Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
ALHAMDULILLAH, perang Pakistan-Afghanistan, berakhir. Negara sama-sama Islam ini sepakat mengakhiri perang selama seminggu itu. Ratusan nyawa melayang. Mari simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Kalau perang itu ujian kesabaran, maka Pakistan dan Afghanistan baru saja lulus dengan nilai “nyaris gila.” Dua negara yang cuma dipisahkan oleh garis Durand, sebuah garis buatan kolonial yang lebih sering jadi alasan rebutan ingar-bingar dari penanda batas, mendadak memutuskan untuk saling tembak karena ego nasional terasa lebih berharga dari gandum. Seperti biasa, setiap pihak yakin dirinya paling benar, paling suci, dan paling sedikit berbohong. Bahkan, mengaku paling masuk surga.
Pertempuran itu cuma berlangsung sekitar seminggu. Tapi di kawasan ini, seminggu bisa terasa seperti seabad. Artileri yang saling bergurau lewat ledakan, siaran pers yang berlomba-lomba mau jadi puitik, dan statistik korban yang mengambang seperti daun di sungai propaganda. Taliban bilang mereka mengantar 58 tentara Pakistan ke “tempat yang hangat,” sementara Islamabad bilang angkanya hanya 23 tewas dan mereka sendiri mengklaim telah menghapus ratusan pejuang musuh dari daftar hadir dunia. PBB menulis angka kompromis, puluhan tewas, ratusan luka, sebagai upaya menjadi orang tua bijak dalam pertengkaran dua bocah besar yang tak mau tidur siang.
Di tengah semua klaim itu, warga sipil di kota-kota perbatasan jadi saksi bisu. Pedagang teh yang cuma ingin hidup tenang, anak-anak yang mengejar sekolah, kambing yang tak paham politik, semua kena imbas karena artileri bukanlah ahli membedakan siapa yang bersalah. Rumah rata, doa mengalir, dan politisi pulang ke studio televisi dengan pose heroik sambil menandatangani pernyataan moral tentang “kedaulatan” dari kenyamanan kursi ber-AC.
Lalu muncul kata ajaib, gencatan senjata. Ditandatangani dengan jabat tangan yang setengah tulus di Doha, disaksikan oleh negara-negara yang suka jadi mediator sekaligus penonton, Qatar, Turki, semua bertepuk tangan. Tapi jangan buru-buru pasang pita perdamaian. Ini bukan akhir. Ini jeda komersial di tengah sinetron geopolitik. Akar masalah, garis perbatasan yang tak pernah disepakati, tuduhan dukung-mendukung militan, dan curiga yang menebal, tetap nongkrong di sana.
Seperti setiap drama perang yang baik dan terstruktur, ada aktor yang selalu tersenyum di belakang layar, produsen senjata. Di balik gencatan senjata itu, di lorong-lorong diplomasi yang remang, bermunculan proposal-proposal dingin bercetak rapi, brosur bergambar tank, drone, dan paket pelatihan. Setelah pesta peluru usai, segera datang tawaran, “Kami bisa kirim lebih murah, jamin perbaikan, dan bonus suku cadang.” Negara-negara yang baru saja menghabiskan cadangan anggaran untuk memanaskan mesin perang kini didatangi sales yang tahu betul, jeda bukan akhir, melainkan peluang pasar. Perdamaian sementara seringkali diikuti negosiasi kontrak, yang satu menjual keamanan, yang lain membeli ketenangan dengan kredit.
Ironisnya, manusia dapat menciptakan drone yang mengejar target ribuan kilometer, namun belum mampu menemukan akal sehat agar tidak menarik pelatuk. Dentuman bom jadi argumen instan, dan setiap ledakan terdengar seperti tawa sinis sejarah yang sudah bosan melihat manusia mengulang bab yang sama, bab kebodohan dengan latar suara iklan senjata.
Saat malam merayap, dua tentara mungkin duduk di balik reruntuhan, membagi rokok, bertanya, “Untuk apa semua ini?” Esoknya, kalau order datang, dari atas atau dari sales kantor, mereka akan menembak lagi. Karena dalam perang, kebodohan bukan cacat, ia adalah industri yang jalan terus, berputar oleh ego, amarah, dan nota penjualan
#camanewak