Rosadi Jamani

- Ketua Satupena Kalbar


MOSSAD. Nama yang membuat agen rahasia lain menunduk. Bahkan, CIA pun katanya pernah ikut les private ke sana. Lembaga yang bisa mencium niat jahat dari jarak sepuluh ribu kilometer, mengendus rencana kudeta lewat aroma kopi di Teheran dan mungkin juga bisa men-trace lokasi malaikat maut kalau dia beroperasi ilegal. Mossad adalah legenda, mitos yang dipoles dengan satelit, drone, dan ilusi ketuhanan digital.

Namun semua kesempurnaan itu berakhir di satu tempat kecil bernama Gaza, sebidang tanah sempit yang menolak tunduk pada logika modern. Di sinilah dewa intelijen dunia terperosok ke lubang tikus, kehilangan arah, kehilangan makna, dan mungkin juga kehilangan sinyal.

Selama puluhan tahun, Mossad hidup di atas mitos kesempurnaan. Mereka menculik Nazi dari Argentina, menyusup ke istana Suriah, membunuh ilmuwan nuklir Iran dengan pena yang bisa meledak, dan menanam mikrofon di balik dasi diplomat asing. Mereka bisa membunuh dari jarak ribuan mil, tapi gagal membaca getar tanah yang diinjak rakyat miskin.

Lalu datanglah hari paling absurd dalam sejarah intelijen modern. Ratusan pejuang dari dunia bawah tanah menembus pagar besi yang disebut “teraman di dunia” hanya dengan motor trail, parasut dan keyakinan. 

Mossad? Tidak mendeteksi apa pun. Mungkin server mereka sedang maintenance, atau mungkin semesta memang sedang iseng menulis ulang skrip drama geopolitik. Dunia menyaksikan ironi sempurna, satelit miliaran dolar dikalahkan oleh sandal jepit dan peta dari ingatan.

Gerakan itu beroperasi tanpa sinyal, tanpa cloud, tanpa login, tanpa password. Struktur mereka terdesentralisasi, nyaris organik. Setiap sel bekerja seperti jaringan akar di bawah tanah, diam tapi hidup, tersembunyi tapi bergerak. Mossad yang terbiasa melacak sinyal digital, mendadak seperti anak magang yang kehilangan WiFi. Gaza Metro, labirin bawah tanah, menjadi universitas kehidupan tempat logika teknologi datang untuk mati.

Israel lalu meluncurkan operasi besar-besaran. Drone menjerit di langit, rudal meluncur, tank berbaris seperti parade keangkuhan. Tapi semakin banyak mereka menyerang, semakin absurd hasilnya. Informasi meleset, target kabur, moral prajurit menurun. Setiap serangan yang katanya presisi justru menambah murka dan memperpanjang legenda. Dari reruntuhan muncul semangat baru, dari abu lahir ide yang tak bisa dibom.

Mossad bisa membunuh manusia, tapi tidak bisa membunuh makna. Mereka bisa mematikan sinyal, tapi tidak bisa mematikan pesan. Di ruang perang informasi, narasi berubah arah. Dunia mulai melihat, peperangan ini bukan lagi tentang senjata, tapi tentang siapa yang masih punya kemanusiaan.

Mossad pun kehilangan monopoli atas kebenaran. Kamera mereka menatap Gaza, tapi yang tampak bukan target, melainkan cermin. Di cermin itu, sang dewa intelijen melihat dirinya sendiri, sombong, canggih, tapi kosong.

Kini mereka duduk di ruang gelap, menatap layar dan bertanya, “Bagaimana kami bisa kalah dari orang yang tak punya apa-apa?” Mungkin jawabannya sederhana, karena mereka masih punya sesuatu yang lebih hebat dari algoritma, yakni keberanian untuk tetap manusia.

Dalam dunia yang dibangun dari satelit dan server, kekuatan sejati ternyata tidak hidup di langit, tapi di bawah tanah. Di situlah, Mossad belajar pelajaran paling pahit dalam sejarah modern. Di zaman ketika semua orang berusaha menjadi dewa, justru manusia yang paling sederhana lah yang menang.

Pesan moralnya, kesombongan teknologi dan kecanggihan intelektual tak pernah bisa menandingi kekuatan hati manusia yang berjuang dengan keyakinan. 

Mossad yang merasa menjadi dewa di langit intelijen akhirnya tersungkur oleh manusia-manusia sederhana yang berjalan di bumi dengan tekad dan keberanian. Dunia boleh berubah menjadi algoritma dan data, tapi yang menulis sejarah tetaplah mereka yang punya jiwa, bukan mesin. (*)

#camanewak




 
Top