TELUK Meranti sedang menggeliat. Biasanya bahan bakar minyak (BBM) begitu sulit didapat di kecamatan yang bercokol di kawasan pesisir pantai Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau ini. Kalaupun ada, harganya melangit. Sangat mahal! Pasalnya, selama ini ada “tujuh hantu” yang selalu menghadang di muara Sungai Kampar. 

Tujuh hantu dimaksud adalah gelombang bono. Akibat gelombang besar itu, distribusi BBM ke desa-desa di Kecamatan Teluk Meranti, juga Kecamatan Kuala Kampar tersendat. Kadang hingga berhari-hari dan berbilang pekan. Kini dan ke depan, semuanya jadi cerita lama. Solusi permanen sudah ada!

Suara mesin las masih riuh. Pekerja juga masih sibuk melakukan pekerjaan akhir (finishing), Senin (5/11/2018). Persiapan jelang peresmian stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) Kompak Desa Labuhan Bilik, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau itu makin dekat.

Tapi, aktivitas jual beli BBM berupa premium dan solar sudah dilakukan. Belum menggunakan dispenser dan nozle seperti SPBU atau APMS (agen premium dan minyak solar) lainnya. Masih ketengan atau manual. Lokasinya pun agak jauh dari SPBU Kompak Labuhan Bilik, terkait keamanan. Tapi, harganya sama dengan di SPBU lainnya, Rp6.450 per liter untuk premium, dan Rp5.150 per liter untuk solar. 

Ini yang berbeda dari biasanya. Sebab, biasanya premium di tempat ini dijual seharga Rp13 ribu hingga Rp15 ribu per botol isi satu setengah liter atau Rp8 ribu hingga Rp12 ribu per liter. Kadang harganya bisa empat hingga lima kali lipat, yakni Rp20 ribu hingga Rp25 ribu per liter jika pasokan putus. Penyebabnya adalah jarak distribusi yang sangat jauh. Ada juga adangan bono dalam perjalanan distribusi itu.

Bono merupakan gelombang panjang hasil pertemuan arus laut dan arus Sungai Kampar di kawasan Semenanjung Kampar (sebutan kawasan lahan gambut di muara sungai ini). Terdapat tujuh gelombang besar yang beriringan dengan tinggi tiga hingga lima meter. Satu gelombang besar di depan, enam di belakangnya. Tujuh gelombang ini kerap disebut masyarakat setempat sebagai "tujuh hantu bono". Gelombang bono ini sangat mematikan. Banyak kapal yang hancur dan nyawa yang melayang akibat dihantam gelombang bono.

Masyarakat yang sudah memahami karakter "sang tujuh hantu" akan menunggu bono lewat. Kadang hingga dua jam. Bisa lebih. Makanya, transportasi apapun yang melewati muara Sungai Kampar ini tidak bisa dipastikan jadwalnya. Harus menyesuaikan dengan jadwal bono.

Desa Labuhan Bilik, Kecamatan Teluk Meranti merupakan satu desa yang rutin dilewati bono. Sama seperti beberapa desa lainnya di sepanjang muara Sungai Kampar ini, yakni Teluk Meranti, Pulau Muda, Segamai, dan Gambut Mutiara. Bahan bakar minyak (BBM) selama ini dibawa beberapa pengusaha kampung menggunakan jeriken atau gelen dengan menggunakan kapal. Mereka membawa sekali sepekan dengan mengisi di SPBU Sorek, APMS Bunut, kadang SPBU Pangkalan Kerinci. Tentu dengan diam-diam, menyerempet pelanggaran hukum. Setidaknya tidak sesuai standar seharusnya. Dari sana, BBM itu didistribusikan ke beberapa desa, melewati rintangan bono Sungai Kampar.

Hal itu pula yang dulu dilakukan Direktur SPBU  Kompak Labuhan Bilik, Zainal Abidin. Keluarganya sejak dulu membeli BBM di SPBU atau APMS, lalu menjualnya di Penyalai dan Labuhan Bilik.

‘’Dulu kami juga main kucing-kucingan dengan petugas Pak. Kami beli pakai gelen (jeriken, red),” ungkap Zainal.

Tapi keadaan memang seperti itu. Jika tak ada yang bergerak, maka masyarakat tak akan bisa mendapatkan BBM. Bagi masyarakat, yang penting BBM ada. Walaupun mahal, tetap akan dicari. Kalau bisa dengan harga yang sama dengan BBM di perkotaan, tentu mereka lebih senang.

Transportasi sungai ini tentunya tak bisa ditebak, kecuali bagi yang sudah berpengalaman. Bono kadang datang siang, kadang malam, tergantung bulan. Biasanya, setelah membawa BBM dari SPBU dengan kapal, mereka menunggu reda bono di Tanjung Bebayang sampai air benar-benar surut dan kapal kandas.

“Setelah air naik, baru berangkat lagi ke tujuan,” ujarnya.

Zainal menyebutkan, biasanya, mereka membawa hingga 1 ton BBM, baik jenis solar maupun premium. BBM itu dibawa dengan jeriken-jeriken. Satu jeriken bisa memuat 32-33 liter. Dengan pengeluaran biaya transportasi, anak buah kapal (ABK), dan lainnya, keuntungan per jeriken “hanya” Rp10 ribu

Bermula Usaha Keluarga

Usaha menjual BBM ini sudah cukup lama digeluti keluarga Zainal. Ayah dan ibunya berjualan BBM sejak mereka muda. Bahkan, anak-anak keluarga ini dibesarkan dari penjualan BBM selain perkebunan kelapa. 

Awalnya, cerita Zainal, keluarganya lebih banyak berkebun kelapa. Kawasan di muara Sungai Kampar sejak masa awal kemerdekaan memang terkenal subur karena membawa lumpur dari hulu. Komoditas pertanian dan perkebunan melimpah di sana, termasuk di desa kelahiran Zainal, Labuhan Bilik. Kelapa salah satunya. Akan tetapi harga kelapa terus merosot. Jika sebelumnya harga kelapa mencapai Rp2.000 per butir, belakangan hingga kini hanya Rp500 per butir. Biasanya, para pekebun kelapa di Labuhan Bilik menjual kelapa mereka di daerah Guntung di Kabupaten Indragiri Hilir. Sejak harga kelapa turun, maka usaha penjualan BBM ini yang diteruskan dan bertahan.  

Keluarga ini menjual BBM awalnya di Labuhan Bilik. Akan tetapi, mereka kemudian pindah ke Pulau Penyalai atau disebut juga Pulau Mendol, juga di muara Sungai Kampar. Zainal pun lebih banyak berkiprah di Penyalai, yang masuk wilayah Kecamatan Kuala Kampar. 

“Hampir semua kami pindah. Hanya satu bibi yang masih jualan bensin di Labuhan Bilik,” papar Zainal.

Bantu Warga Kampung

Sebagai pengusaha, Zainal harus gigih. Hal itu sudah ditanamkan orang tuanya, yang merupakan keturunan Bugis, sejak dia kecil. Makanya, ketika dia menyatakan niat untuk membuka SPBU—sesuatu yang sebenarnya nyaris merupakan mimpi--, ibunya mendukung. Selama ini, perbincangan warga di sekitar muara Sungai Kampar, mulai dari Kecamatan Teluk Meranti, hingga Kuala Kampar selalu menginginkan ketersediaan BBM, selain juga masalah harga. Tapi itu sulit karena ketersediaan BBM tergantung pasokan SPBU yang jaraknya ratusan kilometer dari kampung mereka. Membuat SPBU apa lagi. Ibarat mimpi bagi mereka. Begitu juga bagi Zainal. Tapi angan-angan dan mimpi itu disampaikannya kepada ibunya.

“Ibu saya kemudian mengatakan, kalau menjadi pengusaha jangan hanya seandainya. Harus berusaha, wujudkan mimpi dan angan-angan itu. Hasilnya serahkan kepada Yang di Atas,” ujar Zainal.

Sejak saat itu, Zainal kemudian membentuk perusahaan, tepatnya pada 2015. Tahun 2016, dia mencoba mengajukan permohonan ke Pertamina di Pekanbaru. Awalnya hanya lisan, sambil bertanya dan berdiskusi. Pihak Pertamina pun balik bertanya, apakah dia ingin membuka penjualan minyak untuk industri atau BBM subsidi? Pada mulanya Zainal tak memikirkan ke arah itu. Baginya, yang penting orang-orang di kampungnya bisa mendapatkan suplai BBM yang tetap. Mahal tak masalah. Tapi, Pertamina membuka peluang untuk bisa membuat SPBU di kawasan Semenanjung Kampar ini. Maka target pun berubah menjadi pengadaan BBM bersubsidi.

Zainal kemudian mulai mengurus semua kelengkapan administrasinya. Dia minta surat rekomendasi dari bawah. Mulai dari RT-RW, hingga, kades, camat, dan bupati. Zainal lantas memilih lokasinya di Labuhan Bilik, desa kelahirannya dan tempatnya dibesarkan, bukan tempatnya berdomisili saat ini di Penyalai. Alasannya, dia ingin membantu warga dan orang-orang lebih dekat padanya secara emosional. Bukan juga di Pulau Muda yang aksesnya lebih dekat, atau ibu negeri Kecamatan Teluk Meranti di Teluk Meranti. Tapi di Labuhan Bilik, desa kecil, yang jaraknya 290 km dari Pangkalankerinci, ibu kota Kabupaten Pelalawan. Labuhan Bilik merupakan desa terjauh dari Pangkalankerinci dibanding desa-desa lain di Kecamatan Teluk Meranti.

Usai mengurus kelengkapan administrasi itu, Zainal hanya menunggu. Akan tetapi, sejak diurus persyaratannya pada 2016 sampai awal 2018, tidak ada tanda-tanda akan ada titik terang. Mereka pun bertanya-tanya.

“Orang lain pun bertanya-tanya. Malu juga kita, jadi atau tidak akan dibangun SPBU di kampung ini,” ujar Zainal mengenang.

Sampai kemudian, dengan bantuan beberapa kalangan, baik anggota dewan maupun Bupati Pelalawan HM Harris, akhirnya ada titik terang. Zainal diundang ke Medan untuk mempresentasikan rencananya, termasuk persyaratan untuk pembuatan SPBU. Apalagi, Pertamina memang sedang membuat program BBM satu harga untuk daerah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T). 

Kawasan Teluk Meranti dan sekitarnya memang memenuhi syarat untuk 3T itu. Kawasan ini, terutama Penyalai, berhadapan dengan Selat Melaka, yang tak jauh dari Negeri Jiran Malaysia. Tapi kondisinya masih tertinggal. Di Desa Labuhan Bilik ini mayoritas masyarakat miskin. Tak ada mobil. Hanya ada kendaraan roda dua. Itu pun tak banyak. Tak ada juga jalan aspal. Jalan semen hanya 6 km. Ditambah jalan tanah sepanjang 7 km. Sampai saat ini, masyarakat belum menikmati listrik sama sekali. Sebagian mereka hanya menggunakan genset. Akses jalan darat ke luar tak ada. Hanya akses sungai. Kondisi ini yang antara lain mendorong Zainal ingin membangun SPBU di desa kelahirannya itu saja. Bukan di tempat lain.

“Alhamdulillah akhirnya bisa terwujud. Setelah dari Medan itu, kami urus semuanya sampai sekarang bisa terealisasi,” ujar Zainal.

Masyarakat Langsung Merasakan

Berdirinya SPBU di Desa Labuhan Bilik langsung dapat dirasakan masyarakat setempat. Sejak September 2018 lalu, SPBU ini sudah mulai beroperasi dan dilakukan uji coba. SPBU Kompak di Labuhan Bilik mendapatkan jatah 30 kilo liter (KL) per bulan untuk BBM jenis solar. Sama dengan premium.

“Harganya sama dengan SPBU lainnya, yakni Rp6.450 per liter untuk premium, dan Rp5.150 per liter untuk solar. Masyarakat sangat senang. Saya pun bahagia bisa membantu warga sekitar,” ujar Zainal.

Program BBM satu harga ini sudah menyentuh 112 titik di seluruh Tanah Air, terutama di kawasan 3T. Selain pengguna sepeda motor di Desa Labuhan Bilik, SPBU ini juga dikunjungi dan dapat dinikmati para nelayan sekitar. Tak hanya di desa-desa Kecamatan Teluk Meranti, tapi juga dari Kecamatan Kuala Kampar. Rata-rata kapal nelayan di sekitar muara Sungai Kampar itu memiliki kapasitas 20 hingga 30 ton yang masih boleh dilayani SPBU. SPBU ini juga melayani perahu dengan mesin tempel yang kebanyakan menggunakan premium sebagai bahan bakarnya.

“Perahu dan kapal kecil bisa kita layani. Yang tidak boleh kalau untuk keperluan bisnis dan industri, termasuk kapal besar, 40 ton ke atas,” ujar Zainal.

Putuskan Rantai Distribusi

Distribusi BBM ke SPBU Kompak Labuhan Bilik didatangkan dari Pelabuhan Sungai Duku di Pekanbaru. Mobil dengan kapasitas 8 KL mengangkut BBM melalui jalur darat selama 7-8 jam menuju Desa Pulau Muda. Di Pulau Muda sudah menunggu kapal pengangkut yang sengaja dikandaskan. Kapal akan berangkat setelah air mulai naik kembali. BBM diangkut dengan menggunakan kapal menuju Desa Labuhan Bilik, tempat SPBU ini dibangun. Waktu tempuh mencapai 2-3 jam. Tetap melalui muara Sungai Kampar dan tantangan bono, tapi sudah relatif dekat.

“Semua biaya distribusi ini menjadi tanggungan Pertamina, sehingga harga BBM di SPBU ini tetap sama,” ujar Zainal.

Ini tentu saja memutus rantai distribusi yang selama ini sangat jauh. Selama ini, masyarakat harus menempuh perjalanan panjang selama dua hari menyusuri Sungai Kampar setelah membeli di SPBU Sorek atau APMS Bunut. Sebab, hanya ada jalur sungai dan berisiko jika dipaksakan dalam waktu cepat. Adapun jalur darat, lintas bono, baru selesai dikerjakan pada 2017. Jalur itu menghubungkan Pangkalankerinci, ibu kota Kabupaten Pelalawan ke Teluk Meranti, lewat simpang Bunut. Waktu tempuhnya 4-5 jam dengan mobil berkecepatan 60-80 km per jam. Tapi untuk menuju Labuhan Bilik dari Teluk Meranti tetap harus kembali menempuh jalur perairan Sungai Kampar dan tantangan bono.

Sebagai catatan, jalan lintas bono ini dibangun, selain untuk masyarakat, juga untuk kepentingan pariwisata, yakni wisata bekudo bono atau berselancar. Banyak peselancar kawakan dari luar negeri yang mengincar bono Kuala Kampar sebagai tantangan. Sebab, bono ini memiliki gelombang yang panjang dan konsisten, bahkan bisa hingga dua jam. Anak-anak dan remaja Teluk Meranti dan Kuala Kampar pun sudah mulai banyak yang berselancar ria. Selain untuk kepentingan pariwisata itu, jalur darat lintas bono tentu juga digunakan masyarakat sekitar.

“Yang jelas ini telah memutus rantai distribusi yang panjang. Masyarakat sangat senang,” ujarnya.

Satu-satunya di Riau

Sales Eksekutif Retail XI Pertamina Wilayah Riau, Angga Yudiwinata Putra, menyebutkan, semua biaya distribusi BBM dari Pekanbaru ke Labuhan Bilik menjadi tanggung jawab Pertamina. Angkanya mencapai Rp600 hingga Rp800 per liter. Biaya distribusi ini masih relatif tidak terlalu besar dibandingkan beberapa daerah lebih sulit di Indonesia. 

"Di Malinau, Kalimantan Utara ada yang mencapai Rp36 ribu per liter karena harus menggunakan pesawat. Tidak ada moda transportasi lainnya. Tak ada jalan darat kecuali dari Malaysia," ujar Angga yang pernah bertugas di Kalimantan Timur ini.

Kementerian ESDM memang memiliki program BBM satu harga di Tanah Air, khususnya di wilayah 3T. Kementerian ESDM menggandeng Pertamina. Dari Riau, baru SPBU Kompak Labuhan Bilik yang segera diluncurkan peresmiannya pada 8 November 2018. 

Sebenarnya, cukup banyak wilayah sulit yang masuk kategori 3T di Riau, terutama di kawasan pesisir Riau. Misalnya Rupat, Bengkalis, Kepulauan Meranti, Inhil, termasuk pesisir Kabupaten Pelalawan. Akan tetapi di beberapa kawasan itu sudah ada APMS (agen premium dan minyak solar) sejak lama.

"Ada rencana tambahan di Inhil. Masih penjajakan. Sementara untuk Riau baru satu di Labuhan Bilik ini," ujarnya.

Untuk tahap awal, Pertamina memberikan kuota kecil kepada SPBU Kompak Labuhan Bilik ini. Hal ini seiring dengan kebutuhan pasar dan warga sekitar. Ini juga untuk bahan evaluasi bagi Pertamina. Sebab, semuanya dihitung, stok awal hingga stok akhir dan berapa pemakaiannya. Dikalkulasi juga kapal motor, sepeda motor, atau kendaraan lain yang akan mengisi BBM di sana. Tentu yang berhak mendapatkan BBM subsidi itu yang boleh. Semuanya akan diaudit oleh BPK.

"Kalau dari hasil monitoring layak ditambah, maka bisa ditambah," ujar Angga.

Tak hanya itu, seraya berjalannya waktu, pihak Pertamina juga akan melakukan evaluasi terkait bahan bakar lainnya yakni elpiji. Banyak SPBU yang juga difungsikan sebagai agen elpiji dan itu tak tertutup kemungkinan akan diberlakukan pada SPBU Kompak Labuhan Bilik. Dengan beroperasinya SPBU Kompak Labuhan Bilik ini, maka di Riau sudah ada 157 SPBU, 47 APMS, dan empat SPBU nelayan.

Camat Teluk Meranti Tengku Syafril menyambut baik pembukaan SPBU Labuhan Bilik ini. SPBU ini tentunya dinantikan masyarakat karena sangat penting bagi urat nadi perekonomian warga. Dengan adanya SPBU yang melayani dua kecamatan, yakni Teluk Meranti dan Kuala Kampar, ada jaminan stok dan harga yang sama. Terobosan Pertamina ini dinilai luar biasa karena mampu menembus wilayah sulit dan berat yang tak diperkirakan sebelumnya. 

"Masyarakat mengapresiasi dan senang sekali," ujar Tengku Syafril.


#penulis: Muhammad Amin/ Wartawan RiauPos
 
Top