KENDARAAN kuhentikan di tepi jalan. "Ayo turun!"

"Ngapain ke sini?" Marv bertanya, tapi segera mengikutiku turun dari mobil.

Kami merunduk agar bisa melewati sebuah palang rusak yang membatasi jalanan dengan rel kereta api. Lokasi ini sangat dekat dengan stasiun. 

Baca dulu part 2 & 1, klik disini

Aku menggandeng Marv agar mendekat ke rel dengan jarak aman.

"Aku baru putus tapi nggak mau mati juga, Yve." 

Aku tertawa. Bersamaan dengan itu, sebuah kereta terlihat dari kejauhan. "Siap-siap, Marv!"

"What?!" Dia terlihat tak mengerti.

Begitu kepala kereta melintas, aku mulai berteriak. "Maaarrrvvv!!!"

Dia tertawa, lalu mengikutiku. "Yvanaaa!!!"

"Liliii!!!"

"Shittt!!!" Dia mulai mengumpat. Lalu aku mendengar dia meneriakkan serentetan umpatan terburuk sedunia. Untuk Lili dan kehidupan. Untuk Lili dan masa lalu yang akan ditinggalkan. 

Dia baru berhenti tepat saat ekor kereta melewati kami.

"Crazy!" Dia tertawa. "I feel better."

Aku ikut tertawa. Marv duduk di kerikil. Aku mengikutinya.

Saat kereta kedua tiba, kami berdiri dan melakukan hal yang sama lagi. Begitu pula saat kereta ketiga dan keempat datang. Lalu kurasa dia sudah mulai lelah berteriak.

"Enuff?" 

Dia mengangguk. Aku mengajaknya pulang.

**


[Home?]

Sebuah chat WA baru saja kubuka. Dari Marv.

[Udah. Barusan mandi.] Kukirim balasan.

[Rooftop, sini! Ngopi.]

Dia menyebutkan nama sebuah kafe yang letaknya memang di rooftop gedung kami.

[OK. A minute.]

Suasana masih terang saat aku keluar dari lift Rooftop, meski matahari sudah sangat condong ke barat. Marv terlihat duduk di meja pojok, menunduk pada sebuah buku di tangan. Aku segera menujunya setelah memesan satu frappuccino dan seporsi panzerotti.

"Hei!" Kugeser kursi di depannya saat pria ini mendongak.

"Udah pesen minum?" tanyanya, sambil meletakkan buku ke meja.

"Udah barusan."

Marv mengangguk tipis, lalu mengambil cangkir kopinya. "Syahdu, kan, jam segini suasananya?" Dia mencari persetujuan setelah sempat mengembuskan napas berat.

"Halah! Dasar kamunya aja yang lagi melo." Kukibaskan tangan ke depan wajahnya.

"Ck! Udah lewat masa melo-nya." Dia tertawa. "Kalo tadinya dia ngomong baik-baik, bukan selingkuh, bisa jadi aku sekarang masih melo. Tapi dia selingkuh. Hard to forgive this kinda mistake."

"Kalo ngomong baik-baik gimana maksudnya?"

"Ya ngomong. Sebelum dia mutusin pergi dari aku harusnya dia ngomong, dong, kurangnya aku apaan sampe layak ditinggalin." Dia tertawa miris.

"Kalo dia ngomong dulu, kamu justru bakal melo?"

Marv tertawa kecil. "Kalo dia ngomong, aku pasti usaha perbaiki kekuranganku, kan? Dan kalo dia masih pergi juga, even after i try to fix my self, berarti aku nggak sesuai harapan dia. Pasti sedih kan?" Pria ini menatapku dengan mata menyipit.

Aku mengangguk membenarkan.

"But in fact, dia selingkuh. Itu aku nggak bisa maafin. Itu pengkhianatan."

Aku mengangguk lagi, lalu teringat sesuatu. "Cowok barunya Lili itu temen kerjanya dia?"

"Bukan."

"Kamu pernah ketemu?"

"Pernah liat sekilas. Malam waktu dia mutusin aku, dia pulang dijemput cowok itu."

"Oh, you know what, cowok itu sekilas mirip kamu, lho. Menurutku, Lili nggak sepenuhnya bisa lupain kamu."

"Atau memang seleranya dia yang kayak aku." Marv tertawa keras.

Frappuccino dan panzerotti-ku datang. Aku menyesap kopi dingin itu pelan sebelum menyetujui pernyataan Marv. "That's exactly what i mean. Bisa aja suatu saat nanti dia minta balikan sama kamu."

Marv ngakak lagi. "Gila kali!"

"Who knows, kan? Kalo bener, what you gonna do?"

"Tebak!"

"Terima?"

"Ah, kamu nggak paham point obrolan kita sore ini." Marv melempar wajah ke kiri.

Aku tertawa. "Bukan nggak paham. Tapi kalian pacaran dua tahun, Bro! Dua tahun. Itu tuh lama, lho."

Marv mengangguk beberapa kali. "Dan berakhir dengan sangat buruk. Itu alasan yang cukup buat ngelupain dia. Immediately." Laki-laki ini menyesap kopinya lagi.

Aku menertawakannya. "Yakin? Kalian masih banyak banget kesempatan ketemu di tempat kerja. Kalo kamu mau, masih ada waktu buat perbaiki semuanya. Kalian udah dua taun bareng. Nggak mungkin selesai gitu aja, 'kan?"

"Kamu ngerti nggak sakitnya diselingkuhin?" Dia balik bertanya dengan mata menyipit.

Aku paham dia tak ingin memperpanjang pembicaraan mengenai Lili. "Panzerotti?" Kuangkat camilan khas Italia yang bentuknya mirip pastel tapi rasanya 'pizza banget' itu, kutawari dia sambil tertawa.

"You kidding me?" Dia memutar mata. Marv memang sangat menjaga badan untuk performance-nya di layar kaca. Kutebak, kopi di hadapannya itu pun tanpa gula.

**

"Good morning!" Aku meneleponnya lagi pagi ini. "Breakfast?"

Dia akan segera muncul setelahnya. Sudah dua bulan berlalu sejak hari kami menyumpahi kereta. Jika Marv tidak sedang keluar kota, kami selalu sarapan bersama. Entahlah, mungkin rasa keibuanku yang penuh kasih--halahhh!--membuatku tak mampu mengabaikan pria itu.

Baca juga Cerpen: Lebih Baik Berbagi Cinta Ketimbang...

Ada saat-saat Marv masih terlihat rapuh dengan perselingkuhan dan perpisahannya dengan Lili. Meski untuk sekarang kurasa dia sudah sangat jauh dari hal-hal mengenai perempuan itu. Sudah sangat jauh. Obrolan kami sudah bukan tentang dia lagi. 

Beberapa kali Marv sudah sempat ke luar negeri lagi untuk The Journey. Dengan terus terang pria itu mengatakan bahwa sekarang dia hanya punya aku. Orang pertama yang akan dia hubungi saat dia sampai lokasi. Orang yang akan dia hubungi saat dia berangkat tidur. 

Well, sebenarnya saat  dia masih bersama Lili pun komunikasi kami sudah sangat intens. Sekarang lebih. Hanya aku tempatnya berbagi dan berkeluh-kesah. Aku tak pernah menolaknya saat sedih maupun bahagia. Kami bersahabat sudah sejak lama.

"Yve." Wajahnya terlihat serius pagi ini.

"Hmmm?" Aku duduk di depannya, sibuk mengunyah oat dingin dengan topping strawberry yang kubekukan sejak semalam.

"Kamu ... mau nggak kalo tiap pagi sarapan sama aku?" 

**

#tunggu sambungannya pada hari berikut








 
Top