Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya


PAGI itu, di tengah riuh langkah dan deru napas para pejalan pagi di Lapangan Bajra Sandhi Renon, saya mendengar cerita yang begitu miris di pulau Sorga.

Sambil melangkah ringan, teman bercerita tentang seorang pensiunan. Seorang lelaki Bali yang istrinya telah lama berpulang.

Ia memiliki dua anak perempuan, satunya menikah dengan pria dari Jawa, satu lagi dengan lelaki dari Kupang.

Hidupnya dulu tak kekurangan. Ia punya tanah, punya ruko di kawasan strategis Bali selatan.

Sebagai orang tua ia membagi harta itu, seperti cinta, kepada anak-anaknya. Satu ruko untuk anak pertama, satu lagi untuk anak kedua. Sebuah tanda kasih, harapan masa tua yang tenang.

Namun kasih kadang berubah rupa, dalam dunia yang semakin cair ini. Kedua ruko itu dijual oleh anak dan mantunya.

Awalnya ia tak menaruh curiga. Tapi setelah itu, mereka minta tanah yang ia tinggali ikut dijual. Di situlah ia mulai merasa ada yang tak beres. Ia menolak.

Ditolak menjual tanah yang ditempati, anak dan mantunya meminta uang deposito pensiunnya. Katanya untuk keperluan hidup, katanya agar “tak usah pusing mengurus apa-apa lagi”. Tapi ia tetap menolak.

Maka jadilah rumahnya sunyi. Telepon jarang berdering. Wajah anak dan menantu yang dulu sering muncul, kini hanya tinggal kenangan dalam bingkai foto di ruang tamu. Hubungan dengan anak dan mantunya mulai renggang.

Ia mulai menyadari: ia bukan hanya sendiri, tapi juga sendirian.

Tak ada tempat untuk pulang. Ia pikir dulu anak-anaknya akan jadi tempat berteduh. Tapi anak-anaknya telah menjadi milik keluarga lain, budaya lain, rumah lain. Anak-anaknya lebih memilih suaminya.

Dalam adat Bali, seorang perempuan yang telah menikah keluar desa, keluar banjar, keluar garis darah, tak bisa “mulih dee”. Tak ada rumah leluhur yang menyambut seperti dulu. Kalau pun pulang, ia dianggap tamu.

Dan orang tua yang hanya punya anak perempuan, tak punya “sentana” laki-laki, bagai pohon tanpa akar yang kuat. Warisan yang seharusnya diwariskan secara adat, kini tergantung pada cinta dan kepercayaan, yang nyatanya mudah retak.

Paradoks pun terjadi: Di usia senja, saat tubuh lemah dan hati ingin hangat, ia justru terasing dalam rumahnya sendiri. Ia merasa seperti orang asing.

Di tengah kemajuan dan kebebasan memilih pasangan lintas budaya, ia justru merasa kehilangan sandaran.

Ia ingin pulang kampung, tapi sanak keluarga telah tiada. Ia ingin ditemani, tapi mereka yang dulu dipeluknya kini lebih setia pada suami dan kehidupan baru mereka.

Ia bahkan merasa anak-anaknya bukan lagi bagian dari adatnya, dari darahnya. Mereka sudah bukan “orang Bali” lagi.

Keramaian pagi itu tetap riuh. Anak-anak tertawa bermain bola, Bajra Sandi yang menyehatkan berdiri kokoh, namun cerita itu bagi saya belum usai.

Saya menduga fenomena pensiunan di Bali tampaknya banyak yang demikan. Sepi bersembunyi di balik suara ramai. Cinta yang berubah menjadi cemas. Harta yang dibagi, tapi tak pernah kembali. Direla pun menjadi tidak rela.

Begitulah dunia paradoks bekerja. Di usia tua, seseorang bisa memiliki banyak harta dan teman, tapi merasa tak punya siapa-siapa, tidak pula merasa punya apa-apa.

Di negeri penuh adat dan kasih sayang, seseorang bisa merasa kehilangan akar. Dan di tengah ribuan orang yang berjalan bersama, seseorang bisa merasa paling sendiri.

Maka ide teman saya pun menjadi realistis; tempat ngumpul bersama para pensiunan. Panti Werda yang bukan panti Werda, entahlah namanya apa, untuk sekadar membedakan dengan penampungan para pensiunan sukses yang kesepian dengan panti Werda pada umumnya.

Hanya agar bisa bangun pagi, buka jendela saling sapa, bercerita tentang nasib yang sama, ketawa bersama, nyanyi dan karaoke, bergembira, tempat yang mudah cek kesehatan. Ke depan, panti Werda ini panting, kata teman saya.

Dia mengajak membayangkan, sepuluh tahun, dua puluh tahun nanti? Ketika anak-anak sukses di luar sana, ketika mereka ‘jadi orang” di pulau seberang, berbahagia di negeri orang, tegakah kita bilang si anak durhaka ketika mereka tak punya waktu untuk sekadar vicall?

Monumen Perjuangan Bajra Sandi yang kokoh namun tetap menjadi patadoks atas pergeseran masyarakat Bali yang tidak lagi agraris, yang tak lagi banyak waktu untuk orang tua yang dicintainya. (*)

Denpasar, 23 Juli 2025




 
Top