PRIA yang hanya empat tahun lebih tua dariku itu kupandangi. Tidurnya terlihat damai--meski hanya di sofa--membuatku setengah tak tega untuk membangunkannya. 

"Marv!" Tak urung, kutepuk juga lengannya. "Marv! Bangun!"

Dia tak bereaksi sama sekali. 

Dini hari tadi dia menelepon dari lobi gedung kami, minta dijemput. Aku segera turun. Marv meracau dalam keadaan setengah sadar, entah benar atau tidak, mengatakan bahwa dia tak bisa menemukan kartu akses unitnya yang pintunya tepat berada di depan pintuku.

Aku membawanya naik. Unit kami di lantai sembilan.

"Numpang tidur." Tanpa menunggu persetujuanku, dia segera masuk lalu melemparkan diri ke sofa. Jam dua dini hari saat itu. 

"Where've you been? (Dari mana kamu?)" Aku membantunya melepas jas hitam dan dasi yang dipakainya. Dia tadi berdandan rapi sekali. 

"Shhh! Diem." Matanya memejam, lalu ambruk dengan badan tepat mengisi sofa, sementara kedua kakinya masih menjuntai di lantai. What a mess!

Rasa kasihan cukup untuk menggerakkan tanganku melepas kedua sepatu hitam mengkilat yang dikenakannya. Kemudian kuangkat kedua kaki berat itu agar naik ke sofa. Ngerepotin banget manusia ini.

"Marv! Bangun, wey! Udah siang inih." Kuguncang lengannya beberapa kali.

Dia mengerang sejenak. Lalu tidur lagi. Ck!

"Marv!" Aku memanggil tepat di telinganya.

Mata pria ini terbelalak. Lalu seketika meredup setelah melihat wajahku. "Ngantuk."

"Aku tinggal ke gym." 

Dia mengangguk dua kali dengan mata tertutup.

"Kalo mau sarapan, di meja ada."

Dia mengangguk lagi. "Thanks." Pria ini memperbaiki posisi tidurnya, lalu napasnya kembali tenang. Molor lagi dia. Astagaaa!

**

Gilingan ni orang! Ditinggal hampir dua jam, masih merem juga. "Kebakaran, woy! Kebakaran!" Kulancarkan trik klasik yang aku sendiri tak begitu yakin akan mampu membangunkan kebo satu ini.

Tapi aku salah. Marv tiba-tiba berdiri dengan panik. "Mana?! Mana yang kebakaran?!" Dia mondar-mandir menatap sekeliling.

"Jenggot kamu tuh yang kebakaran," ujarku tak peduli.

Pria ini berdiri dengan tegang, tertegun sejenak, lalu menjatuhkan diri di sofa lagi. Dia duduk memegangi kepala. "Pusing."

"Dari mana, sih, semalem?" Aku merogoh kantung jasnya yang tersampir di sandaran sofa. Kartu mirip ATM itu teraba di kantung sebelah kanan.

"Nikahan temen." Marv menjatuhkan kepala ke sandaran sofa.

"Nih!" Kartu akses dari kantung kanan itu kusodorkan padanya. "Pulang sana!"

Dia mengangkat alis. "Di mana itu tadi?" Marv meraih kartunya.

"Saku jas." Aku duduk di sampingnya. "Semalem minum? Kayak orang nggak waras kamu."

Dia mengangguk.

Aku memiringkan kepala, menatapnya. Kurasa dia tahu maksudku.

"Lili minta putus." 

Aku memutar mata. "Yaudah, sih. Cewek kek gitu masih aja diarepin."

"Maksudnya?" Dia menghadapkan badan ke arahku.

Ups! Keceplosan. Tapi telanjur. "Aku beberapa kali ngliat dia jalan sama cowok."

Marv masih menatapku. Sekarang kedua alisnya terangkat.

Aku menunduk, memainkan jari. "Ya aku pikir mungkin itu temen kantornya, lah. Orangnya sama terus juga." Kuberanikan diri menatapnya. "Bisa aja, kan?"

"Ck!" Dia bangkit, meraih jasnya lalu berjalan menuju pintu.

Aku mengikutinya. "Marv ...."

Pria ini membuka pintu. Aku mengambil kartu akses dari dudukan, lalu membuntuti Marv memasuki unitnya. Dia hanya berpindah sofa. Aku ikut duduk lagi di sampingnya.

"Plislah ..." Aku menghadapnya. "Kalo kemaren-kemaren aku ngasih tau kamu kan artinya aku tukang ngadu. Padahal aku nggak ngerti cowok itu siapa."

Dia melirikku dengan wajah sebal. "Aku nggak bakalan langsung ngamuk juga kan kalo kamu kasih tau? Klarifikasi dulu pasti, kan? Tapi kalo kayak gini aku jadi ngerasa kayak manusia paling bego sedunia." Dia kembali melempar kepala ke sandaran sofa. "Lili mutusin aku karena ada cowok lain yang selalu ada buat dia. Nggak kayak aku."

Marv memang banyak berada di luar daerah--bahkan kadang di luar negeri--karena pekerjaannya sebagai salah satu host The Journey, sebuah program milik stasiun televisi swasta yang menayangkan perjalanan ke berbagai destinasi wisata alam. Mirip acara adventure yang ada di stasiun TV sebelah. Marv menjadi presenter acara The Journey bergantian dengan beberapa host lain.

"Tapi pas kalian jadian kan kamu udah di The Journey?!" Aku bertanya setengah menuntut.

Marv mengangguk lemah. "Itu juga yang jadi masalah."

"Apaan?"

"Dia nggak suka terekspos kamera." Pria ini menautkan kedua tangan di belakang kepala. Mendongak menatap langit-langit.

Aku mengembuskan napas kasar. "Kan emang ada orang yang nggak suka terekspos gitu." Sengaja kuberi jeda. "Kayak aku aja. Aku juga nggak nyaman di depan kamera."

Marv menatapku. "Tapi aku bisa kok misahin kehidupan pribadi sama kerjaan. Selama ini publik nggak tau tentang Lili, kan?"

"Ya tapi sampe kapan bisa kek gitu? Baru pacaran mungkin masih bisa. Kalo udah nikah? Nggak mungkin sembunyi juga kan?" ujarku, mencoba menyelami perasaan Lili.

Marv diam. Menerawang, entah memikirkan apa.

"Aku kerja, nabung, biar bisa ngelamar dia dengan layak. Menikah, punya anak, bisa ngasih apa pun yang keluargaku nanti mau." Matanya mulai berkaca-kaca. "Karena dari kecil nggak ada orang tua yang bisa kasih yang aku mau. Semua aku usahain sendiri. Aku pengen keluargaku nanti, anak-anakku nanti, nggak ngerasain yang pernah aku alami."

Aku menggenggam tangannya. "She doesn't deserve you. (Dia nggak pantes dapetin kamu.)"

"Atau sebaliknya?" Dia menatapku, tersenyum menyedihkan.

"No. You're worthy. (Enggak. Kamu tuh berharga.)" Aku mengucapkannya dengan sungguh-sungguh.

Pria ini meletakkan kepala di bahuku. "Jangan ke mana-mana!" katanya, sambil menutup mata.

Aku membiarkannya.

**

#tunggu sambungannya pada hari berikut








 
Top