"YVE." Wajahnya terlihat serius pagi ini.

"Hmmm?" Aku duduk di depannya, sibuk mengunyah oat dingin dengan topping strawberry yang kubekukan sejak semalam.

"Kamu ... mau nggak kalo tiap pagi sarapan sama aku?" 

Aku memundurkan leher. "Kan tiap hari juga sarapan sama kamu." Kurasa dia berhasil membuat dahiku berkerut.

"I mean forever." Dia menatap tepat ke mataku.

Aku menghentikan kunyahan, menelengkan kepala, dan berhasil menyipitkan mata ke arahnya. "Marv?"

Pria di hadapan menunduk sejenak, membasahi bibir, lalu kembali menatapku. "Marry me, will ya?"

Aku ternganga. Kurasa jantungku berdetak lebih kencang saat segulung ingatan tiba-tiba melintas tanpa permisi. Kebersamaan kami selama beberapa tahun terakhir; komunikasi kami yang bahkan jauh lebih intens dibanding komunikasi dengan pacar masing-masing; hari-hari burukku yang selalu membaik setelah aku membuat Marv duduk diam mendengarkanku seharian; kebahagiaan dan kenyamanan yang kudapat saat bersamanya. 

== So, belum baca Part 3 nya ya? Klik ini aja ya broer/sist?

Apakah sesungguhnya memang sedekat ini 'the one' yang selama ini aku cari?

Aku masih memandang pria di hadapan yang menatapku tajam. Tak tahu apa yang terjadi di dadaku, tapi seperti ada gemuruh yang menyentak kesadaran. 

Tanpa sadar, aku sudah menangis. 

Marv berpindah duduk di sampingku, memegang tanganku. "Yve, kalo jawabannya enggak, aku nggak apa-apa. Jangan nangis ...." Bodohnya, dia sendiri juga berkaca-kaca saat mengatakannya. Selama bersama, tak pernah kulihat pria ini mengeluarkan air mata. Bahkan saat menceritakan hal paling menyedihkan pun dia terlihat tegar.

"Yve, if it's no, aku nggak mak--"

"It's yes." Aku mengatakannya terburu-buru.

Marv diam menatapku. Aku melihat air matanya yang segera menggenang.

"It's yes, Marv." Aku mengulang dengan tangis yang sudah tak bisa kutahan.

Marv masih memegangi tanganku, menggigit bibir bawahnya dengan dahi berkerut menahan tangis. Dia menyusut hidung, berusaha tersenyum. "Thank you." Laki-laki ini menghambur ke pelukku. "Thank you." Dia mengucapkannya lagi.

**

Ayah dan Abang--yang saat berkunjung ke unitku selalu menjadi teman main catur Marv--terlihat tak begitu kaget ketika aku membawa Marv pulang. Marv melamarku di depan mereka berdua, keluargaku yang tersisa.

"Aku nggak nyangka kamu butuh waktu lama buat nyadar kalo kalian sebenernya nggak bisa hidup satu sama lain." Aku mendengar Abang berbicara pada Marv, di teras. 

Abang sudah berkeluarga. Tinggal bersama istri dan anaknya tak jauh dari rumah Ayah. Abang dan Marv cukup akrab sebenarnya, karena Abang sering menginap di unitku untuk urusan pekerjaannya sebagai dokter forensik, jika ada kasus yang harus dia tangani di rumah sakit internasional tempatku bekerja sebagai healthcare administrator.

Marv tertawa. "Nggak telat tapi kan?"

"Dikit." Abang ikut tertawa.

Aku mengintip dua pria itu dari balik kaca jendela ruang tamu.

"Ngapain ngintip di situ?" Ayah berjalan menuju teras, tertawa sambil menegurku dengan keras.

Mendadak aku terpaku. Lucu saat aku merasa malu mendengar Marv berbicara dengan Abang mengenai aku, padahal aku terbiasa dengan keberadaan Marv. Bersamanya hampir setiap hari. Melewatkan entah berapa akhir minggu di depan TV menonton film-film horor yang justru kami tertawakan saat hantunya muncul. 

Sekarang perasaan ini timbul. Entah apa namanya. 

"Ayo ikut duduk!" Ayah mengajakku ke teras.

Aku menurut sambil mengutuk diri sendiri karena bertingkah tak wajar saat melihat Marv tersenyum lebar menatapku sejak aku muncul dari pintu. 

Itu Marv, Yve! Itu Marv! Itu Marv yang biasanya! Bukan orang lain! Kamu ini kenapa?!

Ada dentam-dentam mengerikan di dadaku--tidak, maksudku, di sekujur tubuhku--mengiringi langkah kaki ini menuju kursi teras. Tersisa dua kursi kosong di sana. Satu di depan Marv, satu lagi di sampingnya. Ayah yang tadi menggandengku, memilih duduk di samping Marv. Itu artinya aku duduk di samping Abang, tepat menghadap Marv. 

Sungguh keparat! Apa-apaan perasaan ini!

Marv masih tak berhenti menatapku. Sialan! Aku salah tingkah.

"Kamu kenapa, Yve?" Abang tertawa menyebalkan. Dia pasti tahu aku grogi setengah mati.

"Nggak apa-apa." Aku berusaha meredakan debar di dada, menjawab dengan intonasi yang paling biasa. "Kenapa emang?"

"Kok grogi gitu keliatannya?" Abaaanggg!

Marv yang tadi tersenyum lebar, sekarang terlihat mengulum kedua bibir, masih sambil tersenyum. Aku merasa dia mengolok-olokku dari pandangan matanya. Ah!

"Kamu pengen nikahan kita ntar kek gimana, Yve?" Marv memulai. Dia menyebutkan nama sebuah hotel untuk pelaksanaan resepsi.

"Enggak." Mendadak aku merasa ngeri membayangkan wajah kami yang kemungkinan besar akan menghiasi berita infotainment jika resepsi benar-benar digelar.

Marv sedikit menarik diri. Mungkin terkejut mendengar penolakanku.

"Aku nggak mau ada liputan, Marv. Keluarga aja, bisa kan?"

"Tapi aku pengen publik tau kalo aku udah nikah." Marv memperbaiki posisi duduknya. "Temen-temen The Journey juga masa nggak diundang?"

Aku ragu. Kupalingkan wajah pada Ayah.

"Ayah setuju kalian bikin resepsi kecil. Lebih baik orang tau, daripada dikira kumpul kebo." 

"Tapi cuma keluarga sama temen deket aja." Aku kembali menatap Marv.

Pria itu tersenyum. Membuat hatiku rontok. "Agree."

Kurasa Ayah dan Abang juga sepakat. Mereka mengangguk saja saat kami membahasnya lebih lanjut.

"Oh, ntar kalo udah nikah, kamu tinggal di unit Yve aja." Ayah menatap Marv. "Kalo udah nikah lho, ya."

Marv dan Abang tertawa.

"Sebelum itu, jangan!" Ayah juga ikut tertawa. "Punya Marv disewain kan bisa."

Tidak seperti Marv yang mengusahakan seluruh hidupnya sendiri, mobil dan unit apartemen milikku adalah fasilitas dari Ayah.

**

Hanya ada waktu sebulan untuk kami menyiapkan segala perintilan pernikahan.  Cukup bagi kami, sebab memang aku memaksa pernikahan dilaksanakan di gedung kecil dekat rumah, untuk menghindari eksposure berlebihan. Wedding Organizer kecil kami pilih untuk mengatur segala sesuatu agar pekerjaan kami tak terganggu dengan persiapan ini.

Sementara menunggu kesiapan berkas pernikahan, kami kembali ke apartemen. Aku baru saja menuang jus semangka ke dalam dua jar bening, lalu membawa keduanya menuju meja TV. Marv ada di sana, duduk bersila di sofa, menonton sebuah film komedi. Tepat seperti akhir minggu biasanya.

"Marv." Kusodorkan jar di tangan kanan ke hadapannya.

Marv segera menyambut. "Thanks." Separuh jar cairan berwarna kemerahan itu menghilang dalam sekali minum.

Aku ikut duduk di sampingnya. Memperhatikannya menaruh jar ke meja. Pikiranku melayang-layang, menelaah kembali keputusan kami untuk menikah. Benarkah aku mencintai pria ini? Atau hanya rasa nyaman sebagai teman? Rasa terima kasih karena sudi mendengarkan segala keluhan? Atau apa?

"Gitu amat ngliatinnya?" Dia tertawa.

Aku baru sadar bahwa sejak tadi aku terus menatapnya. "Marv ...."

"Hmmm?"

"Menurutmu, keputusan kita bener nggak, sih?"

"Keputusan apa?"

"Nikah."

Marv menurunkan volume TV. "Kamu ragu-ragu?" tanyanya serius.

"Kamu cinta aku, Marv? Atau cuma pengen sarapan bareng seumur hidup aja?"

**

#theEnd





 
Top