MARV datang dari keluarga sederhana. Usia delapan tahun, dia kehilangan kedua orang tua dalam sebuah kecelakaan mobil yang kemudian menjungkirbalikkan hidupnya. Sejak itu, Marv hidup hanya berdua dengan sang nenek, yang juga telah meninggalkannya setahun lalu. Semangat dan kesungguhannya yang mengantar pria keras kepala itu hingga sampai di titik ini. 

Kuliah S1-nya di Australia, mengambil jurusan Hubungan Internasional dengan beasiswa. Sampai saat ini dia masih ingin melanjutkan kuliah lagi, tapi pekerjaan di The Journey membuatnya menunda pendidikan. Menurutku, pencapaian laki-laki ini luar biasa.

Aku mengenalnya karena pintu unit kami tepat berhadapan. Hobi yang sama, nge-gym, semakin mendekatkan kami sebagai teman. 

Aku mengenal Lili sepintas saja. Dia bekerja di stasiun TV yang saat ini mempekerjakan Marv sebagai host The Journey. Marv pernah mengatakan padaku bahwa Lili adalah salah satu staf di bawah Program Director. Entah sebagai apa. Yang jelas, jika saat ini mereka putus pun, kesempatan untuk bertemu kembali masih banyak. Masih ada waktu untuk memperbaiki hubungan mereka.

Aku dan Lili beberapa kali bertemu saat Marv mengajaknya ke gedung kami. Lili lebih banyak kudengar dari cerita-cerita Marv tentangnya. Impian-impian pria itu tentang pernikahan dan keluarga bahagia, selalu bermula dari Lili.

Aku mendukung hubungan mereka sepenuh hati. Hingga beberapa minggu terakhir aku berkali-kali melihat Lili bersama dengan laki-laki lain, saat Marv di luar kota. Tanpa sengaja berada di tempat makan yang sama, atau berbelanja di tempat yang sama, tapi tak pernah berkesempatan menyapa. 

Kemudian empat hari yang lalu, aku ingat betul, aku berada di tempat pencucian mobil. Setelah menyerahkan kunci mobil pada karyawan, aku bermaksud mencari tempat duduk sekadar untuk membaca buku selama menunggu. Aku sudah akan mengenyakkan pantat di salah satu kursi tunggu, saat pandangan menumbuk sepasang manusia--Lili dan seorang pria entah siapa--di balik dinding kaca kafe yang berada di sisi bangunan.

Aku urung duduk di kursi tunggu. Kuputuskan untuk menghampiri Lili sekali ini. Aku masuk ke kafe, lalu mendekati mejanya.

"Lili?" Semoga ekspresi pura-pura kagetku tak terlihat palsu.

Lili terperangah menatapku. Dengan segera dia berdiri menyambut. Entah bagaimana, tapi aku yakin betul senyum yang kulihat saat itu adalah sebuah keterpaksaan. "Yvana ...!" teriaknya.

Aku mengangguk pada pria di depan Lili yang tersenyum ceria ke arahku. Lili mengenalkannya sebagai teman kerja. Aku tak memperpanjang pertemuan kami, lalu segera beranjak menuju sebuah meja kosong yang cukup jauh dari mereka. Dari tempat dudukku, dapat kulihat gerak-gerik si pria yang menyiratkan hubungan mereka lebih dari sekadar teman.

Pria itu bermata sipit. Sekilas, postur tubuhnya mirip dengan Marv. Bahkan warna kulit dan rambutnya. Mungkin memang laki-laki dengan ciri fisik seperti Marv-lah yang disukai Lili.

**

Sudah dua hari ini Marv pulang. Setiap melihatnya, aku kebingungan memilih kalimat untuk memberitahu mengenai kecurigaanku pada Lili. Akhirnya, tak pernah ada pernyataan apa pun yang kukeluarkan, hingga semalam Marv mendengar dari Lili sendiri.

Kepala di bahuku bergerak perlahan. Sudah hampir dua puluh menit kami duduk di sofa. 

"Marv." Aku memanggilnya pelan.

"Hmmm." Dia sudah bangun.

"Bangun." 

"Aku nggak tidur."

"Helehhh." Aku mendorong kepalanya yang masih di bahuku. "Mendingan sarapan. Ayo!"

Dia mengembuskan napas dengan keras. Aku bangkit mendahuluinya.

"Nggak laper," rengeknya, setelah beberapa langkah aku berjalan.

"Ck!" Langkahku terhenti. Aku berbalik. "Nggak usah manja! Ayo cepetan!"

Dia mengerang tapi menyusulku juga. 

Marv duduk di kursi makan. Melipat tangan, matanya menumbuk meja. 

Aku membuatkan secangkir kopi untuknya. "Roti?" tawarku.

Dia menggeleng, menatapku sekilas.

"Omelet?"

Dia menggeleng lagi. "Kopi aja." Pria itu menenggelamkan wajah ke lipatan tangannya.

Secangkir kopi kuletakkan tepat di depannya. Lalu sebuah apel kuambil dari kulkas, kupotong menjadi empat bagian.

"Marv ...." Aku duduk di depannya, meletakkan sepiring-kecil apel tepat di samping cangkir kopi yang asapnya masih mengepul. "Jangan nggak makan."

Marv menegakkan kepala, memandang cangkir kopi dan piring apel di hadapan. Aku melihat jakunnya bergerak beberapa kali, seperti kesulitan menelan sesuatu.

"Sedih?" Ah, sungguh pertanyaan yang tak perlu kutanyakan.

Dia masih menatap cangkir kopi itu. Lalu menggeleng mantap. "Kesel," katanya, sambil menggenggam gagang cangkir, lalu mengangkatnya dengan kedua tangan. Pria bermata sipit itu menyesap kopinya perlahan, lalu meletakkan cangkir kembali ke meja. "It's been two years."

Baca juga: GUD MORNING, BREAKFAST! (Part 1)

Marv selalu membanggakan Lili. Dari cerita-ceritanya, aku tahu Marv sangat menyayangi perempuan itu. Mimpi-mimpi tentang membangun masa depan bersama, seperti menggantung jelas di depan matanya saat sedang berapi-api berbagi cerita denganku. Sekarang mimpi itu kandas.

"Jodohmu nanti lebih baik dari dia." Aku menatapnya.

"Nanti kapan? Aku udah 32."

"Baru 32."

Dia tertawa. Lalu mengembuskan napas dengan sengaja. "Aku pengen punya anak sebelum tua. Aku pengen masih ada, masih kuat kalo suatu saat mereka butuh dukunganku; tenaga, pikiran, or even financial aid."

Aku diam saja.

"Kamu nggak mikir ke sana?" tanyanya. "Siapa itu namanya yang sebelum Yudha?" Dia menanyakan mantan pacarku.

"Alfan."

"Tajir gila," katanya, menatapku sambil geleng-geleng kepala.

"Bukan cuma duit yang cewek pikirin buat ngelanjutin hubungan." Aku memutar mata tanpa sengaja.

Marv tertawa. "Kalo Yudha? Itu baru bentar banget juga, kan?"

Aku mengangguk. "Sekitar dua bulan."

"Kenapa putus? Baru juga dua bulan." Setiap aku putus dengan seseorang, Marv memang tidak pernah menuntut cerita apa pun. Dia menganggap itu keputusanku. Dia hanya akan menyiapkan telinga untuk hal-hal yang ingin kuceritakan, dan membiarkanku menyimpan yang ingin kusimpan.

"Nggak nyaman aja sama dia." Aku menjawab praktis.

"Nggak nyaman? Dia nggak ada salah apa gitu?" Marv melipat dahi.

"Nggak ada. Ya emang nggak nyaman aja."

"Kalian cewek sama aja." Marv tertawa miris. "Nggak nyaman, terus pergi."

Aku ikut tertawa. "Perasaan mantan-mantanku ke aku mungkin sama kayak perasaanmu ke Lili."

Marv memalingkan wajah. "Ck!"

"Bedanya ...." Aku mengambil dagunya agar kembali menghadapku. "Aku nggak selingkuh. Aku nggak ngegantung mereka. Selesai sama yang satu, baru mulai sama yang lain. Dan, kalo ngerasa nggak nyaman, aku nggak berlama-lama stay di dalam suatu hubungan."

Marv mengangguk. "What are you looking for, actually?"

Aku melepas dagunya. "Kenyamanan. Happiness. Seseorang yang bikin aku ngerasa 'he's the one'. Ngerti nggak, sih?"

"Sama aku, kamu nyaman nggak?" 

Aku ngakak. Tapi lalu berhenti setelah menyadari bahwa aku memang nyaman bersama Marv. Tentu saja sebagai teman. Setidaknya kupikir demikian. "Iya."

"Happy nggak kalo lagi sama aku?"

Aku menelengkan kepala. "Happy, lah." 

"Jangan-jangan aku jodohmu," ujarnya dengan ekspresi tak peduli.

Aku ngakak sambil menoyor kepalanya. "Jangan gila!" 

Marv memutar mata, lalu kembali menyesap kopinya.

"Abisin, nih!" Piring apel itu kusodorkan padanya. "Abis itu ikut aku."

**

#tunggu sambungannya pada hari berikut






 
Top