PADANG -- Minimnya jumlah tenaga kerja jasa konstruksi bersertifikasi di Indonesia, membuat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat lebih intens mengejar sertifikasi tenaga kerja di sektor ini. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase jumlah tenaga kerja konstruksi Indonesia masih di bawah 10 persen, atau hanya 513.000 dari 8, 10 juta tenaga kerja.

"Jika mengacu UU No. 2/2017 tentang Jasa Konstruksi, pengguna dan penyedia jasa wajib tenaga kerja bersertifikat," ujar Kasubag TU Balai Penerapan Teknologi Konstruksi Kementerian PUPR, Budianto Kusumawardono, dalam Workshop Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan Bidang K3 Konstruksi, di Axana Hotel, Padang, Rabu (2/4/2018). 

Bertolak dari ketertinggalan tersebut, ungkap Budianto, Kementerian PUPR telah menyiapkan mekanisme untuk mengejarnya. Mulai dari pemberian pelatihan di kelas, pelatihan di lapangan, hingga pemberian sertifikasi dari jarak jauh. "Pada 2019 kami mentargetkan ada 3 juta tenaga ahli konstruksi bersertifikat. Kondisi saat ini, tenaga ahlinya hanya sedikit yang telah bersertifikat. Untuk itu kami akan terus berupaya meningkatkan kualitas mereka," paparnya.

Ketua Lembaga Penyedia Jasa Konstruksi (LPJK) Provinsi Sumatera Barat, Prof. Zaidir, pada kesempatan itu menambahkan, minimnya jumlah tenaga kerja ahli konstruksi bersertifikat di Indonesia rata-rata disebabkan kurangnya pemahaman dan kemauan para engineering untuk memiliki sertifikat. 

"Sekarang sertifikat keahlian itu dibutuhkan. Ada aturan yang mengikat, termaktub dalam Pasal 30 UU No. 2 Tahun 2017, menyatakan penyedia atau pengguna jakons harus mempekerjakan tenaga bersertifikat. Jika selama ini pekerja jakons cenderung memandang sertifikat tak ada gunanya, sekarang sudah ada Undang-undang yang memaksa mereka untuk memiliki sertifikat," urai Zaidir. 

Salah satu pembeda antara tenaga kerja konstruksi bersertifikat dan yang belum, laniyt Zaidir, gaji yang mereka peroleh jauh lebih tinggi ketimbang tenaga kerja yang belum bersertifikat. 

Hal senada disampaikan Ketua Asosiasi Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi Indonesia (A2K4-I) Wilayah Sumatera Barat, Nasirman Chan. Ia membenarkan bahwa kurangnya tenaga ahli konstruksi bersertifikat, rata-rata karena malas atau kurangnya informasi pentingnya sertifikat tersebut. Padahal, pihak Kementerian PUPR bersama LPJK dan A2K4-I secara berkala memfasilitasi melalui kegiatan pelatihan, bahkan ada yang gratis.

(ede)

 
Top