatan pengertian; bukan mereka yang menaklukkan musuh, melainkan yang menaklukkan ego dan kebencian.
Mereka bisa jadi seorang guru yang menanamkan nilai toleransi di ruang kelas, tokoh agama yang mengajak jamaahnya berempati kepada pemeluk lain, atau aktivis sosial yang melindungi hak minoritas agar tak tertindas oleh arus mayoritas.
Menjadi pahlawan moderasi adalah meneladani keberanian spiritual — berani berbeda tetapi tetap menghormati, berani menegur kebencian dengan kasih, dan berani berdiri di tengah ketika dunia terbelah oleh ekstremisme dan apatisme.
Dalam setiap langkah kecil menebar kebaikan, menolak ujaran kebencian, atau merangkul mereka yang tersisih, di sanalah api kepahlawanan itu menyala. Karena sejatinya, pahlawan moderasi tidak menunggu pangkat atau gelar; ia lahir dari hati yang yakin bahwa cinta, dialog, dan keadilan adalah jalan terbaik membela agama — dan kemanusiaan. (*)

