Rosadi Jamani
- Ketua Satupena Kalbar
KISAH Bu Dini Fitria seharusnya sudah berakhir hari ini. Gubernur Banten sudah memulihkan jabatannya setelah sempat dinonaktifkan. Siswa yang dulu mogok sekolah sudah kembali ke kelas, ibu dari siswa yang ditampar sudah minta maaf, laporan ke polisi sudah dicabut. Bahkan suasana sekolah pun mulai tenang. Di halaman sekolah, bendera kembali berkibar, bel kembali berdentang, dan para siswa mulai menyalin pelajaran seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Namun, ternyata drama ini belum usai. Di dunia yang sudah terlanjur viral, selalu ada episode tambahan. Kali ini bukan tentang siswa, bukan tentang ibu yang menangis di depan kamera, melainkan tentang dua guru yang dianggap netizen sebagai provokator dalam seragam. Simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak! Kita tuntaskan kasus ini sampai ke akar-akarnya.
Dua guru itu muncul ke permukaan di saat badai sedang mengguncang sekolah, saat ribuan komentar memaki, saat 630 siswa menolak belajar, saat Wagub Banten seenaknya bacot, dan saat Kepsek Dini Fitria menanggung semua kesalahan seorang diri. Dua guru ini tiba-tiba tampil di media, melakukan konferensi pers, menuding Bu Dini bersikap keras, otoriter, dan sering melakukan kekerasan verbal. Mereka berbicara dengan wajah prihatin, seolah malaikat turun dari ruang guru membawa kebenaran.
Tetapi publik tidak bodoh. Netizen yang sudah berjaga siang malam membela Bu Dini kini mengalihkan sorotnya ke dua nama ini. Mereka menelusuri, mengingat, mencocokkan. Siapa guru yang berani bicara di depan kamera saat teman sejawatnya jatuh? Siapa yang tampak menikmati badai ini dengan senyum samar di sudut bibirnya? Siapa yang diam-diam memimpikan kursi kepala sekolah yang masih hangat? Netizen, seperti biasa, tidak tidur. Mereka mencari, menelusuri, dan menggali lebih dalam dari wartawan mana pun.
Sementara itu, di dalam sekolah, gosip berjalan lebih cepat dari bel istirahat. Guru-guru lain mulai berbisik. “Dua orang itu memang dari dulu tidak akur dengan Bu Dini,” kata satu. “Dia memang dekat dengan pejabat dinas,” bisik yang lain. Tapi tidak ada yang berani bersuara terbuka. Semua pura-pura sibuk, pura-pura tidak tahu, pura-pura netral. Padahal di dunia maya, perang sedang terjadi, perang opini antara mereka yang percaya pada integritas seorang kepala sekolah yang dihukum karena disiplin, dan mereka yang memanfaatkan luka itu untuk naik pangkat.
Sungguh aneh, dunia pendidikan yang seharusnya mendidik malah berubah jadi panggung politik mini. Di balik papan tulis dan spidol, tersimpan ambisi, iri hati, dan dendam pribadi. Dua guru itu berbicara atas nama moral, padahal mungkin sedang memperjuangkan ego. Mereka berkata “anak-anak tidak tahan lagi,” tapi siapa sebenarnya yang tidak tahan melihat koleganya dihormati lebih tinggi?
Kini, setelah Gubernur Banten mengembalikan jabatan Bu Dini, setelah segalanya pulih, setelah publik tahu siapa yang benar, dua guru itu justru kehilangan arah. Netizen menuntut satu hal, minta maaf ke publik. Bukan karena dendam, tapi karena keadilan harus punya penutup. Sebab dalam setiap drama, penjahat tidak bisa keluar panggung tanpa tepuk tangan ejekan.
Tamparan fisik mungkin sudah dimaafkan, tapi tamparan moral dari dua guru itu belum reda. Mereka telah menampar wajah profesinya sendiri, menampar nilai-nilai pendidikan, dan menampar kejujuran di hadapan murid-muridnya. Dunia boleh memaafkan, tapi ingatan publik tidak pernah hilang. Now, dua guru itu sedang berjalan dalam bayang-bayang netizen, langkahnya dibuntuti rasa bersalah, namanya dibisikkan dalam setiap komentar, wajahnya dicari di setiap cuplikan video.
Bu Dini sudah kembali. Sekolah kembali tenang. Tapi dua guru itu? Mereka sedang menunggu giliran… ditampar oleh kebenaran yang mereka khianati sendiri.
Sebagai nasihat, di saat teman guru dalam kesusahan, dekati dan tenangkan hatinya. Sesama guru hendaknya "watawaa shoubilhaq watawaa shou bishshbr"
#camanewak