Oleh: Djumriah Lina Johan#


NAMPAKNYA gaung benci produk luar negeri hanya retorika semata. Sebab, keran impor hingga kini terus dibuka tanpa melihat secara menyeluruh realitas kebutuhan rakyat.

Sebagaimana diketahui, pemerintah telah memutuskan impor garam tahun ini dalam rapat Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi beberapa waktu lalu.

"Impor garam sudah diputuskan melalui rapat Menko (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian)," kata Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono di Indramayu pada Minggu (14/3/21), seperti dikutip dari Antara.

Menurut Trenggono, pemerintah saat ini masih menunggu data terkait kebutuhan garam di Indonesia. Ketika ada kekurangan pasokan, pemerintah bakal menutupnya dengan impor. (CNNIndonesia.com, Senin, 15/3/2021)

Pada saat yang sama, Trenggono mendapati puluhan ribu ton garam produksi petambak lokal masih tersimpan di gudang.

Saat peninjauan unit pengolahan garam di Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu saja, Menteri KP mendapati ada 37.000 ton garam sisa produksi tahun lalu yang masih tersimpan di gudang. (Kumparan.com, 15/3/2021)

Keputusan Pemerintah Indonesia untuk kembali mengimpor garam pada tahun 2021 pun membuat para petani dan buruh angkut garam di pesisir Pantai Utara Demak merasa terancam mata pencariannya.

Muhsin (72), petani garam asal Dusun Menco, Desa Berahan Wetan, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, saat diwawancarai Kompas.com, Senin (15/3/2021), mengungkapkan, dari hari ke hari proses produksi garam makin terasa memberatkan akibat harga garam lokal yang terus merosot tajam.

Menurutnya, penurunan harga jual kristal asin tersebut salah satunya dimungkinkan karena adanya garam impor yang terus masuk ke Indonesia, ditambah lagi adanya pandemi Covid-19.

Muhsin yang ditemui saat mengeringkan lahan tambak sebagai tahap  awal pembuatan garam mengatakan saat ini di gudang miliknya masih ada timbunan garam sebanyak 2.000 sak. Ribuan kantong garam tersebut sudah menghuni tempat penyimpanan sejak tiga tahun silam. (Kompas.com, Selasa, 16/3/2021)

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Senin (15/3/2021), realisasi impor garam Indonesia sepanjang 2020 mencapai 2,61 juta ton dengan nilai mencapai US$94,55 juta. Secara volume kebutuhan itu meningkat dibanding realisasi impor pada 2019.

Pada 2019, secara volume impor garam Indonesia mencapai 2,59 juta ton dengan nilai US$95,52 juta. Pada 2018 adalah yang tertinggi yakni mencapai 2,84 juta ton atau senilai dengan US$90,65 juta.

Sepanjang Januari-Februari 2021 ini saja, Indonesia tercatat masih melakukan impor garam dengan volume mencapai 80.200 ton atau setara dengan US$2,61 juta. Realisasi tersebut lebih kecil dibandingkan dengan realisasi impor Januari-Februari 2020 yang mencapai 123.760 ton.

Jika melihat dari potensi garis pantai sepanjang 95.181 kilometer dan menjadi yang terpanjang kedua di dunia, Indonesia bisa swasembada garam jika mau. Namun selama ini dianggap terhalang oleh aturan pemerintah sendiri.

"Petambak garam mampu memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahkan produksi untuk keperluan industri. Fakta yang terjadi adalah petambak garam nasional dikalahkan oleh kebijakan pemerintahnya sendiri," kata Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim. (Solopos.com, Selasa, 16/3/2021)

Problem menahun karut-marut pengelolaan garam menunjukkan negara tidak memiliki manajemen masalah yang benar. Jangankan berkurang, justru problemnya makin kompleks. Mulai dari produksi yang makin menurun karena luasan tambak yang menyusut, teknologi pengolahan yang telah tertinggal, hingga problem logistik transportasi yang makin membebani petani. Ini semua berpengaruh terhadap kapasitas produksi, kuantitas, dan kualitas. Kondisi ini diperparah dengan serbuan garam impor.

Beginilah potret petani garam lokal dalam sistem neoliberal kapitalisme yang tidak berbeda jauh dengan nasib para petani kecil di sektor lain. Alih-alih peningkatan kesejahteraan, justru nasib mereka makin memburuk dan bertambah miskin.

Bahkan tak sedikit yang beralih profesi dan membiarkan tambak-tambak garamnya terbengkalai. Sementara rezim ini makin bergantung pada impor untuk pemenuhan kebutuhan pangan.

Peran pemerintah tak lebih sebatas regulator dan fasilitator, yaitu pembuat regulasi (bagi kemudahan masuknya korporasi). Bahkan sangat tampak keberpihakan yang begitu besar pada korporasi, sedang nasib rakyatnya sendiri diabaikan.

Berbagai fasilitas seperti kemudahan perizinan dan pajak tak jarang diberikan. Termasuk impor pun diserahkan kepada korporasi importir yang makin leluasa melakukan pengendalian stok dan harga garam.

Di lain pihak, dukungan, fasilitas ataupun bantuan kepada petani lokal sangatlah minim. Baik dalam permodalan atau pengadaan teknologi untuk peningkatan kapasitas produksi mereka.

Kelalaian negara di seluruh rantai pengelolaan garam inilah yang menjadi penyebab utama kekarut-marutan dan tidak pernah selesainya masalah. Kebijakan-kebijakan teknis yang diambil tampak sekadar lips service untuk menggolkan program semata. Bahkan bukan rahasia lagi, para pejabat pun turut mengambil keuntungan pribadi dari celah-celah bisnis besar ini.

Padahal negeri ini dianugerahi Allah Subhanahu Waata'ala kekayaan alam yang berlimpah termasuk potensi bibir pantai yang sangat panjang sekitar 99.093 km dan gunung-gunung garam. Serta iklim tropis yang juga sangat mendukung. Semestinya menjadi modal untuk mewujudkan kedaulatan dalam pemenuhan garam serta membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Dalam pandangan Islam, untuk mewujudkan pengaturan yang ideal  mutlak dijalankan oleh negara yang berlandaskan pada konstitusi Islam. Kunci keidealan tersebut terletak pada keagungan Syariat Islam itu sendiri, serta fungsi negara sebagai pengurus dan pelindung rakyat.

Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Imam (Khalifah) raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggungjawab terhadap rakyatnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Dan dalam hadis lainnya Rasulullah menegaskan, “Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang dibelakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim).

Berpijak pada nas ini, maka negara harus hadir secara utuh dalam mengurusi kebutuhan pangan rakyat termasuk pengaturan garam. Mulai dari pengaturan di ranah produksi, distribusi hingga konsumsi. Keberpihakan dan pengurusan negara haruslah 100% untuk melayani hajat seluruh rakyatnya.

Karenanya negara akan mengatur sektor produksi sehingga terjamin pemenuhan kebutuhan dalam negeri tanpa bergantung impor serta berdampak pula pada kesejahteraan petaninya. Di antaranya negara Islam mendorong para petani untuk maksimal meningkatkan produksinya.

Dukungan akan diberikan mulai dari edukasi dan pengetahuan, pengembangan teknologi, bantuan modal dan sarana produksi bagi petani yang tidak mampu, termasuk infrastruktur pendukung lainnya.

Sementara di aspek distribusi, negara akan melakukan pengawasan secara terus-menerus agar terbentuknya keseimbangan harga secara alami. Di samping itu akan menghilangkan semua kondisi dan pihak-pihak yang menyebabkan harga terdistorsi seperti pelaku kartel, atau penimbunan stok oleh distributor besar.

Negara Islam tidak akan melakukan intervensi harga dengan penetapan HET atau HPP karena bertentangan dengan syariat Islam dan berpotensi menimbulkan black market. Hal ini disertai dengan penegakan hukum sanksi yang jelas dan tegas.

Ketika negara hadir secara utuh untuk mengurusi dan melindungi rakyatnya, tidak akan terjadi kooptasi dan penguasaan hajat rakyat oleh pihak lain yang mengejar keuntungannya sendiri. Bahkan rakyat akan terlindungi oleh korporasi-korporasi serakah yang ingin mengeksploitasi seluruh sumber daya alam negeri ini.

Sudah saatnya negeri ini kembali pada Syariah Kafah yang berasal dari wahyu Allah. Hanya itulah satu-satunya jaminan akan terselesaikannya seluruh persoalan dan krisis. 

Bahkan dengan penerapan Syariah akan mengangkat derajat umat Islam dan bangsa ini kepada kemuliaan dan membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

#Selain aktif di Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban, penulis juga praktisi pendidikan dan pemerhati sosial ekonomi Islam




 
Top