Rosadi Jamani
- Ketua Satupena Kalbar
INGAT, itu musuh tanda kutip, bukan musuh benaran. Itulah yang dirasakan Menkeu Purbaya seperti musuh bagi kepala daerah. Untuk saat ini, hampir semua kepala daerah tak senang ceplas-ceplosnya akang asal Bogor itu. Simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Saat Purbaya buka mulut dan bilang ada uang daerah mengendap di bank, republik ini langsung gemetar. Seperti disiram kopi panas di pagi hari, para gubernur yang tenang mendadak panik. Purbaya menyebut angka fantastis, ratusan triliun rupiah uang rakyat tak dipakai, hanya nongkrong di rekening bank sambil menghasilkan bunga.
Seperti biasa, setelah ledakan data datanglah opera bantahan nasional. Satu per satu gubernur muncul di layar kaca, bukan membawa solusi, tapi dalih yang berlapis-lapis. Hanya satu yang mengaku jujur, DKI Jakarta. Selebihnya, semua tampil sebagai bintang tamu di sinetron bertajuk “Itu Tidak Benar, Pak Menteri!”
Dari timur Jawa, Khofifah Indar Parawansa (Gubernur Jatim) paling dulu buka suara. Katanya dana Rp 6,2 triliun itu bukan “mengendap,” tapi “SILPA”—Sisa Lebih Perhitungan Anggaran. Sebuah istilah ajaib yang membuat uang tidur terdengar seperti sedang bermeditasi fiskal.
Di utara sedikit, Gubernur Jabar Dedi Mulyadi menepis tudingan Rp 4,1 triliun dana nganggur. “Itu bukan deposito, tapi giro!” katanya mantap. Seolah kalau uangnya bisa dicairkan sewaktu-waktu, maka ia tak malas, hanya rebahan produktif.
Gubernur Jateng Ahmad Luthfi ikut beraksi. Ia membantah keras tudingan Purbaya, dana Rp 1,9 triliun milik Jateng mengendap. “Itu dana operasional yang sedang berjalan,” ujarnya. Bahasa halus dari, uangnya belum digunakan, tapi jangan ditanya kenapa.
Sementara dari Kalsel, Gubernur Muhidin tak mau ketinggalan. Katanya dana Rp 5,1 triliun itu “tidak mengendap, tapi bergerak.” Bergerak ke mana, tidak dijelaskan. Mungkin berlari di jalur lintas bank sambil menikmati bunga deposito.
Dari Sumatera Utara, suara juga muncul. Pemprov Sumut membantah tudingan Rp 3,1 triliun dana tidur. Mereka menyebut itu hasil keterlambatan proyek dan proses administrasi.
Lalu dari Sulawesi Tengah, Gubernur Anwar Hafid mengatakan uang Rp 819 miliar yang disebut “mengendap” itu masih “proses asistensi di Kemendagri.” Sebuah alasan yang sudah menjadi mantra sakti semua birokrat.
Di Babel, Pemprov juga menyangkal keras kabar adanya Rp 2,1 triliun di bank, katanya jumlah sebenarnya cuma Rp 200 miliar.
Dari Maluku serta Papua, meski tak ada bantahan resmi, keheningan mereka seolah berkata, “Kami juga tidak bersalah, cuma belum sempat bicara.”
Kini, Purbaya berdiri sendirian di tengah badai bantahan. Ia bicara pakai data, mereka membalas dengan drama. Ia minta uang rakyat bekerja, mereka malah sibuk mendefinisikan kata “mengendap” seolah sedang menulis kamus baru. Di mata para kepala daerah, Purbaya kini tampak seperti “musuh” musuh dari kenyamanan saldo yang gemuk, musuh dari bunga deposito yang manis.
Padahal data ia ungkap bukan dongeng. Kalsel Rp 3,9 triliun deposito + Rp 846 miliar giro. Jatim Rp 6,2 triliun. Jabar Rp 4,1 triliun. Jateng Rp 1,9 triliun. Sumut Rp 3,1 triliun. Sulteng Rp 819 miliar. Babel Rp 2,1 triliun. Totalnya bisa membiayai beasiswa nasional dan bikin jalan tol sampai Merauke. Tapi uang itu lebih suka berjemur di bank, menghasilkan bunga sambil menatap nasib rakyat dari kejauhan
Lucunya, pejabat jujur di negeri ini sering tampak seperti pemberontak. Purbaya bukan sedang menyerang, ia cuma membuka jendela agar rakyat melihat, uang mereka ternyata lebih rajin jadi nasabah dari jadi pembangunan. Namun dalam republik hobi berdalih, kebenaran memang sering kelihatan seperti ancaman.
Purbaya kini bukan musuh negara, tapi musuh bagi mereka yang nyaman tidur di atas saldo.
Purbaya melangkah tanpa gentar,
Gelombang kritik ia hadapi;
Meski ombak politik kian lebar,
Ia tegak tak sudi lari.
Api menyalak di tengah badai,
Purbaya tersenyum menatap arah;
Langkahnya tegas, niatnya damai,
Tak goyah meski banyak marah.
#camanewak

