Rosadi Jamani
- Ketua Satupena Kalbar
MASIH cerita dunia mata-mata. Kalau sebelumnya saya sudah mengenalkan Richart Sorge dan Mata Hari, spionase legendaris dunia, tak adil kalau tak mengenalkan mata-mata negeri sendiri. Salah satunya Benny Mordani, sang artisitek mata-mata legendaris Indonesia. Mungkin tak ada senang tokoh ini, silakan saja. Saya hanya menuliskannya dalam perspektif intelijen. Mari simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Di dunia intelijen, yang paling berbahaya bukan menembak, tapi yang tahu siapa yang harus ditembak, dan kapan harus diam. Benny Moerdani, nama yang kalau disebut di ruang rapat Orde Baru bisa membuat kolonel muda mendadak kehilangan selera makan. Dia adalah arsitek di balik jantung tersembunyi keamanan Indonesia. Ia tidak lahir dengan tanda bintang di pundak, tapi dengan naluri tajam seorang pemburu yang tahu bahwa republik muda ini hanya bisa bertahan jika punya mata di mana-mana.
Lahir di Blora, 2 Oktober 1932, Leonardus Benjamin Moerdani tumbuh di masa republik masih bau mesiu. Ia bergabung dengan TNI tahun 1952 dan langsung nyemplung ke dalam dunia operasi militer yang lebih mirip permainan catur berdarah. Dari PRRI, Permesta, sampai Trikora, Benny belajar satu hal, musuh bukan cuma yang membawa senjata, tapi juga yang tersenyum sambil menyembunyikan niat.
Ia adalah pendiri Kopassandha, cikal bakal Kopassus, pasukan elit yang dirancang untuk menembus tempat-tempat di mana diplomasi berhenti bekerja. Dalam dunia senyap itu, Benny seperti bayangan yang hidup di antara dokumen, sandi, dan langkah-langkah senyap di malam hari. Tapi yang membuatnya jadi legenda bukan cuma pistol atau strategi, melainkan kemampuannya membaca manusia.
Kisah paling monumental tentu Operasi Woyla, 1981. Pesawat Garuda DC-9 dibajak di Bangkok oleh kelompok ekstremis. Benny mengatur operasi pembebasan seperti sutradara yang tahu kapan adegan harus meledak. Dalam waktu singkat, sandera bebas, dunia terpana, dan reputasi Indonesia menanjak tajam. Di balik semua tepuk tangan, Benny hanya berkata pelan, “Tugas selesai.” Tak ada pesta, tak ada pidato.
Tapi medan Benny bukan cuma di luar negeri. Di dalam negeri, ia bermain di papan catur politik yang licin. Ia mengendalikan jaringan intelijen yang mencakup militer, sipil, bahkan partai politik. Ia tahu siapa yang berambisi, siapa yang berkhianat, dan siapa yang pura-pura suci. Sebagai Panglima ABRI dan Menteri Pertahanan, Benny adalah mata dan telinga rezim, sekaligus nuraninya. Loyal kepada Soeharto, tapi tak segan menegur ketika kekuasaan mulai terlalu nyaman dengan dosa.
Namun dunia intelijen tidak mengenal rasa kasihan. Ketika ia mulai dianggap terlalu berani, jaringan yang dulu ia rawat pelan-pelan menutup pintu. Di akhir 1980-an, Benny tersingkir dari orbit kekuasaan. Tidak ada kudeta, tidak ada drama besar, hanya sunyi, jenis sunyi yang hanya dimengerti oleh orang yang pernah bekerja di balik tirai republik.
Meski begitu, nama Benny tetap menggema di markas-markas militer. Ia tokoh yang keras tapi adil, disiplin tapi tak sombong, intel sejati yang lebih percaya pada laporan lapangan ketimbang bisik politisi. Ia wafat 29 Agustus 2004, meninggalkan warisan yang tidak bisa dibingkai dalam patung, rasa hormat dari kawan, dan ketakutan dari lawan.
Sejarah mengenangnya bukan sebagai pahlawan berseragam lengkap, tapi sebagai penjaga tak terlihat. Bayangan yang bekerja dalam senyap agar republik ini tetap punya pagi. Dalam dunia penuh tipu muslihat, Benny Moerdani adalah paradoks, sosok yang menyembunyikan kebenaran demi menjaga yang benar.
Berjuang senyap di balik tirai,
Menjaga bangsa tanpa pamrih setia,
Tak tersorot tapi tak pernah lalai,
Namamu abadi di nadi Indonesia. (*)
#camanewak