Rosadi Jamani
- Ketua Satupena Kalbar
SAYA sempat berpikir, jangan-jangan Tifa, Roy Suryo, Rismon yang dikenal Tiroris bagian dari Jokowi. Lah..kok iso sih, Bang? Apa sih yang tidak bisa di dunia politik? Kadang yang muncul di permukaan, sering berbeda dengan yang di belakang. Rasanya tidak mungkin, tapi agar lebih seru, siapkan kopi tanpa gulanya, kita lindas, eh salah, kupas soal ini, wak!
Mungkin negeri ini tidak sedang menyaksikan pertarungan antara kebenaran dan kebohongan, tapi drama besar dengan naskah yang ditulis oleh tangan-tangan tak terlihat. Sebuah skenario halus bernama Proyek 2029. Misi menjaga nama Jokowi tetap hidup, bahkan setelah kursi presiden ditinggalkan. Bukan untuk nostalgia, tapi untuk memastikan bayangan politiknya terus menuntun langkah generasi berikutnya.
Coba pikir pakai logika terbalik. Kalau benar Jokowi punya ijazah palsu, lalu sudah sekian tahun diteriaki, kenapa tidak juga tumbang? Kenapa justru makin tenar? Karena dalam politik modern, yang penting bukan benar atau salah, tapi siapa yang tetap dibicarakan. Semakin sering dituduh, semakin kuat aura legenda itu.
The Tiroris mungkin mengira mereka sedang menegakkan keadilan akademik. Tapi bisa jadi tanpa sadar, mereka sedang menjadi bagian dari mesin promosi politik paling efektif di negeri ini. Setiap kali mereka berteriak “ijazah palsu”, nama Jokowi otomatis muncul di trending. Setiap kali nama itu muncul, algoritma pun bekerja. Setiap kali algoritma bekerja, memori kolektif rakyat diperbarui, Jokowi masih relevan.
Kini ia tidak perlu bicara, tidak perlu tampil. Cukup diam dan biarkan lawannya bersuara. Karena setiap serangan, justru jadi bahan bakar eksistensi. Seperti lilin yang makin terang ketika ditiup angin. Sementara rakyat ribut menebak kebenaran, Jokowi tetap berada di tengah wacana, bahkan tanpa satu kata pun.
Jangan lupakan Gibran, wakil presiden muda yang perlahan jadi simbol regenerasi politik. Ketika publik membahas ijazah bapaknya, nama Gibran ikut naik di gelombang viral. Orang mengetik “ijazah Jokowi”, lalu yang muncul di bawahnya adalah “Gibran 2029”. Tanpa kampanye, tanpa baliho. Inilah promosi organik paling efisien yang pernah terjadi dalam sejarah politik Indonesia.
Kalau dilihat dari atas, skenarionya tampak rapi. Isu ini selalu muncul di saat tepat, menjelang momentum politik, ketika suhu elite memanas, atau saat publik butuh drama baru. Seolah ada komposer di balik layar yang tahu kapan menyalakan api, kapan meniup bara. Rakyat pun sibuk membahas ijazah, sementara arah politik diam-diam bergeser menuju 2029.
Tapi begitulah indahnya konspirasi. Ia tak perlu benar, cukup terasa masuk akal untuk dipercayai. Ketika orang sudah percaya, fakta tak lagi penting. Maka mungkin “Tiroris” bukan musuh, melainkan pemeran penting dalam sandiwara besar menjaga nama Jokowi tetap hidup di benak rakyat.
Sebab dalam politik pasca-kebenaran, kemenangan bukan tentang siapa yang benar, tapi siapa yang tidak pernah dilupakan. Jokowi mungkin sudah pensiun, tapi pikirannya masih berputar lewat mereka yang mengaku menentangnya. Mereka menyalakan panggung, menjaga sorotan, memastikan bayangan itu tak pernah padam.
Dengan setiap thread, talkshow, podcast, video, setiap debat soal “ijazah palsu”, mereka semua sedang menulis bab baru dalam legenda politik paling absurd sekaligus jenius di negeri ini, Legenda Jokowi 2029, Sang Mantan yang Tak Pernah Pergi.
Dalam dunia politik modern, kebenaran sering kalah oleh keberlanjutan pembicaraan. Yang tampak seperti pertarungan bisa saja hanyalah pertunjukan, dan yang terlihat seperti musuh bisa jadi adalah alat untuk menjaga sorotan. Di era digital, nilai tertinggi bukan lagi benar atau salah, tapi siapa yang tetap dibicarakan. Maka, bijaklah sebagai rakyat, jangan biarkan opini menggantikan akal sehat, dan jangan biarkan viral menggantikan kebenaran.
#camanewak