JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa Indonesia kini menempati posisi pertama di dunia dalam jumlah laporan penipuan keuangan digital atau financial scam.
Berdasarkan data periode November 2024 hingga September 2025, terdapat 274.722 laporan penipuan, atau setara 874 laporan setiap harinya. Angka tersebut jauh melampaui negara lain seperti Malaysia dan Kanada.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, menyebut total kerugian akibat kejahatan digital mencapai Rp6,1 triliun. Dari jumlah itu, sekitar Rp374,2 miliar dana berhasil diblokir—setara 6,13 persen dari total kerugian.
“Jumlah rekening yang teridentifikasi terlibat kasus ini mencapai 443.235 rekening,” ujarnya dalam acara Media Gathering di Purwokerto, Sabtu, 18 Oktober 2025. Sebagai perbandingan, Malaysia melaporkan 253.553 kasus dengan total kerugian Rp2,65 triliun dan dana diblokir Rp325 miliar (12 persen), sementara Hong Kong mencatat kerugian jauh lebih besar yakni Rp27,01 triliun dengan Rp4,84 triliun berhasil dibekukan.
Meski jumlah kasus di Indonesia paling tinggi, efektivitas pembekuan dana dinilai masih tertinggal karena belum adanya sistem pelaporan yang cepat dan terintegrasi seperti di beberapa negara tersebut.
Transaksi Online Jadi Modus Paling Dominan
OJK mencatat bahwa penipuan transaksi jual-beli online menjadi modus paling banyak dilaporkan sepanjang November 2024 hingga 15 Oktober 2025. Tercatat sebanyak 53.928 laporan dengan nilai kerugian mencapai Rp988 miliar.
Data dari Indonesia Anti-Scam Centre (IASC) menunjukkan modus ini mengungguli bentuk penipuan lain, seperti penipuan mengaku pihak lain (fake call) sebanyak 31.299 laporan dengan kerugian Rp1,31 triliun, serta penipuan investasi sebanyak 19.850 laporan dengan total kerugian Rp1,09 triliun.
Selain itu, terdapat pula jenis penipuan lain yang marak terjadi, seperti: Lowongan kerja palsu (18.220 laporan), Undian fiktif (15.477 laporan), Penipuan lewat media sosial (14.229), Phishing (13.386), Rekayasa sosial (social engineering) (9.436), Pinjaman online fiktif (4.793), Aplikasi ilegal yang disebarkan melalui WhatsApp (3.684). Secara keseluruhan, sepuluh modus kejahatan digital terbesar ini menimbulkan kerugian lebih dari Rp6 triliun, dengan rata-rata kerugian per korban berkisar Rp18 juta hingga Rp55 juta.
OJK Perkuat Koordinasi dan Literasi Digital Lonjakan kasus penipuan digital ini menjadi perhatian serius OJK. Menurut lembaga tersebut, meningkatnya aktivitas transaksi digital di masyarakat belum diimbangi dengan pemahaman serta kesadaran akan keamanan finansial.
Melalui Satgas PASTI (Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal), OJK memperkuat koordinasi lintas lembaga, termasuk dengan kepolisian serta penyedia layanan keuangan digital, untuk mempercepat proses pemblokiran rekening dan penindakan terhadap pelaku.
Kepala Sekretariat Satgas PASTI, Hudiyanto, menilai rendahnya kewaspadaan masyarakat turut memperburuk kondisi. “Modusnya semakin halus dan memanfaatkan psikologi korban, mulai dari social engineering sampai aplikasi palsu yang dikirim lewat WhatsApp,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya masyarakat untuk memverifikasi keaslian akun, situs, maupun aplikasi sebelum melakukan transaksi.
“Karena uang hilang dari korban scam misalnya, itu hanya 1 jam. Tetapi yang lapor ke IASC dalam satu jam itu cuma 1 persen. Jadi ini sudah mengkhawatirkan, darurat,” tegasnya.
OJK berharap peningkatan literasi digital, penguatan sistem pelaporan cepat, serta sinergi antarinstansi dapat menekan angka kejahatan keuangan digital yang kini dikategorikan sebagai darurat nasional.
#pkr/bin