Rosadi Jamani

- Ketua Satupena Kalbar


Langit fiskal Indonesia kembali bergetar. Dari Istana hingga warung kopi, semua bicara tentang duel baru yang tak kalah panas dari debat Capres. Duel Kang Dedi Mulyadi (KDM) versus Purbaya Yudhi Sadewa. Satu adalah gubernur yang dikenal blusukan ke sawah, ngopi bareng rakyat dan suka nertibkan pasar semraut. Satu lagi, Menkeu anyar yang datang dengan kalkulator suci di tangan kanan dan tabel APBD di tangan kiri. Dua-duanya anak buah Prabowo. Tapi siapa sangka, keduanya kini berbeda kiblat dalam urusan angka. Simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!

Semua bermula dari laporan Purbaya. Ia mengumumkan dengan lantang, ada 15 daerah yang doyan menyimpan uang rakyat di bank. Jumlahnya bikin jantung fiskal berdetak lebih cepat. 

DKI Jakarta jadi juara dengan Rp 14,6 triliun, disusul Jawa Timur Rp 6,8 triliun, Banjarbaru Rp 5,1 triliun, Kalimantan Utara Rp 4,7 triliun, dan, nah ini dia, Jawa Barat, wilayah kekuasaan KDM, dengan Rp 4,17 triliun nongkrong manis di deposito. “Untung Kalbar daerah saya, tak masuk. Gubernur saya juga tak neko-neok.” Ups!

Rakyat kaget. Apakah uang itu disimpan sambil menunggu bunga tumbuh seperti bonsai anggaran? Apakah APBD kini sedang mengikuti program “Menabung untuk Masa Depan?” Tapi KDM tak tinggal diam. Seperti pendekar Purwakarta yang hatinya tersulut, ia menghunus mikrofon dan menantang langsung sang Menkeu.

“Saya sudah cek, tidak ada yang disimpan dalam deposito! Saya tantang Pak Menkeu untuk buka datanya! Daerah mana yang katanya parkir uang di bank!?” katanya dengan nada tegas, tapi masih tetap sopan, khas KDM yang bisa marah tanpa kehilangan senyum rakyatnya.

Publik pun menahan napas. Duel dua pejabat ini bukan sekadar soal angka. Ini soal gengsi fiskal. Di satu sisi, Purbaya dengan ilmu akuntansinya berkata semua daerah menahan belanja, menimbun uang di bank. Di sisi lain, Dedi membalas dengan filosofi lapangan, “Tidak semua daerah malas membelanjakan uangnya. Ada yang bekerja keras, ada yang sudah menyalurkan manfaatnya ke rakyat.” Kalimat itu terdengar seperti sabda ekonomi dari kitab Purwakarta Lama.

Tapi di negeri yang gemar memuja data dan drama, kisah ini jadi tontonan nasional. Di medsos, rakyat membayangkan dua tokoh itu berdebat di tengah meja panjang penuh dokumen. Sementara di belakangnya ada grafik-grafik yang menari di layar LED, dan Prabowo duduk di ujung ruangan sambil berkata pelan, “Lanjutkan, saya ingin lihat siapa yang lebih hemat.”

Namun sesungguhnya, ini bukan sekadar debat dua tokoh, melainkan cermin watak bangsa. Kita hidup di negeri yang uangnya takut keluar dari rekening. Uang publik lebih sering jadi penghuni tetap deposito dari pada jadi tenaga kerja di jalan raya, sekolah, atau puskesmas. Kalau dibelanjakan cepat, dituduh boros. Kalau disimpan lama, dibilang tak becus. Uang pun bingung, “Aku harus jadi pahlawan atau jadi bunga?”

KDM punya satu saran jitu. Buka saja datanya, biar rakyat tahu siapa yang bekerja sungguh-sungguh dan siapa yang menjadikan APBD sebagai sarana meditasi finansial. Karena dalam filsafat anggaran, kejujuran lebih berharga dari deposito dan transparansi lebih bernilai dari bunga bank.

Mungkin kelak, kalau uang bisa bicara, ia akan berteriak dari balik brankas, “Aku bukan untuk disimpan, aku untuk bekerja!” Tapi sebelum itu terjadi, biarlah KDM dan Purbaya terus berdebat di panggung fiskal. Sementara rakyat menonton dengan secangkir kopi dan sebaris doa sederhana, semoga uang kami segera turun dari bank dan mengalir ke jalan, bukan ke laporan.

Lalu, seolah-olah keduanya berbalas pantun

KDM:

Ke hulu perahu tak juga jalan,

Airnya tenang tapi dangkal di tengah.

Katanya uang kami nganggur di simpanan,

Padahal data Bapak itu yang salah arah.

Purbaya:

Elang terbang di langit senja,

Melayang tinggi membawa berita.

Kalau datanya keliru, mari kita buka bersama,

Biar jelas siapa yang pandai kelola anggaran negara.


#camanewak





 
Top