Rosadi Jamani | Penulis
- Ketua Satupena Kalbar
IA SANGAT GIGIH macam Bandung laut api. Berdebat dengan siapa saja, tak kenal takut. Semata-mata ingin membuktikan ijazah Jokowi 99,9%, palsu. Sekarang ia jadi tersangka. Bukannya takut, ia malah tersenyum. Dialah Roy Suryo. Simak narasinya sambil seruput Koptagul lagi, wak!
Kisah ijazah Jokowi kembali mengguncang semesta maya. Setelah ribut besar di televisi, debat tak berkesudahan di podcast, dan ocehan tanpa ujung di media sosial, kini panggung drama berpindah ke ruang sidang. Mereka yang selama ini menuduh ijazah Pakde palsu justru ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya. Sebuah plot twist yang absurd, di mana teori konspirasi akhirnya berhadapan dengan hukum, dan hukum kali ini tak sedang bercanda.
Ada delapan orang yang resmi ditetapkan tersangka. Mereka adalah Eggi Sudjana, Kurnia Tri Royani, Muhammad Rizal Fadillah, Rustam Effendi, Damai Hari Lubis (klaster 1), dan Roy Suryo, dr Tifa, Rismon Sianipar (klaster 2). Lima dari mereka bagian klaster penyebar narasi awal. Sementara tiga lainnya adalah figur publik yang memperkuat teori “ijazah palsu” yakni, Roy Suryo, dr. Tifa, Rismon. Polisi bilang, buktinya jelas, dokumen digital yang dimanipulasi, analisis tak ilmiah, dan opini yang berkembang jadi fitnah. Ada 130 saksi diperiksa, 20 ahli dari bidang pidana, IT, komunikasi sosial, sosiologi hukum, dan bahasa. Dengan ini, korp baju cokelat pede mentersangkakan Roy cs.
Namun sebagian netizen tetap kukuh, “Mereka bukan penyebar hoaks, mereka penegak kebenaran!” Sebagian lagi bilang, “Sokoor..!”
Menariknya, Roy Suryo tak tampak panik. Ia justru tersenyum. Saat wartawan bertanya tentang status tersangkanya, jawabannya santai, “Senyum saja.” Sebuah filosofi hidup baru di tengah pasal berlapis, tertawa adalah perlawanan paling damai terhadap dakwaan.
Dalam film komedi hukum ini, Roy seperti tokoh yang tahu, nasibnya sedang diadili tapi memilih tampil cool. Ia bahkan menyindir penegakan hukum yang timpang, membandingkan dirinya dengan buronan lain yang belum ditangkap. Kalimatnya lucu, tapi getir, karena di negeri ini, siapa yang paling sering muncul di TV, sering kali juga yang paling dulu dipanggil polisi.
Di sisi lain, Projo sebagai kelompok relawan pendukung Jokowi muncul bagai komentator di tribun hukum. Wakil Ketua Umum Projo, Freddy Alex Damanik, menyebut isu ijazah palsu sebagai “isu murahan” yang dibangun dari dokumen “pinggir jalan.” Ia menilai metode para penuduh tidak ilmiah, manipulatif, dan digerakkan demi kepentingan politik murahan. Freddy juga menambahkan, serangan terhadap Jokowi kini meluas hingga ke Gibran, putra Presiden, yang belakangan diterpa isu pemakzulan. Dalam Kongres III Projo di Jakarta, mereka menegaskan dukungan penuh terhadap langkah hukum yang diambil Presiden dan aparat penegak hukum. Menurut Projo, penetapan tersangka adalah bukti, hukum bekerja, dan fitnah digital tak bisa dibiarkan tumbuh liar. Mereka menegaskan, ijazah Jokowi telah diverifikasi sah oleh Universitas Gadjah Mada, bukan oleh warganet bermodal Zoom 200%. Katanya, gitu. Kata Roy tetap 99,9% palsu.
Sementara dr. Tifa, yang dulu rajin berkhotbah digital, kini tampak sunyi. Mungkin sedang berpuasa konten. Eggi Sudjana dan kawan-kawan pun mulai menurunkan tensi, menunggu proses hukum berjalan sambil berharap kamera infotainment tidak ikut merekam langkah mereka.
Polda Metro menegaskan, ijazah Jokowi asli. Tak ada yang aneh, kecuali cara berpikir sebagian orang. Mereka yang tak percaya dokumen resmi, tapi percaya screenshot buram di grup WhatsApp. Begitulah filsafat hukum zaman digital, kebenaran ditentukan bukan oleh bukti, tapi oleh siapa yang paling viral.
Ketika sidang nanti dimulai, suasananya pasti seperti reality show. Ada tawa, tangis, dan kamera yang tak pernah padam. Di akhir cerita, kita mungkin tak lagi tahu mana hukum, mana hiburan. Karena di negeri ini, antara pasal dan parodi cuma dibatasi satu hal sederhana, WiFi yang nyambung. (*)
#camanewak

