Rosadi Jamani

- Ketua Satupena Kalbar


MASIH lanjut soal dunia mata-mata. Tadi malam saya sudah kenalkan Richard Sorge, legenda mata-mata asal Rusia. Kali ini giliran Mata Hari, agen mata-mata asal Belanda. Ia bisa mencuri informasi rahasia dengan tarian yang mempesona. Banyak perwira militer yang klepek-klepek. Siapkan lagi kopi tanpa gula dan nikmati narasinya.

Sejarah kadang lebih percaya pada gosip dari dokumen. Dalam kasus Mata Hari, gosip itu datang dengan bulu merak, dupa, dan tarian lambat yang membuat jenderal tua kehilangan strategi dan logika. Ia adalah legenda setengah fakta, setengah fantasi. Seorang penari Belanda yang dikabarkan bisa menggoyang meja diplomasi hanya dengan satu lirikan. Tapi di balik sutra dan parfum itu, ada dugaan yang jauh lebih gelap, ia memang memainkan dua dunia sekaligus, dan melakukannya dengan sadar.

Margaretha Geertruida Zelle lahir di Belanda, 1876. Ia bukan mata-mata sejak lahir, tapi dunia memberinya cukup luka untuk belajar menyamar. Suaminya, Rudolf MacLeod, perwira Belanda yang pernah bertugas di Hindia Belanda, memberinya tiket pertama menuju kekuasaan dan kehancuran. Di Jawa, ia belajar menari dan mengadopsi simbolisme Timur. Kostum, bunga, dan gaya yang kemudian menjadi ciri khasnya di panggung Eropa. Namun mungkin, di balik tirai sutra itu, ia juga belajar sesuatu yang lebih penting, bagaimana perempuan bisa bertahan hidup di dunia pria yang selalu menguasai rahasia.

Di Paris, ia menjelma menjadi Mata Hari, “Matahari”, seolah menantang dunia, dirinya bisa memanaskan kepala siapa pun yang memandangnya terlalu lama. Ia menari di hadapan bangsawan, perwira, dan diplomat, sambil mendengarkan bisikan rahasia di meja minum. Ia tahu siapa sedang berperang, siapa selingkuh, siapa stres karena kehilangan pasukan. Semua informasi itu, bagi negara, adalah emas. Mungkin, Mata Hari sadar, di dunia yang dikuasai pria, tubuhnya bisa jadi mata uang paling mahal.

Dugaan kuat menyebut, ia memang direkrut oleh Jerman, dengan kode agen H21. Sebagai imbalan, ia diberi uang, visa perjalanan, dan perlindungan. Namun beberapa laporan intelijen juga menunjukkan, ia mencoba menawarkan diri kepada Prancis. Artinya, mungkin benar ia adalah agen ganda, tapi bukan karena ideologi, melainkan karena kelangsungan hidup. Dalam dunia spionase, siapa pun bisa berpihak kepada siapa pun, asal dibayar tunai dan tidak ditembak besok pagi.

Namun nasib buruknya datang bukan karena spionase, melainkan politik. Pada 1917, ketika Prancis hampir lumpuh oleh kekalahan, pemerintah butuh kambing hitam. Apa yang lebih menarik dari seorang penari eksotis yang tidur dengan para perwira Jerman? Surat cinta dan jadwal perjalanan disulap menjadi bukti pengkhianatan. Mata Hari tak diberi kesempatan membela diri secara terbuka. Dalam pengadilan tertutup, ia dijadikan simbol kehancuran moral bangsa, perempuan berdosa yang harus dibersihkan dengan peluru.

Pagi 15 Oktober 1917, di Vincennes, ia berdiri di depan regu tembak. Tanpa penutup mata, ia menatap lurus ke arah mereka. “Aku tidak bersalah,” katanya, lalu meniupkan ciuman. Beberapa saksi bersumpah, setelah tembakan terdengar, tubuhnya jatuh dengan anggun, seolah masih menari.

Kini, lebih dari seabad kemudian, file rahasia tentang dirinya sebagian telah dibuka. Beberapa menunjukkan ia mungkin memang bekerja untuk Jerman, sebagian lagi membuktikan tuduhan Prancis terlalu lemah. Tapi satu hal pasti, dunia ingin percaya bahwa ia bersalah, karena jauh lebih nyaman membayangkan kejatuhan bangsa akibat tubuh perempuan dari karena kebodohan para jenderal.

Mata Hari bukan sekadar korban. Ia mungkin juga pemain. Tapi bedanya, ia menari dengan percaya diri di atas panggung yang dibangun oleh dunia lelaki, sampai akhirnya peluru yang menutup pertunjukannya bukan karena dosa, tapi karena daya tariknya terlalu berbahaya untuk dibiarkan hidup. (*)

#camanewak




 
Top