MESUJI, LAMPUNG -- Tangisan seorang bocah perempuan berusia lima tahun memecah keheningan Desa Karya Tani Register 45, Kecamatan Mesuji Timur pada Sabtu (19/10/2025) sore itu. Suara lirih namun memilukan itu terdengar berulang-ulang dari balik dinding kayu lapuk sebuah rumah reyot di pinggiran kebun. Tak ada yang menyangka, di balik tangisan itu tersimpan kisah kelam: seorang anak kecil dirantai di dalam rumah, ditinggal orang tuanya bekerja tanpa makanan, hanya diberi segelas kopi untuk bertahan hidup.

Warga sekitar awalnya mengira tangisan itu hanyalah rengekan biasa dari anak yang sedang rewel. Namun karena suara itu tak juga reda hingga berjam-jam, beberapa warga akhirnya memutuskan mendekat. Mereka tertegun saat melihat rumah itu terkunci rapat dari luar.

“Waktu kami panggil-panggil, tidak ada jawaban, cuma terdengar suara tangis lemah dari dalam,” tutur Miran (47), salah satu warga yang kemudian nekat mendobrak pintu.

Begitu pintu terbuka, pemandangan yang tersaji membuat warga tercekat. Di lantai tanah yang kotor dan berdebu, seorang bocah perempuan tampak duduk lemas. Kaki kanannya dirantai dengan gembok besar, ujungnya terpaku kuat pada tiang kayu di tengah ruangan. Tubuh mungil itu tampak kotor, kurus dan penuh gigitan nyamuk. Matanya sayu, seolah kehilangan tenaga untuk menangis.

“Dia cuma bisa menatap kami dengan pandangan kosong,” kata Miran, suaranya bergetar menahan haru.

Warga pun bergegas berusaha melepas rantai yang melilit kaki sang bocah. Prosesnya tidak mudah  rantai itu dipaku kuat ke tiang. Palu dan pahat pun digunakan untuk membebaskannya. Setiap ketukan palu disambut isak kecil bocah malang itu, hingga akhirnya suara “klik” dari gembok menjadi penanda kebebasan pertamanya setelah berhari-hari terpasung.

Berteman Segelas Kopi

Saat warga menanyai bocah itu, ia dengan polos menjawab bahwa setiap kali orang tuanya pergi, ia dikunci di dalam rumah dan tidak diberi makan. Hanya segelas kopi yang diletakkan di meja untuknya.

“Dia bilang, ‘Aku dikasih kopi aja, Bu,’” kata seorang warga perempuan yang langsung menitikkan air mata.

Tubuh kecil itu tampak menggigil, dan perutnya kempis karena kelaparan. Warga kemudian memberinya air putih dan sedikit makanan, meski tubuhnya terlalu lemah untuk mengunyah banyak.

Tinggal di Rumah Kosong Tak Layak Huni

Kondisi rumah tempat SN tinggal sangat memprihatinkan. Dinding dari papan kayu sudah lapuk, lantai tanah becek, dan atap bocor di beberapa bagian. Tak ada listrik, tak ada perabot layak, hanya satu kasur tipis yang sudah usang di pojok ruangan.

Dari penelusuran warga, keluarga SN rupanya sudah tiga bulan menempati rumah kosong milik orang lain tanpa melapor ke kepala dusun. Kehidupan mereka tergolong tertutup. Ayah tirinya, Teguh (35), dan ibu kandungnya, Emi (32), bekerja serabutan sejak dini hari hingga malam. Namun tak seorang pun menduga mereka tega meninggalkan anak sekecil itu sendirian  apalagi dengan kaki terantai.

 Polisi Turun Tangan

Setelah dilepaskan, warga segera melapor ke aparat desa dan kepolisian. Tak lama kemudian, tim dari Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Mesuji datang ke lokasi bersama petugas Dinas Sosial. SN langsung dievakuasi ke rumah sakit untuk menjalani visum dan mendapatkan perawatan medis serta pendampingan psikologis.

“Korban kini dalam pengawasan kami dan sedang menjalani pemulihan,” ujar seorang penyidik Unit PPA Polres Mesuji.

Polisi juga langsung mengamankan Teguh dan Emi untuk dimintai keterangan. Dari pemeriksaan awal, keduanya mengaku merantai anak itu “agar tidak keluar rumah saat mereka bekerja.” Namun alasan itu tak bisa diterima akal sehat.

“Kami menduga kuat ini termasuk tindak kekerasan fisik dan penelantaran anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak,” tegas penyidik tersebut.

Kecaman dari Publik

Kabar tentang bocah lima tahun yang dirantai ini cepat menyebar dan memicu kemarahan publik. Media sosial ramai dengan seruan agar pelaku dihukum berat. Aktivis perlindungan anak menyebut kasus ini sebagai “tamparan keras bagi nurani bangsa.”

“Tidak ada alasan yang bisa membenarkan tindakan merantai anak, apalagi sampai menelantarkannya tanpa makanan. Ini bukan disiplin, ini kekerasan,” kata salah satu aktivis dari Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) cabang Lampung.

Langkah Pemulihan dan Harapan Baru

Kini, SN berada dalam perawatan intensif. Setelah kondisi fisik dan mentalnya membaik, ia akan ditempatkan di rumah perlindungan khusus anak agar mendapat pendampingan jangka panjang. Psikolog anak yang menanganinya menyebut SN masih trauma berat dan cenderung menutup diri setiap kali mendengar suara keras.

“Anak ini kehilangan rasa aman yang seharusnya ia dapatkan dari orang tua. Butuh waktu lama untuk memulihkannya,” kata salah satu psikolog pendamping.

Tragedi di Mesuji ini menjadi pengingat betapa masih banyak anak-anak Indonesia yang hidup dalam jerat kemiskinan dan kekerasan domestik. Tangisan SN bukan hanya jeritan seorang anak kecil yang kelaparan, tapi juga simbol dari kegagalan moral orang dewasa di sekitarnya. Mereka yang seharusnya melindungi, tapi justru melukai.

#bin/max






 
Top