Rosadi Jamani
- Ketua Satupena Kalbar
YANG berhak menilai kita baik dan jelek, orang lain. Bukan diri sendiri. Termasuk tulisan ini, silakan nilai jelek atau good, go ahead. Begitu juga kementerian, publik yang menilai. Ada tiga kementerian nilainya “ancor lebor” kata budak Pontianak, atau jeblok. Hebatnya, sang menteri suka cengengesan. Mari simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Ada pepatah lama, “Bila tak bisa jadi bintang di langit, jadilah lampu di kamar mandi.” Sayangnya, di negeri ini, banyak gagal jadi bintang, gagal juga jadi lampu, tapi tetap getol tampil di televisi seolah sinarnya menembus semesta. Begitulah kira-kira gambaran beberapa kementerian dalam survei terbaru Indostrategi.
Survei ini bukan sembarang survei. Dalam setahun pemerintahan Prabowo-Gibran, tiga kementerian paling menyedihkan versi Indostrategi adalah Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM), Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Nilai mereka? Masih di bawah 3, padahal skala maksimumnya 5. Kalau ini ujian sekolah, sudah pasti disuruh remidi.
Kita mulai dari Kementerian HAM. Di bawah Natalius Pigai, lembaga ini seperti mahasiswa abadi yang rajin berdebat tapi malas menyelesaikan skripsi. Kasus pelanggaran HAM masa lalu masih berserakan seperti cucian kotor yang disembunyikan di bawah karpet, tapi setiap kali dikritik, selalu dijawab dengan kalimat pamungkas, “Sedang kita pelajari.” Entah sudah berapa generasi yang lahir dan menikah sementara pelajarannya tak pernah selesai.
Publik menilai Kementerian HAM ini masih berkutat di mode business as usual. Tak ada gebrakan, tak ada langkah konkret, tapi selalu ada konferensi pers yang menggugah. Ibarat pemain bola yang rajin gaya Ronaldo tapi bolanya entah ke mana.
Lalu naik sedikit ke Kementerian PKP, yang dikepalai Maruarar Sirait. Katanya mau bangun 3 juta rumah. Tapi entah di mana rumahnya. Kalau benar sudah dibangun, mungkin hanya bisa dilihat pakai teleskop James Webb. Transparansi datanya seperti hantu, banyak dibicarakan, tapi tak pernah terlihat. Kemarin, sempat disindir Menkeu Purbawa, “Lihat ruang kerja Anda, ya? Anda kasih apartemen ukuran berapa? Enggak adil ini.” Makjleb.
Sebagian program perumahan memang membantu rakyat, tapi ya itu, skalanya mini sekali. Kayak kasih permen saat orang lapar berat. Parahnya lagi, proyeknya kebanyakan seremonial. Di negeri ini, seolah sudah hukum alam, kalau tak bisa realisasi, bikinlah seremoni.
Kini kita tiba di dasar palung Mariana, Kementerian ESDM. Di bawah Bahlil Lahadalia, kementerian ini tampak seperti motor mogok yang masih dipoles tiap hari biar kelihatan keren. Masalah lingkungan? Menumpuk. Tambang merusak alam? Banyak. Transisi energi bersih? Jalan di tempat. Batu bara masih jadi primadona, seolah bumi ini bisa bertahan sampai kiamat tanpa resesi oksigen.
Kata laporan, “kinerja komunikasi publik Menteri ESDM retoris dan tidak diimbangi eksekusi konkret di lapangan.” Artinya, ngomongnya keren, tindakannya zonk. Tapi, biar adil, ada juga yang patut diapresiasi. Hilirisasi nikel memang berhasil meningkatkan nilai tambah. Hebat, cuma sayangnya, di balik itu, masih banyak tambang yang beroperasi seperti geng liar, ramai, ribut, dan bikin polusi.
Sementara itu, kementerian yang tampil menawan di atas podium: Pendidikan Dasar dan Menengah, Luar Negeri, dan Agama. Yang satu sibuk memperbaiki anak bangsa agar bisa berpikir, yang satu keliling dunia menambal reputasi, yang satu lagi sibuk menenangkan umat agar tidak saling baku khutbah.
So, jika kementerian yang berprestasi tinggi layak dipuji seperti bintang film di karpet merah, maka yang di bawah juga pantas disorot, bukan untuk dijatuhkan, tapi biar sadar diri. Karena yang namanya buruk, busuk, dan jelek, mau dikasih lip gloss kebijakan atau foundation pidato, tetap saja hasilnya seperti sandal jepit bekas yang disemir emas, masih sandal, cuma sekarang silau.
Dalam dunia pemerintahan, yang paling berbahaya bukanlah yang gagal, tapi yang gagal tapi tetap percaya diri seperti juara.
#camanewak