Rosadi Jamani
- Ketua Satupena Kalbar
POLEMIK ijazah sang ayah belum juga kelar, muncul polemik serupa menimpa sang anak. Ijazah Gibran digugat. Masuk episode mediasi. Hasilnya, sang Wapres menolak minta maaf, apalagi mundur sebagai pendamping Prabowo. Simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Di negeri yang katanya merdeka ini, kadang keadilan butuh hiburan. Maka lahirlah babak paling absurd dalam sejarah hukum modern, gugatan perdata Rp125 triliun atas selembar ijazah SMA milik Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Satu kertas kelulusan yang dulu mungkin kena bekas kopi di pojok meja, kini jadi barang berharga setara utang luar negeri. Penggugatnya? Seorang advokat bernama Subhan Palal, S H MH pendiri kantor hukum di Jakarta Barat, lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan kini trending sebagai pendekar hukum paling viral di 2025. Nomor perkaranya pun sakral: 583/Pdt.G/2025/PN Jkt Pst. Nomor yang mungkin suatu hari akan jadi bahan skripsi anak hukum tentang “Perkara Antara Kertas dan Kekuasaan.”
Tanggal 13 Oktober 2025, gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mendadak jadi panggung drama kolosal. Bukan sidang, tapi mediasi, ritual damai sebelum perang dimulai. Subhan datang dengan dua syarat yang bahkan malaikat pun mungkin tercengang, Gibran dan KPU harus minta maaf kepada publik, dan Gibran harus mundur dari jabatan Wakil Presiden. Dua permintaan yang terdengar seperti doa politik di tengah musim kampanye abadi. Tapi kuasa hukum Gibran menjawab dengan gaya dingin dan prosedural, “Tidak bisa dipenuhi, karena melibatkan pihak ketiga.” Siapa pihak ketiga itu? Tak ada yang tahu. Bisa semesta, bisa istana, bisa juga mesin fotokopi yang pertama kali menggandakan ijazah itu. Yang pasti, mediasi gagal total, dan Subhan, dengan tenang tapi garang, bilang akan lanjut sampai ada keputusan hukum yang sah.
Menurutnya, gugatan ini bukan soal kertas, tapi soal integritas. Ia menuding KPU telah mengubah data pendidikan Gibran secara tidak sah. Ia menuntut kejelasan tentang keaslian ijazah SMA yang digunakan saat pencalonan wakil presiden. Ia menegaskan, kalau dasar hukum kepemimpinan saja diragukan, maka seluruh struktur moral negara ikut roboh. Untuk itu, ia menagih Rp125 triliun, angka yang bahkan Google Calculator mungkin perlu waktu tiga detik untuk menampilkannya.
Gibran sendiri pernah menunjukkan ijazah SMA-nya pada 20 November 2023, di kantornya. Media sempat memotretnya, publik sempat bersorak, tapi entah mengapa, keraguan tak hilang. Sebagian bilang, “Itu asli.” Sebagian lagi menuduh, “Itu fotokopian abad digital.” Sampai kini, belum ada verifikasi resmi yang dipublikasikan oleh sekolah asalnya, dan itulah yang jadi bara bagi Subhan. Ia ingin transparansi, tapi yang ia dapat malah birokrasi dan meme.
MDIS Singapura sudah mengonfirmasi, Gibran memang pernah belajar di sana dan memperoleh diploma. Secara akademis, jenjang lanjutannya sah. Tapi dasar legal pencalonan, yakni ijazah SMA, masih digantung di langit hukum. Pengadilan belum memutuskan, dan rakyat menonton seperti menunggu episode lanjutan sinetron “Negeri Kertas Terbang.”
Kini, rumor liar bertebaran. Ada yang bilang ijazah itu disimpan di brankas kedap udara di Istana. Ada yang yakin dokumennya sempat “hilang di dunia metafisika administrasi.” Di X (Twitter), ada yang membuat teori kalau nilai Rp125 triliun itu sebenarnya kode, bukan uang. “1” untuk kejujuran, “25” untuk pasal-pasal yang dilanggar, dan “triliun” untuk kesabaran rakyat.
Begitulah hukum kita, wak. Kadang lebih filosofis dari Plato, lebih dramatis dari Netflix, dan lebih lucu dari stand-up. Di panggung bernama pengadilan, Gibran jadi simbol kekuasaan yang diuji, Subhan jadi rakyat yang melawan, dan ijazah jadi kitab suci baru republik absurd. Bila nanti hakim mengetuk palu, entah siapa yang benar, satu hal pasti, hanya di Indonesia, selembar ijazah bisa mengguncang istana, dan harga sebuah kertas bisa mencapai Rp125 triliun.
#camanewak