Sebuah satire tentang kampus, kuasa, dan kebanggaan yang membingungkan


Syaefudin Simon

- Kolumnis/ Penulis Satupena DKI Jakarta


WEH! Begitu kira-kira ekspresi spontan yang keluar dari mulut sebagian warga negeri ini saat Rektor Universitas Gadjah Mada, Ova Emilia, dengan suara penuh kebanggaan menyebut Presiden Joko Widodo sebagai “alumnus terbaik Fakultas Kehutanan UGM.”

Pernyataan Ova disampaikan dengan penuh hormat, di panggung Dies Natalis Fakultas Kehutanan ke-62, pada 17 Oktober 2025! Di hadapan sang alumnus sendiri — lengkap dengan senyum tipis khasnya yang kadang sulit dibedakan antara ketulusan dan kalkulasi politik.

Tentu, siapa pun bisa paham: tidak mudah Jokowi menjadi “alumnus terbaik.” Apalagi di universitas sekelas UGM yang suka menjuluki dirinya “Kanpus Rakyat” . Namun alumninya justru banyak duduk di singgasana kekuasaan, jauh dari rakyat yang katanya jadi alasan berdirinya universitas itu.

Tapi begitulah: politik dan akademik, seringkali berkelindan seperti akar bakau — saling melilit, sulit dibedakan mana yang tumbuh alami dan mana yang disiram dengan kepentingan.

Pernyataan Ova Emilia terdengar seperti ingin menampar gosip lama soal ijazah palsu Jokowi. Setelah bertahun-tahun publik memperdebatkan soal dokumen sakral bernama ijazah, kini sang rektor turun tangan langsung, seolah berkata, “Sudahlah, ini bukti nyata. Beliau benar-benar alumni kami, bahkan yang terbaik!”

Tentu saja publik boleh percaya. Boleh juga tidak.

Tapi catat ya, hanya beberapa ratus meter dari panggung kehormatan itu, di utara Bundaran UGM, 8 Desember 2023, sekelompok mahasiswa menggelar mimbar bebas.

Di sana, Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa UGM (BEM KM UGM) justru memberi Jokowi gelar yang tak kalah megah: “Alumnus UGM Paling Memalukan.”

Sungguh, negeri ini memang jago dalam ironi. Di satu sisi, seorang rektor memberi piagam kebanggaan; di sisi lain, mahasiswanya membentangkan banner besar bergambar Jokowi bermahkota, berseragam almamater, dengan tulisan besar: Mr. Joko Widodo — Alumnus Paling Memalukan.

Bayangkan: satu orang, dua gelar, dua dunia — satu penuh tepuk tangan pejabat, satunya penuh tawa getir mahasiswa.

Ketua BEM UGM, Gielbran Mohammad, bahkan tak segan menyebut Jokowi sebagai “representasi Orde Baru dengan gaya baru.” Katanya, “otoriternya sama, hanya bungkusnya lebih manis.”

Benar juga. Kalau dulu represi datang dalam bentuk senjata, kini ia datang dalam bentuk revisi UU ITE, pasal karet yang lentur seperti gelang karet di tangan pejabat.

Di era Jokowi, KPK yang dulu dielu-elukan sebagai simbol harapan, kini tinggal papan nama. Pimpinan lembaganya, yang mestinya jadi garda depan antikorupsi, justru terseret kasus pelanggaran etik berat alias korupsi.

Polisi — ah, yang satu ini bahkan sudah lama bukan lagi pengayom, melainkan parcok (parkir colongan, partai coklat penyelamat Dinasti Jokowi) siaga di setiap demonstrasi mahasiswa dengan pentungan dan gas air mata.

Demokrasi pun ikut tersedak. Indeks kebebasan pers turun, aktivis ditangkap karena cuitan dan konstitusi — yang dulu dijaga seperti kitab suci — kini diperlakukan seperti brosur promosi mal, bisa direvisi sesuka hati.

Kasus paling vulgar? Ya, tentu saja keputusan Mahkamah Konstitusi yang “meloloskan” Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, untuk maju sebagai calon wakil presiden..

Di situlah ironi mencapai klimaksnya: Hakim konstitusi Anwar Usman — adik ipar Jokowi sendiri — memimpin sidang yang mengubah syarat usia capres-cawapres. Tak perlu gelar hukum untuk memahami ada aroma nepotisme yang lebih kuat dari parfum sekelas Giorgio Armani.

Tapi toh, semua berjalan mulus. Gibran kini jadi wakil presiden. Anak haram konstitusi itu kini jadi wakil presiden terburuk sejarah bangsa Indonesia.

Nepotisme? Ah, kata itu sudah lama kehilangan makna. Yang ada sekarang adalah “keluarga harmonis yang kompak dalam pengabdian.” Pengabdian untuk menyulap akal sehat menjadi akal termul yang otaknya di dengkul.

Lalu? Mobil Esemka yang dulu dijual sebagai simbol nasionalisme industri rakyat, kini hanya tinggal legenda urban — seperti hantu di pabrik kosong. Tak ada yang pernah benar-benar melihat mobil itu di jalan raya, kecuali dalam video promosi lama yang kini terasa seperti parodi.

Dan oligarki? Mereka bukan lagi bayangan gelap di balik kekuasaan, tapi sudah duduk terang-terangan di meja makan, di sebelah sang presiden bayangan Si Joko.

Dari tambang nikel hingga proyek ibu kota baru IKN, semuanya dikuasai segelintir orang. Jokowi tak lagi sekadar presiden rakyat, tapi CEO Republik Indonesia Tbk, dengan para konglomerat sebagai komisaris utamanya.

Maka, kalau hari ini Rektor Ova Emilia menyebut Jokowi “alumnus terbaik,” mungkin beliau tidak salah. Jokowi memang berhasil menaklukkan hukum, mengatur konstitusi, menundukkan lembaga independen, dan menjadikan demokrasi terasa seperti ketoprak Sri Mulat.

Sementara itu, para mahasiswa yang turun ke jalan mungkin hanya sedang mempraktikkan pelajaran dasar dari UGM sendiri: membela kebenaran meski sendirian. Mereka sadar, menjadi alumnus terbaik bukan soal gelar, tapi soal integritas.

Dan jika ukuran “kebanggaan” adalah seberapa sering nama kampus disebut di televisi, maka Jokowi memang pemenangnya. Setiap kali publik menertawakan Esemka, mengelus dada karena harga beras naik, atau mengeluh soal dinasti politik, nama UGM ikut terucap di antara keluhan itu. Itukah sosok kampus rakyat Madam Ova?

UGM boleh bangga. Tapi bangsa ini? Entahlah.

Mungkin kita hanya bisa tertawa getir sambil berkata:

“Luar biasa. Dari kampus kerakyatan lahir presiden yang paling rajin mempermainkan rakyatnya.”

Selamat, Pak Jokowi. Anda benar-benar alumnus terbaik.

Terbaik dalam hal mengubah demokrasi menjadi dekorasi.

Terbaik dalam membuktikan bahwa dari kampus terbaik pun bisa lahir pemimpin yang gemar membungkam kritik dengan sejuta buzzer bayaran.

Terbaik dalam menyulap janji jadi jargon dan jargon jadi kebijakan setengah matang. Weh!

Siapa sangka, Fakultas Kehutanan bisa melahirkan seseorang yang begitu lihai “mengelola hutan kekuasaan” — menebang, menanam, dan menandai pohon-pohon mana yang boleh tumbuh, mana yang harus ditebang.

Dan rakyat? Kita semua, cuma dedaunan yang gugur di bawahnya dan pantas diinjak-injak Jokowi yang merasa berkuasa seperti Raja Jawa. (*)



 
Top