Rosadi Jamani
- Ketua Satupena Kalbar
KEKUATAN netizen mulai membuahkan hasil. Siswa yang ditampar karena merokok itu, “bertekuk lutut” memohon ampun sama Kepsek, Dini Fitria. Tersisa dua hal lagi, status Kepsek nonaktif masih disandangnya, dan laporan ke polisi belum dicabut. Simak narasinya bagaimana the power of netizen membuat guru dan murid itu saling memaafkan. Siapkan lagi kopi tanpa gula, wak!
Sudah beberapa hari ini kita terus mengincah soal Dini Fitria, Kepala SMAN 1 Cimarga. Gara-gara “tamparan yang mendidik” Bu Dini yang malang dinonaktifkan sebagai Kepsek. Pasukan jari-jemari tak tinggal diam, bangkit melawan.
Kita review sedikit, wak! Seorang siswa bernama Indra Lutfiana Putra (ILP) tertangkap basah merokok di sekolah. Sebagai kepala sekolah, Bu Dini tak tinggal diam. Ia bereaksi cepat, bukan dengan spidol atau penghapus, tapi dengan satu tamparan refleks. Bukan karena benci, tapi karena cinta yang tercepat kedua setelah kecepatan cahaya. Sayangnya, cerita penamparan itu viral. Sampai ibu ILP, Tri Indah Alesti tak terima, dan lapor polisi.
Begitu viral, netizen pun terbelah. Ada yang berkata Bu Dini kejam, tapi yang lebih banyak berkata, “Kalau semua guru kayak Bu Dini, mungkin Indonesia sudah bebas asap, bukan cuma asap rokok, tapi juga asap kebodohan.”
Begitulah, netizen bertransformasi menjadi kekuatan maha dahsyat. Mereka menyerbu lini masa seperti pasukan Avengers yang marah karena Tony Stark dipecat. Tagar #KamiBersamaBuDini membumbung tinggi, menembus algoritma, dan menampar balik semua opini yang tidak tahu arti kasih sayang seorang guru.
Akhirnya, setelah ribuan komentar dan jutaan emosi bersatu, sejarah mencatat momen langka, Indra dan Bu Dini bertemu dan saling memaafkan. Pertemuan itu tidak dilakukan di ruang kelas biasa, melainkan di ruang kerja Gubernur Banten Andra Soni, Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B), Kota Serang, pada Rabu, 15 Oktober 2025.
Gubernur menjadi mediator, seperti wasit yang menenangkan dua tim setelah pertandingan emosional. Indra menunduk, berkata lirih, “Saya minta maaf atas kesalahan saya.” Bu Dini, dengan kebesaran jiwa seorang pendidik sejati, menjawab lembut, “Saya juga minta maaf, Nak. Tamparan itu bukan benci, tapi tanggung jawab moral.”
Dua kalimat itu mungkin terdengar sederhana, tapi getarnya bisa menggetarkan tiang-tiang moral bangsa. Mereka lalu berjabat tangan, suasana haru mengalir, dan seluruh Banten seperti berhenti sejenak, bukan karena listrik padam, tapi karena nurani menyala.
Namun, plot twist datang lagi. Bu Dini belum dikembalikan ke jabatannya. Statusnya masih dinonaktifkan sementara, bukan diberhentikan. Gubernur menegaskan langkah itu diambil semata untuk menjaga suasana kondusif di sekolah. Ia tetap ASN, masih bisa ditempatkan kembali setelah evaluasi. Tapi bagi netizen, keputusan itu belum final, seperti ending sinetron yang belum ada pelukannya.
Satu lagi, Tri Indah Alesti belum mencabut laporannya di Polres Lebak. Semoga saja, ibu ILP ini segera mencabutnya agar persoalan ini segera tuntas. Bila ia tetap ngotot, ingat bu, netizen di negeri ini terkenal sadis bila marah.
Kini, ribuan warganet menunggu episode terakhir. Berharap Bu Dini bisa kembali duduk di kursi kepala sekolahnya. Tak lagi berurusan dengan polisi. Mereka tahu, keadilan butuh waktu. Tapi mereka juga tahu, netizen tidak pernah kalah kalau yang dibela adalah kebenaran.
Ingat, orang yang paling kuat bukan yang mampu membalas, tapi yang mampu menenangkan badai dengan senyum. Bu Dini sudah melakukannya. Indra sudah belajar. Sekarang giliran birokrasi yang diuji, apakah bisa memaafkan secepat rakyat memaafkan?
Jika hari itu tiba, ketika nama Bu Dini diumumkan kembali sebagai Kepala SMAN 1 Cimarga, seluruh jagat maya akan bersorak, “Tamparan kecil, efek besar. Dunia boleh geger, tapi kasih seorang guru tak pernah salah arah.”
Mungkin, di akhir kisah ini, semesta pun ikut tersenyum sambil berkata pelan, “Begitulah cara pendidikan seharusnya bekerja, dengan cinta, dengan luka, dan akhirnya... dengan maaf.” (**)
#camanewak