JAKARTA -- Menteri BUMN, Erick Thohir memberi tanggapan atas sejumlah kiritikan terkait pengisian dan rangkap jabatan komisaris di BUMN. 

Soal rangkap jabatan komisaris di BUMN, Erick mengatakan hal itu sudah terjadi sejak dulu. Jika ingin dikoreksi, maka harus dilakukan secara menyeluruh.

"Rangkap jabatan (komisaris) ini jangan seakan-akan pada zaman sekarang, tetapi sudah terjadi berapa puluh tahun lalu."

"Jadi, kalau ada kritik-kritik seperti itu, rangkap jabatan, kalau mau dikoreksi ya harus menyeluruh," kata Erick dalam program Mata Najwa, Rabu (5/8/2020) malam sebagaimana dikutip dari Youtube Mata Najwa. 

Di sisi lain, Erick meminta BUMN tidak disamakan dengan perusahaan swasta pada umumnya. 

Hal ini karena di BUMN, ada penugasan negara yang memerlukan koordinasi dengan kementerian terkait.

"Kalau kita lihat juga, jangan lupa, BUMN itu punya keunikan di mana kita banyak sekali penugasan negara. Contoh, kalau kita bicara misalnya Pelindo banyak sekali penugasan negara yang harus kita lakukan untuk menjaga suplai dan demand-nya. Nah di situlah kenapa banyak hubungan erat dengan Kementerian Perhubungan misalnya. Itu hal-hal yang memang sudah terjadi. Tapi apakah semua perwakilannya dari Kementerian Perhubungan? Tidak. Banyak juga orang profesional," beber Erick. 

Najwa Shihab yang belum puas dengan jawaban Erick, kemudian bertanya mengapa Erick tidak memutus 'tradisi' rangkap jabatan yang terjadi sudah lama tersebut. 

Menjawab hal itu, Erick tidak menjawab lugas. Ia menyatakan rangkap jabatan tidak menjadi soal asalkan orangnya memiliki kecakapan (capable). 

"Komponen yang kita lakukan kan balance, kalau kita bicara perusahaan publik itu udah jelas, kita ada peraturan internal BUMN ada juga peraturan sebagai perusahan publik."

"Jumlah komisaris independennya juga berbeda dengan perusahaan tertutup sepeti BUMN yang belum go publik. Kalau kita lihat keberadaan rangkap jabatan, itu sesuatu yang lumrah. Tetapi apakah mereka tidak capable? saya rasa tidak," ujar dia. 

Titipan Partai

Dalam kesempatan itu, Erick juga menjawab soal titipan calon komisaris dari partai. 

Erick mengakui partai-partai mengirimkan surat tertulis kepada dirinya untuk menempatkan orang-orang partai sebagai komisaris. 

Erick tidak mempersoalkan hal itu. 

Hal ini karena tidak semua permintaan itu dikabulkan oleh Erick. 

Selain itu, orang-orang dari partai itu pun harus memiliki kemampuan. 

Ia menyebut hanya sekira 10 persen orang dari partai yang diterima sebagai komisaris BUMN.

"Mungkin yang diterima hanya 10 persen, makanya ada banyak yang kecewa. Ya itu bagian dari pembelajaran politik," ujarnya. 

Saat Najwa mempertanyakan kompetensi dan kemampuan orang-orang dari yang menjadi komisaris, Erick menyebut nama politikus PDIP, Arif Budimanta yang diangkat menjadi Komisaris Bank Mandiri pada awal tahun ini.

"Seorang Arif Budimanta apa dibilang nggak capable? Memang dia ada PDIP, tapi sekarang dia bantu."


"Kebanyakan orang-orang yang kita angkat, orang-orang sesuai dengan klasifikasinya. Dan kita juga bilang, kita punya hak review setiap tahunnya," bebernya. 

Kritik Adian dan Ombudsman

Sebelumnya, sorotan terkait pengisian jabatan komisaris BUMN datang dari sejumlah pihak, di antaranya dari politikus PDIP, Adian Napitupulu dan Ombudsman. 

Adian Napitupulu menyebut semua orang yang menempati jabatan direksi dan komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan titipan. 

Adian beralasan selama ini tidak pernah ditemui adanya iklan atau pemberitaan perusahaan BUMN yang membuka lowongan untuk posisi direksi dan komisaris. 

"Nggak ada yang nggak titipan, semua titipan karena nggak ada jalur yang dibuka untuk semua orang bisa akses ke sana. Nggak ada lowongan kerjanya di media mana pun."

"'Dibutuhkan lowongan BUMN A, membutuhkan komisaris dan direksi. Yuk ramai-ramai melamar yuk.' Nggak ada," ujar Adian, dalam diskusi virtual 'Bincang Santai Bersama Adian Napitupulu Uncensored', Kamis (23/7/2020). 

Namun Adian membantah apabila dirinya menitipkan nama-nama ke Menteri BUMN Erick Thohir.

Pasalnya nama-nama yang dia serahkan ke Presiden Joko Widodo adalah permintaan dari Jokowi sendiri. 

Di sisi lain, Adian menyoroti banyaknya jumlah orang dengan asal usul yang tidak jelas menduduki jabatan direksi dan komisaris BUMN di Indonesia. 

Dengan asumsi tiap BUMN minimal memiliki tiga direksi dan tiga komisaris, Adian menghitung ada 6.000 hingga 7.200 orang yang menduduki jabatan direksi dan komisaris di perusahaan pelat merah itu. 


Anggota Komisi VII DPR RI itu mengatakan hanya ada 1.000 orang yang jelas berasal asal usulnya dari titipan mana. Seperti dari partai, relawan, kementerian dan instansi lain seperti Polri dan TNI. 

Adian kemudian mempertanyakan sisanya yakni 5.000 hingga 6.200 orang lainnya yang tidak jelas asal usulnya dari mana atau titipan dari siapa. 

"Oke kita andaikan 1.000 orang titipan partai, kementerian, dan instansi lainnya, lalu yang 5.000 sampai 6.200 orang ini titipan siapa? Titipan pengusaha kah? Titipan mafia kah? Titipan keluarga kah? Titipan tetangga kah? Tititipan hantu? Titipan dedemit atau apa?" jelasnya. 

Adian pun menyayangkan karena masyarakat seolah digiring untuk fokus pada 1.000 orang ini, dan bukannya menyoroti 5.000-6.200 lainnya. 

Menurutnya bisa saja orang-orang tersebut adalah titipan dari para mafia yang bergerak di berbagai sektor. Karena sekali lagi, posisi direksi dan komisaris BUMN tidak dibuka lowongannya kepada publik. 

"Bagaimana kalau ternyata itu titipan mafia migas? Mafia infrastruktur, mafia proyek, mafia impor, mafia alat kesehatan dan sebagainya. Mungkin tidak? Mungkin, karena kita tidak tahu asal usulnya," tandasnya.

Sementara, anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Alamsyah Saragih menilai adanya sejumlah potensi maladministrasi dalam rangkap jabatan komisaris BUMN.

Hal itu disebabkan adanya benturan regulasi akibat batasan yang tidak tegas sehingga menyebabkan penafsiran yang berbeda serta adanya pelanggaran terhadap regulasi.

"Rangkap jabatan telah menyebabkan rangkap penghasilan dengan nomenklatur honor dan gaji."

"Hal ini menyebabkan penerapan prinsip imbalan berdasarkan beban tambahan (incremental) menjadi tidak akuntabel dan menimbulkan ketidakadilan," terang Alamsyah saat konferensi pers virtual, Selasa (4/8/2020).

Ombudsman juga menyoroti proses rekrutmen BUMN berdasarkan Peraturan Menteri BUMN Nomor 2 Tahun 2015 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN.

"Kami akan melanjutkan review administratif terhadap proses rekrutmen komisaris yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Kementerian BUMN,” tegas Alamsyah.

Sumber: tribunnews
 
Top